Tuesday, January 01, 2008

Peluncuran Buku Menanam Sebelum Kiamat (MSK)

Yang Amat Berhormat Jamaluddin Karim, SH. Anggota DPR RI menerima hadiah buku dari
editor: Fachruddin Mangunjaya (kanan), disaksikan oleh Wakil Bupati Kobar, IR Sukirman,
dalam peluncuran buku Menanam Sebelum Kiamat (MSK).

Buku ini diluncurkan di kampung halaman saya di Kumai, Pangkalan Bun Kalimantan Tengah, 21 Ramadhan 1428 H (Oktober 2007), dengan niat bahwa buku ini akan diterima masyarakat yang dimulai dari tingkat akar rumput. Biasanya sebuah buku diluncurkan dengan diskusi ilmiah yang hingar bingar. Karena buku adalah buku kearifan Islam tentang lingkungan, tentu saja bulan Ramadhan merupakan momentum, selain silaturahim juga kegiatan yang akan menjadi manfaat serta menambah amaliah.
Buku setebal lebih dari 309+xxxiii halaman ini merupakan buku lingkungan Islam yang ditulis oleh 15 pakar Islam dan lingkungan, diantaranya SH Nasr, Sayyed Mohsen Miri, Ahmad Sudirman Abbas, Othman Llewellyn, KH An’Im Falahuddin Mahrus, KH Husein Muhammad, Husain Heriyanto dan lain-lain. Buku ini juga ingin melengkapi tulisan saya sebelumnya “Konservasi Alam Dalam Islam” dan khasanah Islam dan lingkungan yang lebih komplit.
Tidak lain niatnya adalah: mengerjakan sesuatu harus dimulai dengan sains, atau ilmu pengetahuan, seperti halnya mempelajari shalat yang harus mengetahui rukun-rukun dan bacaannya, puasa yang harus memahami makna dan beribadah untuk lingkungan dan konservasi harus mengetahui pula filosofi serta ayat-ayatnya. Orang mungkin mengira melestarikan lingkungan bukan merupakan bagian dari sebuah ibadah. Melestarikan lingkungan dan melestarikan alam adalah ibadah! Buku ini memberikan hujjah untuk pemahaman itu. Islam menganjurkan agar manusia tidak membuat kerusakan di muka bumi. Berbuat baik kepada semua makhluk dan semua makhluk ternyata bertasbih kepada Allah.
Jadi jelaslah sudah bagi seorang muslim, merupakan suatu keberuntungan jika dia bisa ikut melestarikan lingkungan, melindungi makhluk makhluk Allah, memberikan kontribusi menjaga ciptaanNya dengan niat yang ikhlas, bahwa sumbangannya itu adalah untuk kemanusiaan, untuk alam dan untuk sang pencipta. Berbahagia pula orang yang mempunyai keimanan dalam memperlakukan lingkungan: berbagi keramahan, tidak sombong dan congkak ketika harus menanda tangani kontrak karya untuk menambang bumi (ciptaan Gusti Allah), menanda tangani HPH dan Bismillah menebang kayu (yang tidak pernah ditanam oleh tangannya).
Buku ini, kalaupun ada kelebihannya, memang akan memberikan pencerahan bahwa dunia Islam dan muslim (pada umumnya) adalah orang yang banyak melupakan khasanah alam dan lingkungan sekelilingnya. Bukti-bukti konkrit kearifan lingkungan zaman Rasulullah diuraikan secara komprehensip oleh Othman, andaikan saja konsep itu masih diindahkan, maka pencemaran dan kekeringan sungai tidak akan terjadi. Demikian pula kepunahan makhluk hidup dapat dicegah.

By the way, terima kasih kepada Abang Jamaludin Karim, SH, anggota DPR RI Komisi VII yang bersedia hadir datang dalam peluncuran buku, Sukirman, Wakil Bupati Kotawaringin Barat, para anggota DPRD Kobar, tokoh masyarakat di Kumai, teman-teman dari Borneo Lestari Foundation (BSF): Bang Meda, Komar, Raihan, Imansyah, Jamat, Bang Esol, Dodi, dll yang menyumbang untuk peresmian BSF termasuk pak Bupati Ujang Iskandar yang baik.
Tabik!
Berita Peluncuran:

Friday, November 23, 2007

16 November Mengunjungi PP Darunnajah, Ulujami

Mendampingi Dubes Inggris Charles Humfrey dan Fazlun Khalid, dalam kunjungan ke PP Darunnajah, mengkaitkan Islam dan konservasi lingkungan. Humfrey mengadakan sosialisasi tentang global warming dan terkesan dengan sistem pondok pesantren semacam Darunnajah.

29-30 Oktober 2007, Lokakarya Sacret Sites MAB LIPI

Peserta Lokakarya Situs Keraman Alami dan Keanekaragaman Hayati

Dr. Herwasono Soejito, mengundang untuk membawa makalah sempena sacret sites di Cibodas. Tempat ini sangat asri dan jauh dari keramaian, sejuk dan nyaman. Emil Salim memberikan pencerahan kepada semua peserta.




Seminar Nasional Kehutanan UNILA


Mahasiswa meminta saya menyumbangkan pemikiran tentang Islam dan Pengelolaan Hutan 2030. diskusi dihadiri oleh sekitar 200 orang mahasiswa termasuk alumni Jaringan Mahasiswa Muslim Kehutanan Indonesia (JMKKI). Harus pulang perg Jakarta-Lampung-Jakarta, 15 November 2007.









Friday, November 16, 2007

Arlington, Conservation International Communication Symposium 2007

Global symposium kali ini diadakan dari tanggal 3-11 November 2007, merupakan symposium ke 6, diikuti oleh 70 peserta ( 50 diantaranya adalah tim global Com DC), total peserta merupakan perwakilan dari 20 negara. Dilakukan kegiatan diaadakan di Chespeake Bay Camp, 4 jam dari Arlington, Virginia.
Story Telling
Salah satu strategi baru yang diprakarsai dalam mendekatkan brand dan visi mis CI pada public adalah dengan story telling. Cara bercerita dalam film atau slide pendek dengan musik, (tidak lebih dari 5 menit) ini lebih dianggap praktis dan mengena dibandingkan menyuruh orang membaca (terutama di web).
Jadi untuk berita-berita yang khas, kami juga sudah diajarkan bagaiman meramu story telling. Kang Irman dari Raja Ampat, karena sudah biasa dengan Radio, jadi jagoan favorit story telling dari berbagai negara. Anda bisa melihat web terakhir CI yang sebentar lagi akan lebih smart. http://www.conservation.org/. disamping itu tentu saja didorong untuk seluruh staff supaya mempunyai kemampuan menulis dengan baik.
The Team EARTH

Mondo Delicia

The White House
3 years old brithday





Arrive, at the Camp, two exotic 'Indonesian' in Autum Nov 4, 2007


The Camp, Autum in Tockwogh






Conference room Camp Tockwogh

Monday, September 17, 2007

Memetik Strawberri di Kavling Strawberri



Selamat datang di KAVLING Strawberri

Strawberri matang..





Perolehan taya dibantu ayah...







Fani dengan perolehan strawberri, satu keranjang penuh!
















Dila sedang memeti strawberri. 'awas tangan kepotong'


















Ini Parij van Java, alias Bandung. Anak-anak punya pengalaman baru memetik strawberri. Foto-foto keluarga ke Bandung tanggal 15-16 September 2007.

Sunday, August 05, 2007

Pictures First Colluquium Fiqh al-Biah Jakarta 21-22 June 2007

Prof Hyder, Othman Llewelyn, Dr.Aslam Parpaiz

Prof Hyder, Fachruddin Mangunjaya, Othman Llwelyn, Fahmi Ali Yafie

Dr. Mubariq Ahmad, Fazlun Khalid

Othman Llewellyn, Fahmi Ali Yafie

KH An'im Falahuddin Mahrud, TG Muharrar,
Prof. Tengku Muslim Ibrahim, Ust. Abdurahman Kaoy.

Professor Mohamed Hyder















First International Colluquium on Islamic Fiqh of the Environment,
Jakarta, June 2007.



