Monday, April 17, 2006

G-8, Kemiskinan dan Pemanasan Global

Fachruddin Mangunjaya
Project Manager di Conservation International Indonesia

Tanggal 6-8 Juli 2005, negara-negara industri G8 yang terdiri dari Perancis, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, Rusia, Italia dan Kanada, akan mengadakan pertemuan tahunan di Gleneagles, Skotlandia. Ada tema penting yang dikibarkan, yaitu mengenai pentingnya Negara industri ini segera mengubah sikap mereka untuk melihat penderitaan bumi yang terus berkepanjangan dengan tema: Kemiskinan dan Pemanasan Global.
Pemanasan global telah menjadi agenda dunia sejak dibentuk Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dan United Nation Forum for Climate Change (UNFCC) yang kemudian melahirkan mekanisme Protokol Kyoto. Biang dari pemanasan global terutama adalah persoalan penggunaan energi yang tidak terperbarukan seperti: bahan minyak yang dihasilkan dari bahan fossil, misalnya minyak dan batu bara yang sehari-hari kita pakai. Gas karbon yang kita pakai untuk menjalankan mesin kedaraan setiap hari, akan membumbungkan polusi udara berupa CO2, NOx dan Methana, yang disebut gas-gas rumah kaca, sehingga menimbulkan perusakan lapisan ozon dan menjadikan bumi lebih panas dan iklim menjadi berubah. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), apabila sikap manusia di bumi dalam pola mereka tidak berubah, maka diperkitakan temperatur global diprediksi akan naik menjadi 1.4 hingga 5.8° celsius dalam abad mendatang. Dalam abad terakhir ini rata-rata temperature global naik 0.6° Celsius –10 tahun terpanas sejak tahun 1990an.
Negara industri, ditengarai sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Amerika Serikat sedikitnya menyumbang 13 % emisi dunia sejak 1990 hingga 2002. dilain pihak, Negara ini menolak menandatangani Protokol Kyoto, yang bermaksud untuk mengurangi peningkatan gas-gas rumah kaca yang mengakibatkan perubahan iklim akibat pemanasan global. Padahal, secara konsensus ilmuwan mengatakan –tentu juga atas riset ilmuwan Amerika Serikat ---bahwa sekarang ini, bumi semakin bertambah panas. Namun disamping itu, yang menjadi salah satu pemicu pamanasan global adalah, kemiskinan: misalnya 1.6 milyar penduduk dunia, atau lebih dari sepermpat jumlah penduduk bumi, masih tidak mendapatkan akses listrik. 2.4 milyar penduduk bumi tergantung dengan bahan bakar kayu, minyak tanah atau bahan bakar kompos,untuk memasak atau membuat tungku pemanas. Dan lebih dari itu, Negara-negara berkembang dan Negara miskin, akan terus menggantungkan perekonomian mereka pada sumber daya alam semisal, penebangan hutan alam dan membuka lahan-lahan pertanian baru yang menyebabkan pelepasan karbon lebih besar ke atmosfer.
Dalam perkara pemanasan global, seharusnya kita bisa telah belajar dengan adanya perubahan iklim yang semakin tidak terduga. Misalnya, Koran Tempo (25/5) melaporkan, terjadi banjir hebat di Propinsi Guanxi, Guangdong, di selatan Cina, itu dikatakan terburuk dalam 90 tahun terakhir. Bencana ini merupakan musibah yang tidak terprediksi ---yang mengakibatkan 125 orang tewas dan 1.4 juta orang di evakuasi. Kondisi musim di Cina Selatan, dilaporkan berbeda kontras dengan kawasan utara negeri itu yang mengalami musim kering dan gelombang panas. Padahal Cina telah melarang pembalakan hutan sejak tahun 1999, di beberapa propinsi, tetapi sayangnya negeri ini masih meminati pasokan kayu dengan cara menebang (logging) baik legal maupun illegal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Artinya, koneksitas perubahan iklim global, tidak memandang apakah sebuah Negara yang telah melakukan konservasi dan merasa aman, sementara mereka melakukan perusakan alam di Negara lain. Tetapi dampaknya bisa mereka rasakan pula.
Bencana yang tidak terprediksi, adalah akibat adanya chaos, perubahan iklim. Bukti-bukti lain pemanasan global dan perubahan iklim telah terlihat umpamanya dengan adanya kekeringan yang lebih panjang dari biasa, dan badai yang sering kali terjadi di berbagai Negara mana pun di permukaan bumi. Peristiwa seperti ini tentu saja menelan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit. Dan kita menyaksikan akibat pemanasan global dan kemiskinan, dua asset manusia di akan semakin berkurang, pertama, kualitas ekosistem pun semakin bertambah rentan, misalnya terjadi penurunan kualitas air karena pencemaran serta: kedua, kepunahan spesies keanekaragaman hayati yang menjadi pendukung utama dan masa depan kehidupan yang ada di bumi.

