Friday, October 17, 2008

Orang Udik ada di Oxford


Kapan Sungai Arut, Kumai atau Ciliwung bisa begini ya?






The Thames River




Ditcley Park dari ruang sayap kanan tempat saya menginap.

Mimpi jadi kenyataan. Inilah hari pertama suatu pagi di Oxford, diluar cuaca cerah sekali, walaupun, matahari mulai menyinari cerobong-cerobong asap rumah-rumah tua di Oxford. Putih awan mulai kelihatan, dan bayangan pagi terlukis lembut karana matahari tidak bersinar terik, sinar agak redup itu terlihat menyembunyikan banyangan cerobong menjadi semacam lukisan yang diarsir saja.

Hotel Victoria House tempat aku tinggal rupanya hotel kecil yang asri dan apik, penginapan dengan brand bertuliskan putih berwarna biru ini terletak di tengah kota. Jadi aku bisa gampang untuk melihat kehidupan di kota pelajar ini. Tidak banyak yang diterima di hotel ini, rupayanya mereka hanya memiliki 14 kamar saja. Bayarannya £85, untung saja Shita Puspitasari, mahasiswa PhD dan sekarang bekerja di Departemen Lingkungan di Oxford, secara sukarela membookingkan hotel saya dengan menjaminkan kartu kreditnya.

Tidak banyak warga negara Indonesia yang beruntung seperti Shinta, bisa bersekolah di luar negeri dengan beasiswa ’Chivening Award’. Di Oxford pun tidak banyak pula mereka yang sekolah cerita Shinta, hanya ada 11 orang dan tiga diantanya mahasiswa PhD. Saya pikir orang seperti Shinta harus menggunakan waktunya sebaik-baiknya kesempatan ini dan menimba ilmu lalu pulang ke negerinya dan ikut membangun negeri. Indonesia perlu orang pintar dan jujur lebih banyak. Dalam hitungan jari, negeri ini baru memiliki 6700 doktor menurut direktori doktor Indonesia (http://www.directoridoktor.net/), dibandingkan dengan penduduknya yang 283 juta jiwa sekarang, hanya berarti 0.00028 hampir tidak kelihatan dalam angka matematika dan bisa dianggap tidak ada!

Setelah bangun pagi dan beberapa kali tadi malam night mare, karena mesti beradaptasi, enam jam lebih lambat dari tanah air. Jadi waktu tidur saya seharusnya digunakan untuk bangun. Sedangkan waktu bangun digunakan untuk tidur, jam 3, bangun pagi---karena tidak bisa tidur lagi-- di Oxford, akus shalat tahajud. Kulihat, ini sama dengan jam 9 pagi di Indonesia, waktu aku sering mengejakan Shalat Dluha.
Pagi ini lari sebentar dari keluar hotel, pasang jaket kulit, celana blue jeans dan sarung tangan ala tukang ojek Indonesia—baju dan sarung tangan yang sama ketika dipakai naik motor menuju kantor-- jalan lurus tanpa peta ketemu Christ Church (http://www.chch.ox.ac.uk/) yang merupakan gereja tua dengan tanah yang luas, merupakan salah satu college dari 40 Institusi perguruan tinggi yang ada adi Oxford University. Gereja ini didirikan oleh Raja…. Pada abad 15, ditengah turbulensi kejayaan kerajaan Inggris. Tidak sempat masuk, karena masih harus bayar £4,9 untuk yang dewasa dan £ 3 untuk anak-anak atau £9 untuk yang membawa rombongan. Enggak keburu juga.

Setelah itu saya lari ke ujung jalan, melihat Sungai Thames yang terkenal itu, saya menukik kekiri masuk di pintu gergam Head of River sebelum menuju jembatan penyebrangan Folly Bridge. Subhanallah! Inilah bukti mimpi saya saat masih SMP. Waktu itu saya menceritakan pada ayah, bahwa, saya akan pergi melihat negeri Britania Raya (Inggris) dan melihat Jembatan Sungai Thames ini. Bayangan mimpi itu masih saya simpan setelah hampir 30 tahun, di usia saya yang mendekat 44 tahun inilah mimpi itu rupanya diwujudkan oleh Tuhan. Ini bukan mimpi cita-cita ala Laskar Pelangi, tapi mimpi benar!

Di bagian kiri, sebelah jalan Abingdon Road --sebelum menaiki jembatan---inilah ada restoran pinggir kali beruliskan kapital berwarna emas Head of River yang kursinya mejanya masih kosong, kelihatannya restoran ini belum buka karena terlalu pagi, atau hanya dipakai sore hari, entahlah. Seperti orang sinting—saking udiknya--saya memotret dua dari berbagai arah jembatan sungai bersih ini. Sesekali memencet pemutar otomatis untuk menjebak diri ala camera trap. Saya melihat di tengah kota ada perahu bersusun-susun, mungkin itu untuk disewakan dengan sungai yang tidak ada sampah satu pun, walaupun ada rumah di pinggir kali. Sungai ini telah terawat ratusan tahun, sangat sulit menjumpai kawasan semacam ini di Jakarta.