Sunday, July 15, 2007

Ma’had Al-Zaytun Menunju Mekanisasi Pertanian




Sudah lama saya tidak menengok lagi Ma’had Al-Zaytun (MAZ), tentunya sudah ada perkembangan yang pesat universitas sudah berdiri, beberapa bangunan fisik sudah tampak kembali bermunculan. Pintu yang semula ada di kawasan selatan kini pindah ketengah menghadap langsung Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin yang berdiri kokoh. Masjid ini masih belum kelar dan dalam pemasangan granit di bagian mihrabnya.

MAZ tampak masih asri dan penuh hutan jati. Padahal kawasan ini dulunya adalah tanah yang kering tandus dan lahan pertanian yang kerontang dikala panas. Kawasan ini memang dibangun dengan idealisme dan penuh dengan ujian, dari berita yang menyanjung hingga yang memojokkan dengan stigma lama sejarah berkembangnya kebangsaan dan Negara Islam di Indonesia. Walaupun sebenarnya tidak lah tabu untuk membicarakan Negara Islam dalam dunia yang serba demokratis, namun kendali minda manusia Indonesia tampaknya terpatri pada sebuah Islam garis keras yang tidak toleran.

Setelah hampir 8 tahun lembaga pendidikan ini berjalan sejak dibuka Habibie 1999, sekolah ini masih menjalankan program besarnya untuk menyumbangkan sesuatu bagi umat dan kemanusiaan. Saya kira tidak lebih dari itu. Ketika saya datang kemarin (June 2007), kami diperkenalkan dengan kawasan garapan baru di Desa Suka Slamet, MAZ sedang mencoba membuat lahan sawah untuk mempersiapkan pertanian secara mekanik, karena itu petak sawah dibuat lebih besar ada yang 1 ha ada yang 1,5 ha. Mempersiapkan itu kelihatannya MAZ serius dengan mempertiapkan infrastruktur dan bendungan yang dibuat secara mandiri untuk menampung hujan dan limpahan air dan stok air saat musim kemarau.

Di sebelah desa MAZ membangunkan sekolah dasar untuk penduduk kampung guna mengganti sekolah yang rusak dan hampir roboh beratap bocor. Disini mereka membayar tidak dengan uang melainkan dengan barang, sayur dan padi. “Tidak harus pakai uang. Mereka mampunya bawa sayur atau cabai, boleh untuk bayar sekolah” kata Syaykh Panji Gumilang. Tapi yang jelas sekolah disini tidak gratis, karena kalau gratis orang tua menjadi tidak bertanggung jawab dan anak seenaknya bisa masuk dan keluar sekolah, begitu alasan Syaykh Gumilang.***


LOKASI AL ZAYTUN:


View Larger Map

Thursday, April 19, 2007

Masjid Kubah Emas!

Luar biasa…saya seperti berada di sebuah taman firdaus. Walaupun menempuh jarak yang berkelok-kelok dari Jalarta menuju Meruyung Depok, ternyata sampai juga. Masjid ini dibuka untuk umum. Karena hari kerja saya tidak sempat penuh mengelilingi masjid dan hanya bisa mengantar saudara yang dari Kalimantan Tengah ingin menyaksikan masjid yang sangat asri ini. Setelah salat tahyatul masjid dan dhula di masjid yang menyenangkan itu, jam sebelas siang aku kembali kekantor lagi. Fotonya belum sempat di upload... cerita tentang Masid kubah emas sudah banyak beredar. Diantaranya beritanya seperti ini:

Decak Kagum di Masjid Kubah Emas

Marsiah, nenek berusia 70 tahun itu, tak henti- hentinya berdecak kagum. "Sepintu engselnya lapan. Banyak emasnya. Mana lantainya adem bener, ya."
Selasa (24/10) pagi itu Marsiah adalah satu di antara sekitar 9.000 anggota jemah yang melaksanakan shalat id di masjid Kompleks Islamic Centre Meruyung, Depok. Marsiah mengenakan mukena putih bertuliskan Yayasan Dian Al-Mahri pada bagian punggung.

seterusnya klick Decak Kagum di Masjid Kubah Emas

Masjid Berkubah Emas Dibangun di Depok

FOTO-FOTO bisa dilihat disini

Friday, March 09, 2007

FATWA MUI TENTANG: PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

A. DISKRIPSI MASALAH
Tidak bisa dipungkiri bahwa kekayaan alam Indonesia sangat melimpah ruah. Potensi kekayaan alam Indonesia antara lain, kekayaan hutan, lautan, BBM, emas dan barang-barang tambang lainnya. Kawasan hutan Indonesia termasuk yang paling luas di dunia, tanahnya subur, dan alamnya indah. Menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya ketika itu adalah 2,5 miliar dolar. Kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Kekayaan minyak Indonesia juga sangat banyak. Menurut catatan Waspada (12-11-2005), Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak dan 2,26 triliun TCF. Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan jelas sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri.


B. KETENTUAN HUKUM
Dalam pandangan Islam, sumber daya alam (SDA) pada hakikatnya milik absolut Allah SWT yang diamanatkan pengelolaan, pemanfaatannya dan pelestariannya kepada manusia.
SDA yang termasuk milik umum seperti air, api, padang rumput, hutan dan barang tambang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Dalam pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi SDA harus memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan serta keberlanjutan pembangunan.
Pengelolaan SDA, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat, untuk mencapai efisiensi secara ekonomis dan ekologis (ekoefisiensi) dengan menerapkan teknologi dan cara yang ramah lingkungan;
Penegakan hukum merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan SDA untuk menghindari perusakan SDA dan pencemaran lingkungan;
Perlu senantiasa dilakukan rehabilitasi kawasan rusak dan pemeliharaan kawasan konservasi yang sudah ada, penetapan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu serta peningkatan pengamanan terhadap perusakan SDA secara partisipatif melalui kemitraan masyarakat


C. DASAR HUKUM
Firman Allah SWT. :
Lukman: 20
Al-Haj :65
Al-Baciarah:29
Thaha:6
walaa tufsidu fil ardhi …..
walaa tabghil fasada fil ardh…
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput gembalaan, dan api. Harga (menjual-belikannya) adalah haram”. (HR. Ibn Majah)

  • Hadits tentang pengelolaan lahan tidur (ihya mawat). “Barang siapa yang mengelola lahan tidur, maka tanah tersebut menjadi miliknya” (HR Ahmad dan Tirmizi).
    Menurut Ibnu Chaldun, manusia harus memanfaatkan kekayaan alam untuk kemaslahan manusia dengan tetap menjaga kelestariannya.
  • Abu Yusuf, Mawardi dan Abu Ya’la menegaskan agar tidak membiarkan kekayaan alam tidak termanfaatkan (idle). Abu Yusuf mengatakan, Kepala Negara tidak boleh membiarkan tanah yang tidak bertuan tanpa pengelolaan dan Kepala Negara dapat menyerahkan hak pengelolaan tanah tersebut kepada rakyat (masyarakat).
  • Ketetapan Umar bin Khattab sebagai pemerintah tentang pengelolaan lahan yang mempercayakan kepada masyarakat dalam mengelola kekayaan alam berdasarkan hadits tentang ihyaal mawat (pengelolaan lahan tidur)

Monday, February 12, 2007

Reflections from Jogjakarta


CRCS Research Seminar Jogjakarta, January 2007

What scholar can do for environment? First consider perhaps to think that the realities need to be response. Second, it should be written in a paper—based in some scientific research-- and being discussed as a topic and dialogue. Research is the basis of the discourses, hence then we understand the roots of the problems. Of course it’s not enough, a scholarly though is a quite utopia because they still in the ivory tower. Then we should start to influence the society—as well as the decision makers-- what should be the
approach to be implemented. Although, we should not get frustrated at the end that the society are not realize and consider what the scholars recommend.