Oleh karena itu, para ilmuwan mendesak, agar pertemuan G-8 membawa hasil yang signifikan yaitu dengan bertindak sekarang juga, untuk mencegah perubahan iklim. Salah satunya adalah dengan segera menghapuskan hutang Negara-negara berkembang dan Negara miskin lainnya. Jika tidak, generasi yang akan datang akan membayar harga mahal kesalahan kebijakan pemimpin-pemimpin bangsa yang kaya raya tetapi tidak perduli lingkungan itu.
Kemiskinan di Negara-negara sedang berkembang merupakan salah satu pemicu percepatan perubahan iklim dan pemanasan global. Ada beberapa alasan mengapa kemiskinan berhubungan erat dengan percepatan pemanasan global, pertama: masyarakat Negara berkembang masih memerlukan pembangunan ekonomi mereka yang ---sayangnya bertumpu pada—sumber daya alam, termasuk didalamnya: penebangan hutan alam, pembukaan lahan-lahan baru untuk pertanian, penggalian sumber-sumber tambang yang berbasis fosil (seperti minyak bumi dan batu bara) dan seterusnya. Kedua, beban berat hutang luar negeri yang dipinjamkan oleh Negara-negara donor (termasuk dalam kelompok G-8) merupakan salah satu sebab dari faktor ekternal penghambat lambannya Negara berkembang memberantas kemiskinan. Indonesia merupakan contoh yang baik dimana terdapat 26.8 juta penduduk miskin, 10 juta diantaranya hidup di dalam hutan atau hampir 40 persen dari penduduk miskin di Indonesia sangat tergantung pada kelestarian sumber daya hutan.
Celakanya, kondisi (miskin) inilah yang memicu masyarakat menjadi perambah hutan dan kawasan konservasi (taman nasional, hutan lindung dan hutan cagar alam). Jadi walau pun, dunia internasional telah mengetahui taman nasional dan kawasan konservasi sebagai asset dunia, namun bila tidak disertai dengan pengalihan pencaharian, atau insentif ekonomi lain untuk masyarakat yang berada dipinggiran hutan, tentu saja mereka akan tetap menggantungkan kehidupan mereka pada sumber daya hutan tersebut.

Ketiga, Negara-negara berkembang, belum berkeupayaan dan masih mempunyai kapasitas terbatas dalam mencari alternative energi yang ramah lingkungan: termasuk akses listrik. Sebab, energi ramah lingkungan memerlukan skill, pengetahuan serta pendididikan. Sebagai contoh, untuk menterapkan mekanisme Clean Development Mechanism (CDM-Mekanisme Pembangunan Bersih), diperlukan teknologi modern, selain itu juga harus ada pengetahuan tentang cara penghitungan karbon serta baseline karbon yang dijual, serta negosiasi yang ruwet pada negara maju yang ingin berinvestasi pada mekanisme tersebut. Disamping itu, untuk menghasilkan energi yang bersih –umpamanya--tentu memerlukan teknologi yang terkadang lebih mahal. Sehingga kalangan LSM memplesetkan CDM—menjadi completely difficult mechanism.

Bumi dengan segala pendukung dan perangkat ekosistem yang ada di dalamnya, merupakan satu-satunya modal hidup manusia. Maka adakah jalan keluar, atau pemimpin berbagai Negara di berbagai belakan bumi tidak mau perduli. Meminjam kata dari Emil Salim—kita hidup dalam satu perahu—yang disebut bumi. Bila ada bagian dari perahu kita bocor, maka semua akan itu tenggelam!

Oleh karena itu, ada bebarapa solusi yang dimungkin akan bermanfaat bagi Negara industri G-8, apabila mereka dapat memperhatikan bagaimana upaya mempertahankan hutan alam yang ada dengan mengatasi pemanasan global dan menurukan angka kemiskinan. Misalnya segera memberlakukan Debt for Nature Swap yaitu suatu mekanisme dimana Negara-negara donor (pemberi hutan) menghibahkan hutang mereka untuk memelihara alam termasuk hutan tropis yang dimiliki oleh Negara berkembang. Kedua, Negara industri memberikan program kompensasi sebagai pengganti kepada Negara berkembang yang mempunyai hutan tropis utuh, seperti direkomondasikan oleh Joseph Stiglitz di harian ini (25/6). Ketiga, Negara-negara industri, dapat menginvestasikan hibah-hibah mereka secara lebih progresif di Negara-negara berkembang yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi. Selain itu, negeri yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi ini harus berupaya mempunyai program-program yang menunjang pada perkembangan sektor ekonomi yang tidak merusak alam, misalnya dengan menggalakkan wisata alam, sehingga masyarakat lokal memperoleh insentif ekonomi disamping menjaga hutan mereka.

Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, harus mampu memberdayaka hasil-hasil penelitian mereka dan mempertunjukkan kepada industri dan investor –misalnya zat-zat bio aktif yang ada di hutan alam, baik mikroba maupun hasil penelitian lainnya, bisa bermanfaat bagi dunia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, dapat diperoleh manfaat ekonomi dan pengetahuan yang besar atas penelitian yang ada di hutan tropis. Pencarian pendanaan dapat dilakukan, seperti halnya lembaga penelitian di Kosta Rika (Inbio) yang menjalin kontrak jutaan dollar dengan perusahaan obat Biomerck untuk penelitian obat-obatan di hutan hujan tropis milik Negara itu.***

No comments: