Sehari sebelum ribut (26 Agustus 2009) tentang penjualan pulau dan cottage di Kepulauan Mentawai, saya pergi ke Pulau Sipora (salah satu pulau besar di Mentawai). Saya sebenarnya berada ditempat ini selama empat hari untuk menyaksikan dari dekat pulau yang sangat unik ini. Saya mengadakan perjalanan jurnalistik, untuk mewawancara Bupati Edison Selalubaja, yang agak sulit ditemui karena sibuknya dan agak orangnya sedikit eksklusif.
Kegembiraan anak Bermanua di depan sekolah mereka yang bersahaja
Semula hampir saja saya batal menuju pulau ini. Karena melihat kondisi gempa yang bertubi tubi di Padang dan Kepulauan Mentawai antara tanggal 21-24. Tapi karena penasaran dan sudah menjadi ‘azam’ saya berangkan juga. Dr Ardinis Arbain, dosen Universitas Andalas memberikan doanya pada saya. “Faija azamta fatawakkal Allaah,” ujarnya. Menuju Pulau Sipora, anda harus ikut pesawat kecil dengan penumpan 14 orang dan mendarat di Pulau Rokot. Sebuah pesawat agak tua dan masih layak terbang dengan pilot dan co-pilot langsung bisa disaksikan ‘menyetir pesawat’ tanpa pembatas. Saya lihat beberapa bule membawa peralatan selancar menghabiskan dua tempat duduk untuk menggotong barang berupa papan sepanjang lebih kurang dua meter itu. Satu satunya penerbangan adalah pesawat ini. Tidak ada alternative, namanya SMAC Sabang Merauke Air …, teman saya Bonie berseloroh bukan itu singkatannya: “Siap Mati Atau Cacat”. Hehe.
Hati saya tadinya ciut, tapi setelah tiba di Bandara Rokot, dengan aman. Barulah saya lega. Deri Rokot kita, belum selesai tujuan. Harus naik Boat sekitar setengah jam menuju Tua Pejat (artinya tempat persinggahan) yang menjadi ibukota Kepulauan Mentawai. Ada empat pulau besar di Mentawai: Siberut, Sipora Pagai Selatan dan Utara. Empat pulau ini merupakan pulau terluar di demarkasi Republik Indonesia dengan gelombang dan galur sebersar bukit dan gunung menerpa pantainya. Sebab itulah tempat ini menjadi tujuan surfer terbaik di dunia.
Bersama penduduk sedang membuat perahu dari pohon meranti.
Pulau Sipora merupakan salah satu pulau dengan keunikan satwa endemic yang terancam punah. Pulau kecil ini tidak lebih luas dari DKI Jakarta. Masih syarat dengan tumbuhan alami dan belum berkembang. Kini menjadi ibukota dengan kesibukan pokok pembangunan jalan dan infrastruktur. Karena di pulau dengan tanah pasir yang labil, jalan dibuat beton, tapi menurut penduduk belum kunjung selesai dan pembangunannya sangat lama. Jelas saja, kendala utamanya semua alat dan barang didatangkan dari Kota Padang, dari mulai batu, pasir hingga semen.
Siteut
Di pulau ini ada satwa sangat khusus pulau kecil ini, tidak ada di pulau manapun di dunia, termasuk di sebelah pulau yang lainnya di Kepulauan Mentawai dia adalah: bilao atau siamang kerdil dan tupai sipora. Karena itu pulau ini masuk arsir merah sebagai yang ditandai oleh AZE (alliance of zero extinction) sebagai bentuk ‘warning’ kepada dunia untuk keperdulian khusus kawasan ini memiliki satwa paling kritis dan terancam keberadaannya.
Saya ingin membuktikan sendiri ketempat ini. Saya pergi ke Desa Berkat (Pecahan Desa Bermanua), sekitar 40 menit dengan perahu tempel dari Tua Pejat. Sebuah desa yang baru dibangun. Penduduknya merupakan eksodus dari Desa Bermanua (artinya tidak berlangit, bahasa Mentawai), sebab dilanda bencana gempa dan tsunami tahun 2007.
Tidak ada listrik disini, ada milik penduduk berupa genset. Tapi ketika saya disana tidak dinyalakan karena penduduk tidak bisa membeli solar. Masyarakatnya masih miskin. Sehari saya datang kesini, saya ikut dijamu dirumah masyarakat, kami makan talas, dan sedikit nasi, dan hanya sekali itu makan. Sehari semalam saya makan cemilan dan indomie yang saya bawa.
Ada sekitar 40 kepala keluarga yang tinggal dikampung ini. Mereka memulai hidup dari nol karena hanya papan rumah sebagian dan nyawa mereka yang bisa diselamatkan dari tsunami yang kejam. “Tidak ada yang tersisa, baju pun hanya yang kami pakai saja,” karena kami semua lari ke bukit, kata Eliakim Sawabalad (45 tahun) getir mengingat. Ditempat beliau inilah saya tinggal. Rumahnya berukuran empat kali enam meter. Terlalu sempit untuk menampung tamu.
Ketemu Teletong Paman Joja
Menjelang sore, kami ke hutan di belakang kebun petani di bagian belakang kompleks perkampungan Berkat. Niatnya mencar Joja, Siteut dan Simakobu atau monyet kerdil Mentawai yang hampir punah itu. Tapi kami berjalan hampir empat jam di belantara. Hanya bertemu suara mereka, dan kotorannya. Kebetulan hujan gerimis, jadi agak sulit mendengarkan suara satwa karena gemercik hujan yang mendera daun. “Musim panas kemarin, mereka banyak mendekat kebun kami. Karena air di hutan tidak ada, juga makanan tidak banyak.” Kata seorang penduduk, menceritakan monyet monyet itu cenderung ke kampung dan minum di sungai dekat perkampungan yang airnya masih tersedia banyak.
“Paman Joja, dimanakah kamu,” kata ku bergumam sambil menenteng kamera. Kami pulang dengan tangan kosong kecuali potret ‘teletong’ atau kotoran alias peces. Hehe lumayan! Ini menunjukkan mereka masih benar benar ada!
No comments:
Post a Comment