The one I like from this seminar of CRCS, UGM Jogjakarta 7-9 January 2007, in Jogjakarta is, the source scholar not just tried to enlighten the society by thinking and writing, but start their thought practice and preliminary action perform with their personality. Dr. Rita Gross, for example from years of studying Buddhism, but then started practice Buddhism principles in her life because she believe –as many scholars do—that Buddha teaching is the most environmentally friendly than other teachings. And Dr. Nawall Ammar, a Muslim woman born in Egypt tried advocating and explains Islam in the western society in the intellectual ways. At the end, it’s important to held a dialogues and talked many discourses, but the wise thing practically for the environmental solution is how we can start every actions from ourselves, the to the family, hence to the society at large.

I was presented my paper: “The current environmental issues in Indonesia” see lots of discourses had talked but the society not changing their behavior to threat the environment. At the end this proven by the worst flood inundated Jakarta in this February 2-3, 2007. Hence what can we says, there is no culprits except human who tried to put their pose in opposition to the nature. Plenty of riverside areas were converted by buildings as well as the bogs and wetlands areas were being changed to hypermarkets and apartments. At the end it’s a misery for this nations!

Tuesday, January 30, 2007

Warning Light for Aceh Forests

by Fachruddin M. Mangunjaya

Quoted from: Koran Tempo Tuesday, 9 January, 2007

EnvironmentalistTWO years after the tsunami catastrophe in Aceh, the fears of other ensuing disasters voiced by environment lovers and several non-governmental organizations (NGOs) turned out to be proven. Floods recently hit five regencies in Aceh. Head of the Mount Leuser National Park, Ir Wiratno, affirmed that the floods had resulted from illegal logging already left uncontrolled for years in the zone (Koran Tempo, December 26, 2006).

A year ago (December 5, 2005), the Aceh Forest Advocacy Working Group rejected the Minister of Forestry Decree to increase Aceh's timber quota from 47,000 cubic meters in 2005 to 500,000 cubic meters in 2006 by reactivating forest concessions. According to the working group comprising various NGOs, the move taken by the Department of Forestry was hasty and unreasonable.

Carefully calculating, even preventing, deforestation in Sumatra constitutes an absolute condition to forestall any recurrence of ecocide (killing of people by natural disasters) due to faulty policies.The World Bank estimated that the remaining lowland forests in Aceh were increasingly reduced. Its records for 15 years from 1982 to 1997 concluded that the forest damage affecting this region reached an average of 22,500 hectares a year.

Global Forest Watch noted that until the mid-1990s, Aceh's degraded forest areas covered 1,025,858 hectares and denuded areas 362,835 hectares. These figures have not yet been revised following the tsunami and destruction caused by widespread post-reform illegal logging over the last 10 years.>>more

Monday, January 29, 2007

My New Children Book: The Last Tigers, Harimau Harimau Terakhir


I am surprised with my new book, that finally published entitle The Last Tigers (Harimau-Harimau Terakhir) published by Wahyu Media, Jakarta (December, 2006). Dolly Priatna (the second author) has tried his effort to make the book published with the sponsor of Denver Zoo so the books will be available free for school children in Sumatra. We tried to popularize the book and make it as much as posible children to touch it. So the book available also in some book stores in Jakarta, Medan dan other cities.

This books is actually the friends of other series--Orangutan Pesta Buah Durian and Keluarga Gajah-- triying to replace the 'old stile' of malay fabel (on animal stories, popularize by the kancil or the mouse deer). If the old story was telling our children with the wisdom of cleaver mouse deer with its trick (and lies). Then our book telling children of science fiction: it based on the scientific evidance in the real life of the animals. Hopefully the book will help children--including parents-- begin to understand of the real condition of the wildlife in Indonesia. We are keen if sometimes this little book could be translated in some other languages, including english to make children aware of this critical conditions to the animals.

Both Dolly and I, was experienced in seeing the plight of the tiger since we worked in the conservation organization. We have been in the deep forest for months to see their natural habitat degraded by human greed. If we stand up in the forest and the seeing the human being just like 'pacman' to tractors, land clearing, logging and others, there seem nothing you can do. But we tried the last devotion to our childrens, hopefully they inspired with our real stories and change their mind to manage the nature better than us.

Saturday, September 30, 2006

Lumpur Sidoarjo dan Etika Penambangan

Oleh
Fachruddin M. Mangunjaya


Betapa khawatirnya kita dengan banjir yang terjadi setiap tahun, tetapi banjir air tidak sekejam banjir lumpur Sidoarjo yang kini bertambah luas. Jika banjir air, akibat luapan curah hujan berlebih, manusia masih bisa berharap untuk kembali kerumah mereka dalam waktu tertentu, mungkin paling lama satu atau dua minggu. Tetapi lumpur Sidoarjo, telah membanjiri dan menenggelamkan rumah penduduk, jalan, sawah, serta pabrik tempat mereka bekerja hingga sekarang--menjalani waktu lebih 2 bulan-- belum juga berhenti. Lumpur Sidoarjo menurut laporan terakhir harian ini (7/8) telah menggenangi lahan seluas 168 hektare atau seluas lebih dari 220 lapangan sepak bola. Sedangkan tinggi genangan di pusat semburan mencapai 10 meter.

Dr. Edy Sunardi Ketua Departemen Pengembangan Ikatan Ahli Geologi Indonesia mengatakan bahwa ini jenis lumpur ini adalah merupakan lumpur gunung (mud volcano), sama seperti lumpur yang keluar di Bleduk Kuwu di Purwodadi, dan Sangiran di Jawa Tengah yang terus keluar hingga sekarang. Ahli geologi ini mencatat bahwa dibawah bumi Porong hingga Gunung Anyar ada semacam tanki berisi lumpur yang membentuk semacam gorong-gorong yang luasnya 200 km persegi dengan ketebalan 4-5 km.

Kalau memang benar ini adalah mud volcano atau lumpur gunung, maka harapan untuk menghentikan luapannya memang semakin sulit. Bahkan dapat diramalkan, simpanan lumpur gunung ini sewaktu-waktu berpotensi pula dapat terjadi di kawasan yang lain yang berada di sekitar radius gorong-gorong. Pengalaman lumpur gunung ini merupakan masalah yang sangat jarang kecuali merupakan fenomena alam yang hingga kini masih menjadi perdebatan tentang muasal terjadinya.

Di luar Indonesia, catatan tentang lumpur gunung—yang hingga sekarang masih aktif – adalah dijumpai di Ajerbaijan, kawasan Asia Tengah. Lumpur gunung pada dasarnya merupakan pelepasan dari saluran akibat adanya tekanan energi gas yang ada dibawah permukaan bumi. Bahan yang terbawa tidak hanya gas, tetapi bercampur dengan air, juga sedikit bercampur dengan minyak yang sumber kedalamannya dapat mencapai hingga 812 km dibawah bumi. Tekanan ini dapat mengakibatkan lumpur melompat tinggi berkisar dari 5 hingga 500 meter. Di Sidoarjo, dicatat pusat ketinggian Lumpur yang melompat dari dalam tanah mencapai ketinggian 10 meter.

Menurut laporan Ronie Gallangher>> KORAN TEMPO

Friday, September 08, 2006

Alhamdulillah Selesai Juga!


Apa yang dirasakan setelah selesai kuliah? Tidak ada rasa apa-apa. Yang jelas tugas sebagai hamba yang mencintai ilmu dan ingin berbuat lebih banyak untuk bumi dan kemanusiaan harus membekali diri dengan keahlian yang tangguh. Tentu saja saya harus bersyukur (Thanks GOD). Karena itu saya mengambil Conservation Biology di Universitas Indonesia dalam rangka meningkatkan kapasitas diri dan ilmu yang mumpuni.

Terimakasih kepada anak dan istri (dila taya dan lulu serta ara). Teman teman ‘supporter’ sekeliling dan sahabat saya. Orang tua di kampung. Prince Bernhard Scholarship WWF International yang memberi saya beasiswa.

Thanks GOD I'm Done

Menjaga Satwa Langka dari Bengkulu Hingga Lampung

Tim CI Kamboja di Bukit Kaba, berkabut asap kebakaran hutan
Tulang badak yang disita Rhino Protection Unit sebagai barang bukti.

