Thursday, July 31, 2008

Miss Indonesia Earth 2008


31 Juli 2008, kalau diceritakan tentang kegiatan ceramah lingkungan yang saya adakan hari ini, tentu membuat dosen muda manapun, akan iri tujuh turunan. Saya memberikan kuliah didepan 20an peserta contest Miss Indonesia Earth yang akan mewakili Indonesia dalam ajang dunia Miss Earth bila mereka terseleksi. Mereka adalah hasil seleksi ratusan gadis-gadis potensial yang bukan saja hanya memiliki beuty tetapi juga brain.

Ini adalah kehormatan kedua dan saya tahun lalu diundang di forum yang sama memberikan kuliah tentang konservasi alam Indonesia.

Karena ini adalah pembekalan untuk mereka menjadi duta lingkungan dalam kegiatan yang akan mereka lakukan tahun ini dan tahun depan, tentu saja dengan senang hati jurus-jurus penjelasan tentang kasus lingkungan di Indonesia harus mereka kuasai, misalnya jika mereka mendapatkan pertanyaan tentang hutan di Indonesia dst.

Saya tidak tahu, apakah dengan dua jam kuliah, mereka bisa mendapatkan penjelasan yang lengkap, tapi saya berupaya untuk memfasilitasi dan membekali pemahaman tentang konservasi secara global dan sederhana. Hal penting tentunya, gadis cantik putri bumi ini juga harus sungguh-sungguh belajar dan banyak membaca dan terlibat dalam sejumlah aktifitas lingkungan agar mereka memahami makna penyelamatan lingkungan dan konservasi dalam arti sesungguhnya.

Dalam banyak hal karena mereka mempunyai latar belakang yang berbeda dan kuliah di berbagai bangku perguruan tinggi bukan berencana untuk menjadi miss earth, tetapi menjadi seorang awam yang belajar tentang lingkungan. Nah sebagai orang awam, keperdulian lingkungan menjadi penting, maka ketika mereka menanyakan apa yang harus diperbuat ketika melihat ada anak orangutan diperjual belikan di pasar burung?

Mereka harus mengadukan keberadaan dan perbuatan melanggar hukum (menjual binatang langka) kepada balai konservasi sumberdaya alam (KSDA) setempat. Tentu saja orangutan bukan untuk diperjual belikan, tetapi harus dilindungi di habitat aslinya....

Dialog Kontribusi Pesantren untuk Konservasi Alam, 29 Juli 2008


Walaupun dimulai suasana pagi agak berdebar-debar, untuk menyelenggarakan dialog kecil memfasilitasi pesantren, ternyata berhasil juga. Berdebarnya, pagi-pagi menuju CICO salah jalan, dengan maksud jalan pintas eh, nyasar ke perumahan.

Acara berjalan sesuai dengan harapan, banyak input dari pesantren yang ternyata telah berbuat banyak tetapi tidak tercover secara significant, namun tidak bisa dipungkiri juga ada yang memang masih dalam tarap mempelajari dan ingin terlibat lebih banyak soal konservasi.

Pesantren tentu saja tidak menjadi tumpuan untuk diharapkan berkontribusi banyak dalam soal pelestarian alam, namun posisi institusi pendidikan Islam yang unik di masyarakat ini, sedikit banyaknya akan dapat membantu mensosialisasikan dan bertindak langsung untuk konservasi, minimal dalam cakupan pemahaman bagi para santri mereka yang berjumlah dari ratusan hingga ribuan tersebut. Berikut ini rekaman tulisan yg dibuat sdr Fathi Royyani yang ikut sebagai pembantu umum panitia.

Sarasehan Peran Pesantren
Dalam rangka “membangunkan” kekuatan besar untuk pelestarian lingkungan di Indonesia dengan memberikan kesadaran lingkungan bagi para Kyai maka dilaksanakan Sarasehan Kontribusi Pesantren Untuk Konservasi Alam di Bogor yang digagas dan diprakarsai oleh Religion and Conservation Initiative CI Indonesia, Yayasan Owa Jawa dan Rufford Small Grant. Sarasehan ini dihadiri oleh 30-an Kyai dan pengurus pesantren dari tiga wilayah (Bogor, Sukabumi dan Cianjur) yang berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

Di pilihnya pesantren-pesantren tersebut karena diharapkan mereka akan terlibat dalam penjagaan dan juga restorasi Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, dan Taman Nasional Gunung Salak. “Diharapkan usaha pelestarian yang dilakukan kedua Taman Nasional tersebut, tanpa keterlibatan pesantren, kurang efektif. Masih banyak kerusakan dan penebangan ilegal di taman nasional yang dilakukan oleh masyarakat.
Sarasehan ini diisi dengan dua session diskusi.

