Saturday, May 06, 2006
Festival Bunga Sakura di Washington DC
Udara terasa menusuk kulit. Bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan iklim tropis, kondisi ini tentu saja agak mengagetkan karena diluar ruangan, masih terasa sejuk seperti ber AC. Suhu 10-15 derajad selsius di musim semi (spring) di Ibu kota Amerika, Washington DC ini memang dingin, tetapi masih bisa ditolerir oleh kulit coklat orang melayu seperti saya.
Pemandangan yang menjadi daya tarik yang indah tentunya di musim semi adalah bunga sakura bermekaran (cherry blossom). Bagi warga Washington saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengadakan even yang besar seperti festival bunga sakura atau cherry blossom festival. Banyak warga di luar Washington kemudian berlibur untuk melihat peristiwa ini. Oleh sebab itu, bulan April merupakan ‘peak season’ turis domestic AS datang ke DC yang kemudian memenuhi kamar hotel. Karena itulah saya tidak kebagian kamar hotel di sekitar Washington. Sebab di sekitar Washington, hotel telah di book oleh para tamu yang akan menyaksikan Cherry Blossom Festival dalam minggu-minggu awal hingga pertengahan bulan April.
Dalam sejarahnya bunga sakura yang kini jumlahnya 3,700 pohon mengelilingi Washington merupakan hadiah dari Kaisar Jepang Teno Heika tahun 1912. Sakura dikirimkan sebagai tanda persahabatan antara pemerintah Jepang dan AS, sehingga menjadi tradisi setelah berpuluh tahun kemugian kemudian bunga pohon sakura ini mekar pada saat musim semi dan menjadi daya tarik tersendiri bagi warga di Amerika.
Oleh karena itu, setiap tahun ketika mekarnya bunga sakura kota Washington menjadi ‘ajang pamer persahabatan dan festival antar bangsa. Dalam festival kali ini, Indonesia turut mengambil bagian dengan menampiklan parade kesenian tradisional, yakni Reog Ponorogo, Pencak Silat, dan Tabuik yang di bawa dari Padang, Sumatera Barat.
Dalam parade festival yang diikuti oleh Negara-negara di seluruh dunia ini, menurut Duta Besarnya yang baru Sudjadnan Parnohadiningrat, Indonesia ingin menyampaikan penghargaan kepada AS atas bantuan saat Indonesia mengalami masa-masa kesedihan, ketika terjadi Tsunami di Indonesia (Kompas 6/4).
Bila berkeliling Washington, musim semi. Anda akan melihat ‘Jepang’ di Washington karena bunga sakura bermekaran di berbagai sudut perkantoran, di bagian Timur Potomac Park , sekitar Monumen Washington. dan juga di sekitar Jefferson Memorial./Fachruddin Mangunjaya.
Tentang KH. Husein Muhammad
Ketika melihat wawancara Husein Muhammad hari ini di KOMPAS Minggu (7 Mei 2005), saya jadi ingat perjalanan bersama beliau ke Buton Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Kami mengadakan perjalanan yang kami sebut dengan Da’wah Konservasi. Perjalanan tersebut sungguh mengesankan dan singkat. kami mengumpulkan jamaah di dua masjid di Wanci, Kaledupa, sebuah Kabupaten Baru yang semula merupakan Taman Nasional Wakatobi.
Keprihatinan saya pada kawasan ini adalah seluruh kawasan konservasi –memang didalamnya merupakan kecamatan dan banya penduduk—yang menjadi enclave, menjadi sebuah kabupaten baru. Artinya, kawasan konservasi yang mempunyai potensi besar untuk kesejahteraan, bila salah urus, akan mengakibatkan kesakan karena tekanan ekploitasi yang lebih intensif guna mangejar pendapatan daerah.