Menjaga aset bangsa berupa satwa liar di taman nasional yang ada di Indonesia sangatlah sulit. Mereka terancam nyawa bila tidak dijaga ketat. Selain habita mereka yang terus tergusur, juga terkadang satwa ini, terpaksi ‘jadi maling’ mencuri ternak penduduk karena tidak ada lagi makanan di hutan. Aktifitas inilah yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang ada di Kabupaten Curuk Bengkulu untuk menjaga: ‘raja hutan’ dan spesies lain yang dilindungi di taman nasional tersebut agar tidak terbunuh oleh pemburu atau dikeroyok penduduk. Bersama Fauna Flora International (FFI), sebagai mitra TNKS, ratusan ribu dollar dikeluarkan untuk menjaga satwa-satwa langka ini. Rangkaian perjalanan inilah yang saya lakukan dari tanggal 23-30 Agustus 2006. Saya menjadi interpreter untuk para ‘ranger’ asal Kamboja yang difasilitasi oleh CI Kamboja –yang ternyata mempunyai problem yang sama—dalam rangka melindungi satwa harimau Kamboja yang tersisa beberapa gelintir saja.

Pengetatan serupa dilakukan di TN Bukit Barisan Selatan untuk menjaga kelestarian Badak Sumatera. Satuan mereka disebut Rhino Protection Unit (RPU). Kami menyusur Kota Agung Lampung, melihat dari dekat kawasan KM 24 TNBBS, beristirahat di tengah hutan dan makan siang di pinggir sungai. Asyik. Kesan saya, TNBBS mirip sekali dengan kondisi di Taman Negara Malaysia atau Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara. Pasukan penjaga satwa di Lampung lebih karena difasilitasi empat mobil ranger (4 wheel drive). Baru kali inilah karena penjagaan yang ketat, sehingga perburuan terhadap badak jadi menurun. Bahkan ada Badak yang bernama ‘Rosa’ yang kemudian terbiasa dengan para pasukan RPU, dan terpaksa dipindahkan karena –anehnya— mau dekat dan bermain dengan manusia.

Banda Aceh Hingga Medan


Wawancara dengan SWR Swedia
dan Mangrove ditanam setelah
stunami, di Gronggrong, Aceh.















Tidak banyak yang dapat disumbangkan untuk Aceh kecuali memulihkan semangat dan kebangkitan pemduduknya untuk kembali sadar dan beraktifitas seperti sedia kala. Inilah realitas dan kehebatan orang-orang Aceh yang senantiasa sabar dan tabah lalu bangkit kembali. Tanggal 13-16 Agustus, saya ikut bergiat memberikan pelatihan dan penyadaran lingkungan dengan modul Islami. Beberapa materi diambil dari IFEES, Al-Quran dan Ciptaan dan

Konservasi yang diterjemahkan oleh CI. Pelatihan ini bekerjasama dengan WWF untuk mengundang guru-guru sains dan ustadz di beberapa pesantren.

Peninjauan lapangan dilakukan di daerah Gronggrong, Pidie untuk melihat pertumbuhan bakau yang kembali ditanam di Pantai Barat Aceh itu.

Pendekatan agama dalam melestarikan lingkungan ternyata menarik SWR dari Swedia untuk mengadakan wawancara. Saya katakan, tidak ada yang lebih tepat untuk pendekatan kesadaran di Aceh kecuali melalui ajaran Islam, karena Aceh memang menginginkan berlakunya perilaku Islami dalam tatanan masyarakatnya.

Tuesday, September 05, 2006

Cerpen: PROVOKATOR

Oleh Fachma al-Kumayi

Hari menjelang pagi. Angin laut menerpa, menghempas dack kapal Binaiya. Sebuah kapal penumpang dengan kapasitas 3000 orang. Kapal bertingkat tiga ini dengan tenang membelah laut. Tiupan angin dan gelombang beralur sedang sejak tadi malam tidak sedikitpun menggoyang tubuh kapal besi ini. Setelah shalat subuh. Udara dingin sekali, tapi awan diatas cerah sehingga matahari fajar yang menyingsing di ufuk timur sangat indah untuk dinikmati. Kapal yang kutumpangi ini adalah jurusan Semarang ke pelabuhan Kumai, Kalimantan Tengah.

Kapal ini cukup penuh dengan penumpang, ma’lum saja banyak sekali para penumpang adalah mereka yang pulang berlibur dari Jawa. Ada pula yang mencoba mengadu nasib mencari penghidupan di Kalimantan. Beberapa diantaranya kukenali sejak dari pelabuhan, mereka adalah bocah-bocah dengan pendidikan rendah di Jawa dan Sumatera yang sedang direkrut oleh cukong penebang kayu untuk membabat kayu yang masih tersisa di Kalimantan.

Pulau Kalimantan bagi beberapa orang memang bukan lagi tempat yang seram, tetapi adalah pulau dengan kekayaan alam yang melimpah dan menghasilkan uang. Pulau ini juga sebuah pulau tempat menyimpan harapan, keberuntungan banyak diperoleh dengan cara menguras sumber daya alamnya yang masih kaya.

Aku menikmati angin yang berhembus diatas dack kapal. Melihat lajunya perjalanan, menjelang pagi. Sudah kucoba menebak. Kapal dengan cat kuning gading ini sekarang memasuki kuala Tanjung Puting. Sebuah titik yang dituju setiap kapal yang ingin masuk ke teluk Kumai ataupun Kuala Kotawaringin. Ingatanku mulai berputar, betapa gembiranya berjumpa lagi dengan orang tua dan adik-adik. Sudah lima tahun aku dirantau dan tidak pernah pulang. Kupastikan akan menikmati mandi di sungai belakang rumah yang terus mengalir dan bersih. Kubayangkan aku melihat ramainya mata yang akan memperhatikan dan menyambut kepulanganku karena mereka ingin melihat apa perubahan apa yang ada pada diriku. Juga yang penting oleh-oleh buat mereka.

Aku turun mengundaki tangga ke bawah, menuju ke tempat tidur. Sebentar, terlelap beberapa waktu. Tiba-tiba aku terjaga, kulempar pandangan keluar jendela. Dan melihat ujung Tanjung Puting yang harusnya di tuju tidak juga di lewati. Anehnya kemudian haluan kapal berputar balik 180 derajad dan kembali ke arah semula. Ada apa gerangan?

Tiba-tiba dari lambung paling atas, tempat nakoda mengendalikan kemudi, kami mendengar pengumuman. “Kapal ini, atas permohonan “pihak berwenang”, akan kami alihkan menuju Sampit. Karena kami mendapat kabar, bahwa Kota Kumai sedang dilanda kerusuhan...!” kata suara tersebut dengan nada datar berulang-ulang memberitahukan kepada penumpang.
Aku terperangah tidak percaya. Apa benar, kampungku yang sangat asri dan indah itu sedang kerusuhan? Tidak mungkin. Tempat itu sangat aman dan damai. Orang-orangnya penuh toleransi, suka menolong dan ramah. Lagi pula apa iya kota kecamatan sekecil itu ikut-ikut trend kota besar seperti Jakarta yang penduduknya padat dan tidak lagi berbudaya? Hatiku berkecamuk.

“Wan, tahu tak, kapal ini sekarang berbalik haluan 180 derajat,” aku menanyakan kepada seorang kepada Irwan, yang masih duduk sambil memegangi koran di atas dipannya.
“Hah? Masa, aku dari tadi di kamar terus, sebenarnya apa yang terjadi?” Irwan mulai bereaksi dan beranjak dari tempat duduknya. Kemudian dia melongok ke jendela kapal di sebelah kirinya. “Heh, bener Nang*), Kapal ini putar haluan, kalau begitu kita mesti tahu apa sebenarnya yang terjadi. Masak, kampung kita yang aman-aman saja itu dibilang ada kerusuhan, tidak mungkin, mana bisa, kita mau kerusuhan sama siapa? Semuanya isinya saudara-saudara semua!”

Pikiran Irwan, sersis sama dengan apa yang kupikirkan di benakku. Sebuah ketidak percayaan. Mustahil dan muskil. Aku kemudian termenung dan berunding dengan Ikhwan. Kebetulan Dia adalah salah seorang anggota DPRD yang mewakili kecamatanku. Kami bertukar fikiran, tidak lama kemudian beberapa orang datang nimbrung.