Pada session pertama yang menjadi pengantar diskusi adalah Prof. Dr. Dudung Darusman, MA dari Fakultas Kehutanan IPB dan KH Thanthowi Musaddad, MA dari Pesantren al-Wasilah, Garut. Prof Dudung membawakan makalah berjudul Membangun Tradisi Islam dalam Memelihara Lingkungan Hidup sedangkan Kyai Thonthowi membawakan makalah seputar kaitan antara Islam dan konservasi. Dalam pembahasannya, Kyai Thonthowi membahas tentang konsep-konsep yang telah ada dalam Islam, seperti ibadah, jariyah, dan lain-lain kearah hubungan manusia dan alam. Selama ini, konsep-konsep tersebut lebih banyak diterapkan pada pergaulan sosial. Diskusi session pertama ini dimoderatori oleh Iwan Aminuddin, salah seorang aktifis lingkungan dan mahasiswa tingkat doktoral Institut Pertanian Bogor.

Pada session kedua, yang bertindak sebagai pengantar diskusi adalah Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA dari Universitas Islam Negeri Jakarta dan Fachruddin M. Mangunjaya dari CI Indonesia. Ahmad Sudirman Abbas membawakan makalah yang berjudul “Menghidupkan Lahan Mati, Ihyaaul Mawat, dalam Kajian Fiqih” sedangkan Fachruddin membawakan makalah “Tradisi Harim dan Hima dalam Konservasi Islam. Diskusi session kedua ini dimoderatori oleh Kafil Yamin dari Media.
Para pengantar diskusi maupun para peserta tampaknya sepakat akan satu hal, bahwa Islam memiliki konsep-konsep konservasi, landasan hukum konservasi, dan tradisi konservasi yang pernah dilaksanakan dalam sejarah Islam. Hanya saja, hal-hal tersebut belum begitu “membumi” di masyarakat sehingga banyak dari masyarakat Islam yang kurang mengetahuinya.

Para kyai maupun pengurus pesantren yang menjadi peserta terlihat antusias dalam mengikuti sarasehan. Antusisme peserta ditunjukkan dengan banyaknya respon yang dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan seputar konsep-konsep konservasi maupun tanggapan-tanggapan dalam session diskusi.

Sarasehan ini juga menghasilkan satu “kesepakatan” umum tentang perlunya meningkatkan peran pesantren untuk melestarikan lingkungan. Peningkatan tersebut bisa berupa pembibitan tanaman dan gerakan pelestarian alam yang dimulai dari pesantren. Para peserta sepakat bahwa pesantren tentu saja memiliki “tenaga” di lapangan yang siap mensukseskan program konservasi namun lemah dalam kordinasi dan ilmu-ilmu tentang lingkungan. Untuk itu diperlukan sinergi antara pesantren, NGO, maupun ilmuwan dan pemerintah.

Sarasehan ini membawa angin segar baru bagi usaha-usaha penyelamatan lingkungan dari kerusakan di Indonesia. Maka sambil terus merapatkan barisan dengan kordinasi yang kuat antar organisasi serta didukung aksi nyata di lapangan, kita boleh berharap sambil menantikan kiprah pesantren lebih lanjut dalam konservasi alam. Semoga...

Berita tentang pertemuan:

Menghukum Para “Politikus” Perusak Lingkungan

Hari Kamis,24 Juli 2008, meluncur ke Parung, menuju sebuah institusi pendidikan yang dibangun oleh Dompet Duafa (DD) Republika. Disini saya memberikan kuliah untuk 100 mahasiswa yang rata-rata berada di semester pertama. Mereka adalah para mahasiswa berprestasi tetapi berkatagori duafa dan mendapatkan beasiswa kuliah di 11 perguruan tinggi negeri yang disebar di seluruh Indonesia.

Mereka meminta materi tentan global warming dan perubahan iklim yang sekarang tengah menjadi pembahasan di berbagai tempat dalam soal kasus lingkungan.
Sungguh mengesankan institusi pendidikan yang dikelola secara professional ini berdiri sejak 1999 dan sekarang tahun ke sepuluh, banyak menghasilkan langkah yang berarti dan secara swadaya dompet duafa telah membuktikan jika zakat dan infaq dikelola dengan baik, maka akan mempunyai dampak luar biasa.

Di kompleks sekolah ini ada masjid dan asrama, serta sekolah dari tk hingga SMA. Sedangkan para mahasiswa yang menjadi peserta kuliah global warming saya itu adalah mereka yang beruntung lolos seleksi beasiswa untuk perguruan tinggi negeri.
Sebagai masasiswa yang kritis, hampir 80% mengangkat tangannya secara berbarengan ketika sesi pertanyaan dibuka. Ini membuat saya suka, tersenyum dan sekaligus terharu, mereka antusias dengan pengetahuan yang baru dan sanggup berdialog secara kritis.

Salah satu pertanyaanya adalah: “Bagaimana menyikapi penyimpangan lingkungan di era democrazi seperti sekarang ini?” Jawaban saya adalah simple: Mereka membuat list partai dan anggota parlemen yang ternyata terbukti tidak mempunyai komitmen lingkungan bahkan melakukan penyelewengan seperti korupsi dan terlibat suap atas penggundulan hutan, lalu, mengingatkan pada public dan diri mereka sendiri agar “menghukum” partai dan orang-orang tersebut dengan tidak lagi memilihnya pada 2009. Itulah cara yang “paling lemah” dapat dilakukan yaitu menentukan kepemimpinan dan menunjuk pemimpin dengan komitmen perawatan alam dan lingkungan yang lebih baik.

Wednesday, July 23, 2008

Friday, July 04, 2008

Pesantren di Mlangi


















Pesantren Arrisalah (atas) dan Pintu Gerban Masjid Mlangi

Jumat Pagi, setelah penutupan International Conference di UGM kemarin, saya mengunjungi pesantren di Kampung Mlangi dan shalat Jum'at di masjid Jami Mlangi, sekitar 25km dari Jogyakarta. Kunjungan semula direncanakan ke Pesan-trend Iman Giri, saya batalkan karena tidak pas waktunya. Di Kampung Mlangi ada 20 pesantren yang berpencar-pencar di
perkampungan, kecil-kecil dengan murid puluhan hingga ratusan. Tidak semuanya dapat tercover dalam perjalanan ini, memang kesan saya pesantren disini tumbuh bersama tradisi masyarakatnya yang guyub dan spartan.

Disini saya dan Pendeta Muda Roni Chandra dari Semarang, bersilaturahim disambut oleh Ustadz Muhammad Mustafid dan beberapa ustad lain. Kami melihat Pesantren Ar Risalah yang ada spesifikasinya untuk menghafal al-Qur'an (tahfizd) 30 juz dan murid-muridnya pun tidak banyak, asramanya sangat sederhana dan muridnya berasal dari masyarakat sekitar juga dari
berbagai daerah.

Komunitas kampung Mlangi mewarisi tradisi pesantren cukup tua, disini ditemukan Makam Kiyai Nur Iman bergelar Pangeran Ngabei (salah satu pengikut Pangeran Diponegoro) dan masih keturunan Kesultanan Mataram (Jogjakarta), makam beliau persis berada di sebelah kiri depan Masjid Jami Mlangi. Tidak banyak cerita yang bisa diperoleh dari kunjungan ini kecuali
sejarah Mbah Kiayi Nur Iman yang merupakan seorang keturunan Raja Mataram (RM Suryo Putro) yang melarikan diri kemudian menjadi santri di pesantren.

RM Suryo meninggalkan kerajaan kemudian menyantri di sebuah pondok pesantren dan mendapat nama samaran Muchsin, sekitar tahun 1703. Saya hanya membayangkan, betapa tuanya pesantren itu yang entah kemana jejaknya kini. Yang perlu dicatat adalah, walaupun bangunan pesantren tersebut, dahulu --mungkin karena zaman perjuangan, maka bentuk mereka mungkin hanya gubuk-gubuk bambu yang sederhana. Bangunan itu bisa roboh, tetapi yang mengagumkan, tradisi pesantren itu yang tumbuh terus melekat, dengan adanya kiayi dan masjid dan proses belajar mengajar. Memang pesantren dilakukan untuk menjadi benteng atas kekalahan strategi melawan kolonial yang mempunyai kecanggihan yang lebih baik baik dari segi politik dan strategi, dan menurut saya, benteng tersebut telah berhasil didirikan dan dilestarikan dalam bentuknya dengan pesantren sekarang ini: pesantren dari bentuk yang pondok-pondok hingga pesantren modern gontor dan super modern seperti Ma'had Al Zaytun.