Mereka sebenarnya menggunakan bantaran kali sebagai tempat yang paling indah dilihat, bukan pembuangan sampah seperti di Jakarta. Aku melihat masih ada hutan sedikit dipinggir kalinya dan menyaksikan bebek beriringan berenang. Aku membayangkan, jika di Jakarta atau daerah lainnya semacam Sungai Martapura yang sehari-hari dipakai untuk kehidupan atau Sungai Arut dan Sungai sampit yang bersih, bukan menjadi TPA penduduknya. Kehidupan akan lebih menyenangkan. Syaratnya, tidak ada orang yang miskin dan bodoh!

Kemiskinan dan kebodohanlah yang menyebabkan—saya kira—penduduk kita tidak mempunyai empati pada lingkungan apalagi masa depan anak cucu.

Dichley Park
Rupanya cek out hotel diharuskan jam 11, hotel sempit ini tidak sepi peminat, selalu penuh. Ketika koper dikeluarkan petugas pembersih kamar langsumg membersihkan kamar. Untung saja saya buru-buru kurang seperempat jam dari jam 12.00 petugas hotel mengingatkan saya harus memindah barang-barang. Tepat pukul 12 satu menit, petugas dari Dicthley park sudah menjemput saya dengan mercedes van yang khusus dikelola oleh The Dictcley Foundation. Jarak tempuh 20 menit tidak terasa karena menikmati pemandangan rumah-rumah ala eropa yang tertata dan asli.

Rumah-rumah batu yang saya lewati sepanjang menuju dictley yaitu ke arah utara menunju Woodstock city, masih berwana putih atau bata merah dan hitam dan massif bisa bertahan mungkin ratusan tahun. Cuaca di kawasan temperate memang tidak seperti di negara tropis yang banyak rayap dan cenderung berdebu karena panas dan melapukkan jendela dan kayu disaat musim bergantian ekstrim.

Saya tidak melihat ada bangunan-bangunan baru yang sedang direhab seperti halnya rumah di Jakarta. Beda sekali kalau saya lewat di perumahan elit dan kelas menengah, di Ibukota, mereka saat ini merubah bagian depan mereka yang tadinya trend 80 dan 90an dengan gaya spayol, lalu dirubah menjadi arsitek minimalis, modern. Bukankah itu ongkos mubajie yang dibuang setiap 20 tahun?

Dicthley Park rupannya sebuah Mansion House, rumah ningrat Inggris yang sengaja dibangun tahu 58 oleh Sir David Wills, untuk tempat perundingan dan pertemuan penting para elit para ilmuwan kelas dunia dan pengambil kebijakan untuk derdiskusi dan berkonferensi memperdebatkan persoalan dari mulai politik, sosial, agama hingga budaya misalnya: the politic of identity and relitiond: must culture clash?

Atau tentang The Future of the United Nation yang diadakan pada 22-24 June, sedangkan sekarang 17-19 October, adalah tentang Islam and Environment: Kali ini lingkungan dan Islam merupakan salah satu topik penting di Inggris, sehingga perhatian dicurahkan juga untuk fenomena lingkungan terutama di Dunia Islam. Ada sekitar 35 orang yang hadir disini rata-rata bergelar PhD dan guru besar.

Dari Indonesia, sayang sekali hanya saya yang diundang, entah mengapa sebabnya (to be honest!), duta besar RI di UK juga diundang, tapi diwakili oleh Mas Herry Sudrajat bagian penerangan, KBRI.
Di ruang perpustakaan, ala Hari Potter ini, berdiskusilah para elit itu, sembil melihat perpustakaan dengan buku dan raknya yang mejulang kelangit. Dr. Farhan Nizami Direktur OCIS mengemukakan diskusi ini memang tertutup dan hanya menjadi catatan pribadi. Jadi saya tidak boleh menuliskan di blog ini, nanti temui saya saja langsung ya! Hehe. Udah ah.

1 comment:

Anonymous said...

Orang udik juga punya hak yang sama dengan yang bukan udik, iya khan Fach. Kerja keras dan keuletan telah membawa anda ke sebuah tatanan global. Saya yang masih di udik nunggu implementasinya azza. Kumai (Kobar) harus menjadi pilot projek lingkungan-sehat, saya yakin Anda mampu mewujudkan itu.
Seksus sahabatku.