“Tidak, bisa... kita harus sampai di Pelabuhan, Kumai. Tidak ada apa-apa disana!” sergah seorang pengusul.
“Tapi itu, tadi kan ada pengumuman, perintah dari Pemda setempat,”
“Ah. Mana ada yang percaya dengan Pemda!. Kita tidak percaya, pokoknya tidak ! enggak rela, enggak rela,” sambut yang lain mulai menghangatkan suasana. Beberapa orang mengusulkan kami mendekati kamar Muallim I untuk meminta keterangan sebenarnya. Setibanya disana, ternyata orang-orang sudah berkumpul dengan penuh emosional.

Perundingan pun mulai emosional. Ada dugaan sementara bahwa ini hanya sebuah permainan para cukong pelabuhan yang barangnya tidak terangkut. Ada juga dugaan bahwa ini skenario yang disengaja, agar kami lebih lama di laut, dengan demikian barang-barang di Kapal akan laku.

“Iya, tapi jangan mengorbankan orang kecil, dong. Uang ku kan sudah habis, tidak lagi bisa makan di restoran, atau cukup hanya bisa beli dua bungkus mie isnstant,” teriak Zudin, berbantah dengan teman yang ada disebelahnya.

“Pokoknya, kapal ini harus kembali ke Pelabuhan yang menjadi tujuan semula, kalau tidak kami akan berontak,” kata salah seorang penumpang dengan nada tinggi dan marah. “Tong, tong, ting tong...”Ah, salah seorang penumpang nampaknya terlalu emosi sehingga memuku-mukul tangga dan bodi kapal. Ada ratusan orang berkumpul didepan kamar muallim. Wah, runyam.
“Kalau tidak kembali, kita sandera saja, nakhodanya!,” ujar salah seorang mengusulkan.

“Bagi kami tidak apa-apa kembali ke Pelabuhan. Hanya kami punya pengalaman ketika berlabuh di Ambon dalam suasana rusuh, semua yang ada di dalam kapal malah tidak bisa pulang dengan aman, bahkan terjadi pembantaian dari orang-orang yang mengejar dari darat. Jelasnya kami sudah berpengalaman soal kerusuhan, jadi jangan paksa kami, kalau memang keadaannya masih rusuh,” ujar Kasidi, penanggung jawab keamanan Kapal.
Tapi perundingan tidak juga berakhir, sampai akhirnya diputuskan, dua orang yang mewakili penumpang yang ada di bawah, maju menghadap nakhoda.

“Teman-teman, nama saya Jumri, dan ini Dulrasid. Atas perundingan tadi kami ingin mewakili teman-taman dan saudara-saudara dan bersepakat menghadap kepada nakhoda dengan satu permohonan: Kita harus menuju Pelabuhan Kumai untuk membuktikan berita yang terjadi. Sehingga kita secara yakin mendapatkan kepastian apa yang terjadi di Kota yang biasanya aman dan damai itu !!,” kata Jumri berpidato. Yang mendengarkan setuju. Sementara haluan kapal terus melaju –dengan arah kembali—menuju pelabuhan Sampit. Applaus diberikan kepada penumpang di geladak untuk kedua orang yang berani menjadi wakil secara spontanitas.

***

Tiba-tiba saja, haluan kapal berputar 180 derajat. Tepuk tangan kegirangan penumpang yang sedang berkumpul di tengah dack kapal memenuhi ruangan..”plok..plok...hore...!!”
Kapal kemudian menuju ke pelabuhan idaman. Dengan kecepatan yang dipacu tinggi meredakan kekisruhan yang ada di kapal yang terlalu sempit itu.

Makan siang tiba. Kami antri untuk mengambil nasi dan jatah makanan. Sementara kapal melaju kencang, Tanjung Puting kelihatan kembali, dan tidak berapa lama kemudian KM. Binaiya menjumpai teluk Kumai.

Aku berdiri diatas dack sayap kiri depan. Wing kiri ini terletak di lantai tiga. Berdekatan dengan kamar operasi nakhoda. Bila menoleh ke kanan, terlihat nakhoda yang sedang sibuk mengendalikan kapal. Dari tempat ini pandanganku terlempar jauh sambil berdebar dengan harapan dan kecemasan. Menatap ke haluan kapal, seketika kami memasuki muara Sungai Kumai, aku melihat beberapa speed boat melaju kencang dan tidak lama telah merapat di lambung kapal. Binaiya kemudian bergerak perlahan.

Dua orang polisi, salah satunya adalah penanggung jawab sektor kepolisian kecamatan. Mereka didampingi dua petugas intelijen. Pak Kapolres mengumumkan kejadian sesungguhnya yang ada di lapangan: “Kumai memang dalam keadaan rusuh. Hingga sekarang telah jatuh beberapa korban. Maka untuk menghindari korban lebih banyak kapal ini kami minta dengan hormat untuk kembali dan mendaratkan penumpangnya di pelabuhan yang aman,” begitu pengumuman Pak Kapolsek.

Tanpa banyak bicara beberapa orang bertampang klimis mencari nama Jumri dan Dulrasid, dua
orang ini ditawarkan untuk diantar ke Pelabuhan Kumai agar dapat sampai menemui keluarganya yang menunggu. Dulrasid dan Jumri diam seribu bahasa, ketika mereka kemudian digiring menuruni geladak kapal menuju speed boat yang siap meluncur. Kami pun diam. Beberapa penumpang merasa pasrah, beberapa menit kemudian kapal berpaling kembali 180 derajad: KM. Binaiya kembali menuju Pelabuhan Sampit.

Esok harinya kami sampai di pelabuhan Sampit dengan aman. Aku tiba di rumah dan membaca sebuah harian daerah dengan antusias menulis head line: “Akhirnya berlabuh di Sampit...Kapal Binaiya yang tadinya telah menuju Pelabuhan sesuai dengan permintaan pihak berwenang, hampir saja akan berlabuh di Kumai dalam kondisi tidak aman yang dikhawatirkan akan membawa korban..., petugas telah mengamankan dua orang penumpang yang diduga memprovokasi di kapal tersebut.”

Aku menutup lembaran koran yang kujumpai tiga hari setelah kejadian yang menkhawatirkan itu. Aku berfikir, apakah seenak itu menuduh orang menjadi provokator di negeri ini?***
*) Nang= Anang, panggilan umum untuk pemuda Kalimantan.

Wednesday, July 12, 2006

PULANG KAMPUNG

Oleh: Fachma Al-Kumayi

Sudah tujuh tahun aku tidak pulang, Aku rindu kampung halaman, mencium lagi semerbaknya bunga hutan, melihat rimbunnya semak di belakang rumah, ramainya kicau burung liar setiap bangun pagi, semuanya membangkitkan ingatanku kembali. Di belakang rumah panggung yang menjadi cirri khas rumah Kalimantan ada anak sungai yang mengalir deras dan dingin. Warna air kali kecil ini berwarna oranye kecoklatan seperti air teh. Hal ini terjadi karena pengaruh endapan serasah dan akar kayu-kayu hutan tropis di sebellah hulu sana.

Ketika musim hujan tiba, anak sungai ini meluap deras. Bersama teman-teman lain aku bersenang-senang menikmati alam: terjun bebas dari tebing pasir terjal menyebur ke sungai yang dalam. Lalu dengan sepotong papan, kami menghanyutkan diri, menggiring arus yang deras kearah hilir sungai. Hiruk pikuk bersama lima atau enam rombongan anak-anak membiarkan arus membawa kami beriringan (konvoi) sehingga berkilo-kilo jaraknya. Kami mandi mengobok-obok air.

Rombongan ini jadi mirip berang-berang, dengan badan mengkilap dan mata merah bertengah-tengah hari, berenang hilir mudik. Permainan itu terkadang bubar begitu saja tanpa membilas diri dengan sabun. Suatu waktu permainan dapat juga terganggu dan kocar-kacir karena kami melihat ular lombok menyebrang di tengah-tengah rombongan renang. Kami lari ketakutan kalau-kalau ular itu berbalik menyerang.