Thursday, July 03, 2008

Konferensi Globalisasi dan Tantangan Agama-Agama




Dari kiri: Aristides Katoppo, Fazlun Khalid, Maria (moderator)
dan Michael Nothcott

Dari tanggal 30-4 Juli 2008, saya berada di Jogjakarta untuk mengikuti Konferensi Internasional tentang Globalisasi: Tantangan dan Peluang untuk Agama-Agama (Globalization Challange and Opportunities for Religions) yang diadakan oleh ICRS dan CRCS, UGM Jogjakarta. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 120 peserta dari berbagai kalangan agamawan, akademisi, aktifis yang datang dari berbagai disiplin ilmu diantanya beberapa scholar dari berbagai belahan dunia yang menjadi nara sumber dalam konferensi: Mark Woodward (Arizona State Uniersity, USA), Melba Magay (Philipines), Michael Nothcott (Edinburg, UK), Fazlun Khalid dan beberap tokoh agama dan akitif nasional seperti Ismail Yusanto (Jurubicara Hijbut Tahrir), dan Romo Ign Sandiwan Sumardi (aktifis sosial dan relawan dari Jakarta), Bill Dyrness( Fuller Theological Seminary, USA). Konferensi ini adalah follow up dari tiga worksop sebelumnya yang bertemakan tiga topik:



  • Globalization, Media and Youth


  • Globalization, Wealth Poverty and Environment


  • Globalization and Religious Symbols/Practices

Dialog ini memang mencakup pembicaraan yang cukup luas tentang pengaruh globalisasi yang sangat dahsyat, dimana komunikasi mempengaruhi segala bentuk kehidupan. Arus informasi yang tidak terkontrol membuat kita lebih awas dengan
persoalan di negara lain dan tetapi tidak melek dengan masalah tetangga sendiri. Bertemunya kita di dalam arena bagi saya pribadi membawa banyak pengalaman dan pemahaman bagaimana sikap agama lain dari berbagai sumber dan latar belakang berbeda mempunyai pendapat dan persepsi tidak sama dalam memandang globalisasi.

Dari segi tertentu, kita belajar tentang pluralisme, memahami dan berdialog langsung ketika saat istirahat dengan saudara sebangsa tetapi berkeyakinan lain. Misalnya saya baru mengerti tentang Kristiani yang ternyata tidak hanya terdiri dari Katolik dan Protestan saja, tetapi banyak kelompok lain dengan group dan gereja kecil yang tetap berkembang. Saya bertemu Romo dari Gereja Ortodok Jawa di Solo, yang sumber ajarannya berkiblat pada Jurusalem (tempat kelahiran Nabi Isa), dan ajaran inilah yang kiranya menjadi gereja ortodok Kristin Koptik yang dimasa Rasullullah saw disebut dengan Ahli Kitab.

Karena saya membidangi soal lingkungan, panitia menunjuk menjadi 'convener' untuk group discussion: menampung pembicaraan yang tidak tercakup didalam dialog diskusi. Satu aspek yang menarik menurut saya dari segi lingkungan adalah pendapat Michael Nothchott yang mengemukakan tentang awal mula skandal penciptaan manusia yang dihubungkan dengan
global warming. Mike membuka pembicaraannya dengan soal pohon dan mengutip surah 14:24, tentang pohon yang baik.

Yang menggambarkan betapa pentingnya pohon, oleh karena itu dia menggambarkan bahwa pemanasan global sekarang ini berkait dengan soal pula, ketika carbon menjadi soal pohon penting dalam menyerap kembali emisi karbon. Dan skandal manusia kembali bersentuhan dengan soal pohon, sebagaimana Adam as juga telah bermasalah karena 'bersentuhan dengan
soal pohon,'. Terlepas dengan soal penafsiran, bahwa kemanusiaan sekarang--karena ancaman pemanasan global--sangat tergantung eksistensinya dan penyeimbang keadaan adalah pohon.***