Setelah mandi karena di seberang sungai masih hutan lebat terkadang sekawan Lutung merah (Hilobatus klosii) terlihat bertongkrongan diatas pepohonan dengan jarak 200 hingga 300 meter di depan kami. Karena mitos yang beredar dikalangan bocah--anak-anak-- Kalimantan, makhluk ini sangat tidak senang menggoda anak yang menggunakan pakaian mirip mereka. Tiba tiba Ijul –dalah seorang teman kami berteriak-teriak “Oii….kelasii ini nah si Abui, pakai baju bawarna merah…!”*) anak-anak itu berteriak sekuatnya dengan akrab, menyapa monyet-monyet yang ternyata di lindungi itu.

Setelah itu aku melihat jerat burung terkukur, kalau-kalau jebakan yang kami pasang kemaren telah kena di masuki oleh burung. Jerat-jerat ituu kami letakkan di tengah kebun atau pinggiran sungai yang berpasir. Kalau hujan telah usai biasanya jenis-jenis burung ini sering turun ketanah untuk mendapatkan makanan. Jebakan yangn kami buat untuk makhluk bersayap itu sangat sederhana, terbuat dari kayu dan tali dengan jerat dan sebilah tonggak lurus yang di lenturkan.

Lalu dalam lingkaran tali jerat tersebut ditabur padi atau beras di tengah-tengahnya. Setelah itu kami membuat kamuflase disekitar jebakan itu sedemikian rapi dengan dedaunan hingga mirip jebakan ala Mc Giver. Bila burung mendarat, karena melihat makanan dan menginjak jerat itu maka kayu terlentur setengah lingkaran tadi akan bergerak sontak dan menjerat kaki burung.

Pulang melongok jerat dengan pakaian seadanya biasanya kami melewati rumah bibi yang menanam buah-buahan seperti kedondong, jambu dan mangga. Tanpa permisi seperti kebiasaan nakalnya anak-anak memanjat pohon-pohon itu diam-diam atau menyasar buah-buah itu dengan ketepel. Tentu saja acara itu bisa bubar ketika bibi yang ada di rumahnya dikagetkan oleh hiruk pikuk anak-anak atau peluru ketapel yang jatuh diatas genting rumah, menyebabkan saudara ibu kandung ini mengomel.
***
Pulang kampung. Tempat-tempat bermain masa kecil itu sudah hilang. Ladang dibelakang rumah dan hutannya sudah tidak ada lagi. Lahan itu kini sudah di tumbuhi rumah penduduk. Kantor kelurahan lama yang tadinya terletak di kawasan pasar, kini di pindahkan tidak jauh dari belakang rumah kami. “Ini adalah merupakan kantor kelurahan baru yang dipindahkan untuk mengantisipasi keseimbangan pertumbuhan perumahan dan penduduk,” kata Pak Lurah berteori. Sungai pun terlihat tidak berair lagi, karena hutan sumber air telah dibabat habis di sebelah hulu sana.

Sepuluh tahun yang lalu, lebih kurang sepuluh kilometer dari rumah kami biasa kutemukan sumber air yang masih sangat asli di pinggir hutan. Anak sungai ini memang dangkal, namun merupakan anak sungai kecil selebar 3 meter yang berasal dari bawah hutan. Air yang keluar dari hutan ini bermuara pada anak sungai yang biasa kami pakai untuk mandi. Maka air yang keluar langsung dari arah hutan tersebut sangat dingin layaknya keluar dari dalam kulkas sedangkan yang berada di muaranya sungai agak lebar mengalir hangat. Kami menyebut lokasi itu dengan sungai Asap, karena sungai itu dingin dan terkadang berembun seperti asap.

Beberapa meter dari lokasi sungai tersebut, terdapat rumah terbuat dari kayu ulin tempat meletakkan hasil sadapan karet. Kini rumah itupun sudah roboh. Kolam ikan dengan penghuni berjenis-jenis ikan liar yang terletak di samping bangunan itupun telah hilang teruruk. Hanya tinggal kenangan. Begitupun monyet merah yang suka menakut-nakuti anak-anak waktu kami masih kecil kini tidak pernah tampil di pohon-pohon itu lagi. Mereka pergi untuk selamanya sejalan dengan penggusuran habitat mereka. Sekeliling rumah kami sudah tidak ada lagi hutan tempat mereka menggantungkan hidup mencari buah-buahan dan dedaunan yang layak di santap.

Aku coba memandang lurus ke arah jalan yang dulu penuh rumput dan semak. Kutatap sebuah bukit kecil yang setiap hari kudaki karena harus berjalan kaki menuju sekolah SMPku. Jaraknya hanya dua setengah kilo. Dulu jalan ini penuh semak, licin berlumpur dengan tanah merah ketika hujan. Kini jalan itu sudah beraspal licin. Semakpun tidak pernah muncul lagi.
Dari sekian kenangan yang masih utuh hanya beberapa pohon rambutan yang masih tumbuh dibelakang rumah kami. Ada lagi, langit biru kampungku yang masih belum lagi tercemar. Elang Bondol yang masih suka meliuk-liuk di udara melakukan manuver-manuver melihat-lihat anak ayam kampung yang lengah untuk di sambar tiba-tiba, masih kujumpai ketika aku pulang kemaren.***

*) hei lutung ini nih Abui (nama orang) pakai baju warna merah mirip kamu.
(Cerpen ini pernah dimuat pada Harian Pelita, Th 2003)

Sunday, June 18, 2006

Foto foto Peluncuran Buku H2DA Bersama Duta Lingkungan

Menteri Ir.Rachmat Witoelar


Wanda Hamidah



Paramitha Rusady
Titik Puspa, Dessy Ratnasari dan Valerina Daniel

Andien

Ray Sahetapy

Saturday, June 17, 2006

SEBUAH BUKU LINGKUNGAN DAN PARA 'BINTANG'


Ir. Rahmat Witoelar, Menteri KLH menandatangani peluncuran buku Hidup Harmonis Dengan Alam dan acara penyampaian kesadaran lingkungan oleh para duta lingkungan.


Apalah artinya sebuah buku, apabila tidak dibaca, tidak pernah direspon dan kemudian diletakkan di perpustakaan atau dimeja. Tetapi buku Hidup Harmonis Dengan Alam, yang merekam peristiwa lingkungan dan pengetahuan tentang kekayaan hayati Indonesia serta essai-essai “mencerahkan” mengenai konservasi alam dan lingkungan—yang saya kumpulkan selama lebih dari lima belas tahun dari tulisan-tulisan saya yang menyebar di berbagai media-- minimal tidak dibuat pembungkus roti dan sayur, karena berubah menjadi sebuah buku yang tampil baik dengan judul obsesif. Saya bersyukur kepada Illahi, karena secara simbolis buku itu diserahkan oleh Menteri Lingkungan Hidup kepada para Duta Lingkungan untuk disampaikan: Titik Puspa, Taufik Abdullah (sastrawan), Dessy Ratnasari, Paramitha Rusady, Valerina Daniel, Wanda Hamidah, Perkumpulan Women (para mantan Puteri Indonesia), Ray Sahetapi, Vani dan Andien.

Saya sungguh terkesan dengan kesadaran para bintang tentang lingkungan, Andien misalnya akan mengambil sendiri sampah yang dibuang oleh stafnya atau anggota manajemennya kalau mereka tidak mau memungut. Sementara Dessy Ratnasari teramat ‘kesal’ melihat penumpang mobil mewah yang kadang-kadang seenaknya membuang sampah dijalanan.
Kesan saya terhadap peluncuran buku yang berlangsung ditengah gemerlapnya para ‘bintang’ yang diutus oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagai “Duta Lingkungan”: sangat positif. Para artis memang mempunyai pemahaman global tentang lingkungan, tetapi saya mengharapkan mereka akan lebih dalam memahami persoalan lingkungan dan alam Indonesia dari H2DA.

Karena mereka banyak tinggal diperkotaan, maka dalam pembicaraan dalam pembicaraan kemarin banyak membahas masalah perkotaan: sampah, polusi, menanam pohon dikampus dll. Kecuali Paramitha Rusady yang pernah diajak kakaknya Ully Sigar Rusady untuk pergi ke gunung pancar dan berjalan selama enam jam. Lalu Paramitha kini menjadi seorang pembela alam dan lingkungan yang gigih dan mendapatkan penghargaan dari KLH.

Saya berpendapat, sesekali para artis itu harus melihat alam, masuk hutan bersama Paramitha, supaya rasa cinta alamnya tumbuh. Karena biofilia (biophilia), keterkaitan manusia dan alam akan terpendam (dormant) jika tidak dipupuk , begitu menurut Professor Kellert dalam Kinship to Mastery (1997).

Biophilia adalah sebuah hipotesis yang mengungkap tentang hubungan erat manusia dan alam. Jadi lingkungan, dan alam merupakan sesuatu yang saling berkait. Tegasnya, persoalan lingkungan juga menyangkut karekter kita dalam memperlakukan alam.

Maka ingin mencintai lingkungan, tidak cukup duduk di kota, lihatlah alam yang asli, pergi ke taman nasional atau hutan yang masih perawan, pergi ke pulau mengarungi samudra atau menyelam ke dasar laut. Pelajarilah ciptaan Tuhan yang ada disana. Bahwa Ilahi menciptakan alam yang lebih besar dari kita.

Terima kasih atas bantuan Dr. Hendri Bastaman, Asisten Menteri KLH Bidang Sosial Budaya, atas terlaksananya launching yang sangat strategis ini. Tabik!
Resensi Buku

Kritik atas Nalar Abad Industri
KORAN SINDO Minggu, 21/01/2007
DI dunia pendidikan muncul kritik tajam terhadap warisan paradigma (nalar) abad industri yang agresif dan eksploitatif terhadap alam demi profit dan akumulasi modal, dengan mantra ”efisiensi” dan ”persaingan bebas”.
>>>
Memesan Buku

Monday, May 29, 2006

Berbagi Pengalaman “Rahasia” Menulis

Banyak teman-teman bertanya kepada saya bagaimana caranya agar bisa menulis dengan baik. Menemukan ide untuk penulisan dan kiat-kiat apa yang tepat untuk dilakukan dalam menulis. Saya sendiri menganggap, saya adalah orang yang masih kalah produktif dengan mereka yang lebih produktif dalam menulis.

Saya ingin berbagi pengalaman mengenai ‘rahasia’ bagaimana bisa menemukan ide dalam penulisan. Tentu saya juga belajar dari bebarapa pakar yang produktif menulis di berbagai media dan bahkan menulis untuk buku-buku teks yang tebal.

Beberapa langkah yang saya lakukan biasanya:

Menghayal atau bermimpi (dalam arti berangan-angan positif), bisa menulis suatu topik.
Mencatat topik yang mau saya bahas kedalam buku blok notes saya ketika terlintas ide atau gagasan mengenai sesuatu yang muncul, baik ide tulisan, atau ide yang lain terkait dengan bisnis dan persoalan pribadi.

Saya mulai menulis sesuatu apa saja yang terkait dengan topik yang saya pikirkan. Disini memang terkadang buntu harus menulis apa? banyak orang berkata: ketika bercita-cita bisa, tetapi ketika menuliskan menjadi suatu kalimat yang baik dan mudah dicerna, kok tidak bisa. Jadi tulis saja apa yang keluar dari benak anda walaupun anda anggap buntu, tetapi tolong paksakan dan teruskan. Atau,berhenti kalau sedang tidak konsentrasi.

Cari sumber-sumber yang relevan dengan topik yang akan ditulis. Abad teknologi sekarang ini sangat memudahkan dengan mengakses sumber-sumber dengan topik yang mirip dengan hanya klik: Googgle atau Yahoo pakai search engine. Apabila bisa berbahasa inggris, sangat memudahkan, tinggal entri saja kata-kata penting yang akan dibahas.

Tulislah draft anda sedapatnya, dan endapkan. Kalau sudah cukup beberapa halaman, lalu print dan baca. Lakukan koreksi dengan tangan. Bawalah teks itu ketempat-tempat terbuka. Anda bisa mengedit, atau menambah kalimat-kalimat lain sembari melihat pepohonan dibelakang rumah. Bahkan ketika ‘nongkrong’ (maaf) di toilet.

Untuk penulis pemula, jangan terburu-buru mengirim tulisan tersebut ke media. Belum tentu bisa langsung dimuat. karena media memerlukan tulisan-tulisan yang aktual, dengan titik koma yang sempurna dan beralur logis (lihat kriteria penulisan Kompas, dan Suara Pembaruan)


Kapan saat tepat untuk menulis
?

Lain pribadi lain orang, lain cara menemukan mood dalam menulis. Kalau saya biasanya terlintas ide, ketika membaca koran (Koran yang merangsang saya untuk menulis –biasanya langsung saya “sobek” dan letakkan diantara kedua blok notes saya) ketika saya menemukan peristiwa actual yang akan saya tulis. Lalu saya browsing topik yang terkait atau membaca buku-buku referensi yang saya miliki di rumah. Saya biasanya memulai dengan mempelajari hal-hal mendasar dari peristiwa terkait.

Mood rutin saya adalah jam dua pagi hingga subuh: jam lima. Setelah subuh saya tidur kembali, dan bangun sekitar setengah tujuh. Sebagai muslim, tentu saya gunakan untuk shalat tahajjud minimal 2 rakaat. Untuk bangun tengah malam, biasanya saya langsung tidur lebih sore, jam 9 atau jam 10. Bisa pula saya menemukan mood jam 6 hingga jam 9 pagi.

Saya –rasanya-- tidak pernah menulis artikel siang bolong. Sebab waktu itu adalah waktu kerja di kantor dan ada pekerjaan rutin yang harus dilakukan. Karena menulis merupakan pekerjaan freelance yang menyenangkan (bagi saya) dan menambah pengetahuan pribadi.

Sewaktu-waktu, sesungguhnya, jangan juga memplotkan diri. Saya juga menulis tidak kenal waktu dan tempat. Ketika ada ide datang, saya harus menulis. Ya saya menulis. Saya bisa membuat draft di lapangan terbang, karena banyak waktu, dan juga kondisi lapangan terbang (bandara internasional) yang indah dengan taman-taman dan beraneka “warna kecantikan” (ehm...) termasuk berbagai ciptaan Tuhan yang cantik juga lalu lalang, sering menjadi trigger bagi saya untuk mencoret di bloknotes.

Tulisan saya termasuk yang tidak rapi. Terkadang langsung disalin di laptop dan idenya terus berkembang. Tulisan yang saya muat terakhir di Harian Koran Tempo Minggu, 21 Mei 2006: Catatan perjalanan, adalah hasil tulisan dari perpindahan 6 pesawat yang membosankan, dari Florida, singgah ke beberapa bandara termasuk di Narita (Jepang) dan Bandara Changi (Singapura). Saya menulis dua artikel dengan beberapa judul selama perjalanan itu.

Nah, mudah-mudahan kiat ini bisa menjadi pelajaran. Selain teman-teman bisa menjadi penulis dan bisa mengirimkan ke media, untuk mendapatkan ‘uang halal’ juga bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan melalui tulisan.


Bersambung:

Tulisan berikutnya: Bagaimana Mengirimkan Artikel ke Media?

Menik dan Lulu

Menik adalah nama boneka kesayangan Nazmi Lu’lu’ Alam (7 tahun), anak kami yang ketiga. Boneka inilah yang selalu dicarinya ketika bangun tidur sebelum menonton Spongbob dan Dora. Lulu harus mencari menik kalau mau tidur: memberinya selimut dan tidur disampingnya. Pernah suatu hari, tiba-tiba menik hilang dan dia tidak bisa tidur, harus mencari-cari boneka berambut pirang ini. Semua kakaknya mendapatkan marah, padahal dia sendiri yang menempatkan boneka itu dan terjatuh dibawah ranjangnya. Coba lihat foto ini, betapa Lulu dan Menik seperti sibling yang tidak bisa dipisahkan.




Lulu dan Menik (Foto: Fadila Maula Hafsah)

Tuesday, May 23, 2006

CERITA KAPAL NUSANTARA

Bayangkan bangsa ini berada di sebuah kapal. Kita berlayar menuju kepada sebuah cita-cita yang bernama ‘Pulau Adil dan Makmur’. Didalam kapal itu, ibarat kapal Nabi Nuh: Ada berbagai suku bangsa dan kulit berwarna warni, mempunyai ras yang berbeda dari rambut lurus hingga keriting.mata sipit hingga lebar, berkulit terang hingga gelap. Didalamnya ada pula binatang, spesies tumbuhan yang beraneka ragam, pohon-pohon yang menjulang tinggi dibawa serta, kekayaan yang dibawa oleh kapal ini luar biasa banyaknya: sehingga disebut kekayaan Megadiversity. Namun tanpa mengenal warna kulit dan potongan rambut, semua penumpang yang ada didalamnya saling ketergantungan, karena masing-masing sepakat untuk mencapai cita-cita dan kemakmuran. Didalam kapal terdapat sekat dan tingkatan serta dek-dek pembatas. Bagian paling tinggi adalah nakhoda, para muallim dan petinggi yang memutuskan kemana kapal akan dibawa.

Para penumpang kapal yang terdiri dari rakyat jelata, telah pula memilih wakil-wakil mereka yang dianggap ‘pintar pintar’ untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan peraturan dan aturan main di dalam kapal.

Menuju pantai harapan, penumpang harus mengeluarkan uang pembelian tiket, dari pembayaran itu mereka mendapatkan makanan fasilitas, dan kenyamanan yang pantas. Di dalam kapal terdapat berbagai usaha dari pedangan asongan hingga konglomerat. Didalam kapal, masing-masing mendapatkan keuntungan yang cukup, bahkan dalam beberapa sektor kapal tersebut mengekspor barang untuk kapal yang lain. Karena kapal itu masih mempunyai pohon-pohon yang bisa dijual, binatang binatang liar dapat diperdagangkan, sumber daya alam lain: minyak, batubara, dan hasil-hasil pertanian dari tanah yang subur dapat dijual dengan keuntungan yang memadai.

Dalam kapal ini, barang-barang semuanya murah karena kebijakan pemilik kapal yang baik hati, mensubsidi penumpangnya untuk memperoleh keperluan mereka.
Sayangnya, beberapa penduduk kapal tersebut ada yang bersikap tamak dan rakus. Hidup mewah, berlebih-lebihan karena mendapatkan fasilitas, bahkan mereka berbuat semena-mena menyelewengkan wewenang, mengekspor sendiri keperluan kapal: ada yang menyelundupkan minyak sehingga mencapai 8,8 triliyun pertahun. Ada pula yang ‘membawa kabur’ aset-aset kapal dengan jumlah triliyunan dan tidak mampu ditangkap. Para kelasi kapal semuanya loyo-loyo kalau menghadapi buron kelas kakap. Akhirnya pengusaha itu lalu memindahkan usahanya ke kapal tetangga dan kapal-kapal di atas angin lainnya. Sebelum kabur, tentu rampok ini menebar uang dulu untuk ‘sangu’ para punggawa penjaga pintu gerbang dan para kelasi kapal. Maling uang penumpang itu berupaya membujuk punggawa supaya menurunkan sekoci, agar dia bisa membawa kabur asset kapal pindah ke kapal lainnya.

Cara ‘rampok-merampok’ seperti ini adalah lumrah di dalam kapal, karena penjaga kapal tidak menerapkan sangsi yang tegas untuk para perampok kelas atas seperti itu. Di dalam kapal ini, belum ada sejarahnya perampok itu dihukum gantung, atau ditembak mati di depan umum karena mencuri uang penumpang! Ada yang lupa: sewaktu dilantik menjadi nakhoda, seharusnya penumpang penumpang kapal bersama-sama membuatkan peti mati, disamping pelantikan itu. Maksudnya, agar siapa saja yang korupsi berat, agar segera dikirim dengan peti mati tersebut, karena ini dianggap akan mencelakai penumpang kapal secara keseluruhan. Sebab selama ini tidak ada yang dihukum berat, paling tinggi hanya beberapa puluh tahun. Berlawanan dengan maling sandal yang diadili, atau maling sepeda motor yang dikeroyok babak belur hingga mati dan di kirim ke akhirat.

Karena agin ribut, banyak bencana dan persediaan terbatas, minyak di dalam kapal harus segera dinaikkan. Sebab menurut perhitungan para ahli ekonomi perkapalan, minyak yang digunakan oleh penumpang kapal selama ini paling murah di bandingkan dengan kapal lain. Walaupun kapal ini merupakan salah satu produsen minyak mentah, tetapi terpaksa membeli minyak dari kapal lain yang pintar mengolah minyak. Untuk memperoleh minyak guna mensuplai penumpannya, pengurus kapal harus mensubsidi dengan membeli minyak di kapal lain—yang bahan mentah dieksprornya. Penyelundupan ke lain kapal akan terjadi kalau kapal ini tidak menaikkan harga. Maka, harga minyak pun diputuskan naik. Bagian penerangan di kapal mengirim SMS: “Minyak terpaksa dinaikkan, agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Tolong bantuan awasi subsidi tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih.”

Di dalam kapal penumpang sudah mulai resah karena kebutuhan pokok melambung tinggi, rakyat kecil berebut antri uang dana langsung subsidi yang dialihkan langsung kepada mereka. Malangnya subsidi itu ternyata hanya sementara. Mualim kapal yang mengurus bagian subsidi mengatakan subsidi hanya mungkin berlaku hingga 2006.

Karena terdesak, gara-gara harga minyak mulai melambung tinggi, kebutuhan pokok yang melangit, penumpang terpaksa menjual apa saja yang ada didalam kapal, baik secara legal maupun illegal. Ada yang menjual diri, ada juga yang memperjual belikan anak-anak penumpang kepada kapal tetangga yang lebih kaya. Ada yang mencari upah di kapal lain, tetapi dengan bayaran sedikit, terkadang tidak dibayar. Karena stress banyak penumpang yang bunuh diri dan gila. Pendidikan di atas kapal carut marut. Banyak yang tidak terdidik dengan baik sehingga gampang dikelabui oleh tetangga kapal yang lainnya: asset kapal diangkut, penumpang kapal dibayar murah. Orang kapal seberang mempuyai istilah ‘keren dengan istilah konsultan’.
Karena kesulitan bahan bakar minyak, penumpang menggunakan kayu bakar untuk mamasak. Mereka kembali pada pola lama, karena energi alternatif yang diciptakan oleh para ahli dan ilmuwan kapal ternyata tidak bisa dimanfaatkan. Energi tambahan misalnya biogas, hydropower, tenaga matahari dan angin, merupakan teori-teori ‘memble’ yang tidak mendapatkan perhatian dari penguasa kapal karena tidak memdapatkan dana pengembangan yang memadai.

Sementara penumpang berebut dana subsidi hingga pingsan dan terinjak-injak, wakil-wakil penumpang yang mereka pilih selaku utusan malah mengusulkan kenaikan upah mereka. Katanya untuk penyesuaian karena bahan kebutuhan semakin naik dan ongkos bertemu penumpang—supaya dipilih kembali—memerlukan banyak dana. Padahal, rata-rata penumpang kapal sudah ‘ngos-ngosan’ mencari nafkah.

Sudah sering terjadi revolusi di dalam kapal. Penumpang ingin kehidupan yang lebih baik dan adil. Mereka mengharapkan pemimpin yang mengerti perasaan penumpang. Bisa menciptakan lapangan kerja, menciptakan keamanan dari rasa takut dan menyediakan makanan yang terjangkau harganya, menyiapkan fasilitas pendidikan yang baik, memberikan pengobatan, dan tempat berteduh yang layak.

Salam,

Penumpang kapal Nusantara.

Fachruddin Mangunjaya
http://nature-of-indonesia.blogspot.com