Pemboman ikan dan penangkapan ikan dengan menggunakan potassium cukup marak di kawasan ini, juga penggalian batu karang yang kemudian dibuat jembatan dan rumah sehingga bisa membendung pulau menjadi perkampungan. Penduduk muslim disini sangat responsip dengan da’wah Islam. . Mereka spontan datang ke masjid ketika diadakan pengumuman. Ki Husein memberikan kuliah dia masjid dalam satu malam Setelah shalat Magrib dan Isya. Salah satunya di Kampung Bajao.
Kunjungan singkat kami memang tidak akan banyak membawa makna tanpa ada tindak lanjut. Tetapi silaturahmi kami telah membawa bekal, dari Worksop para ulama tentang Fikih Lingkungan (Fiqh-al Biah) dan sosialiasi pentingnya ummat memelihara dan ramah terhadap lingkungan. Dunia Islam terlalu tertinggal dengan ajaran dan praktik ini.
Ki Husein berdialog tentang keprihatinannya terhadap penafsiran yang tekstual terhadap al-Quran dan kitab klasik. Oleh karena itu beliau menyambut baik kitab yang saya tulis tentang Konservasi Alam dalam Islam. Walaupun beliau mengkritik otoritas saya –yang bukan orang pesantren—bisa bisanya menulis tentang Islam. Saya katakan, sebagai muslim saya ingin beribadah dan perlu landasan spiritual dalam saya bekerja sebagai konservasionis. Adalah yang saya kerjakan ini mempunyai kekuatan dalam Islam.
Saya berhujjah, ini adalah permulaan dan harus dimulai, daripada tidak ada. Kini buku tersebut—saya dengar-- mendapatkan sambutan di berbagai fakultas Islam di tanah air. Termasuk Prof. Richard Foltz, yang sekarang secara intensif mengkaji tentang ajaran lingkungan (Islamic environmentalism) di dunia Islam. Saya berharap kajian itu bisa memancing kajian lanjutan peran Islam dalam menyelematkan alam dan lingkungan.
Keprihatinan saya pada kawasan ini adalah seluruh kawasan konservasi –memang didalamnya merupakan kecamatan dan banya penduduk—yang menjadi enclave, menjadi sebuah kabupaten baru. Artinya, kawasan konservasi yang mempunyai potensi besar untuk kesejahteraan, bila salah urus, akan mengakibatkan kesakan karena tekanan ekploitasi yang lebih intensif guna mangejar pendapatan daerah.
Pemboman ikan dan penangkapan ikan dengan menggunakan potassium cukup marak di kawasan ini, juga penggalian batu karang yang kemudian dibuat jembatan dan rumah sehingga bisa membendung pulau menjadi perkampungan. Penduduk muslim disini sangat responsip dengan da’wah Islam. . Mereka spontan datang ke masjid ketika diadakan pengumuman. Ki Husein memberikan kuliah dia masjid dalam satu malam Setelah shalat Magrib dan Isya. Salah satunya di Kampung Bajao.
Kunjungan singkat kami memang tidak akan banyak membawa makna tanpa ada tindak lanjut. Tetapi silaturahmi kami telah membawa bekal, dari Worksop para ulama tentang Fikih Lingkungan (Fiqh-al Biah) dan sosialiasi pentingnya ummat memelihara dan ramah terhadap lingkungan. Dunia Islam terlalu tertinggal dengan ajaran dan praktik ini.
Ki Husein berdialog tentang keprihatinannya terhadap penafsiran yang tekstual terhadap al-Quran dan kitab klasik. Oleh karena itu beliau menyambut baik kitab yang saya tulis tentang Konservasi Alam dalam Islam. Walaupun beliau mengkritik otoritas saya –yang bukan orang pesantren—bisa bisanya menulis tentang Islam. Saya katakan, sebagai muslim saya ingin beribadah dan perlu landasan spiritual dalam saya bekerja sebagai konservasionis. Adalah yang saya kerjakan ini mempunyai kekuatan dalam Islam.
Saya berhujjah, ini adalah permulaan dan harus dimulai, daripada tidak ada. Kini buku tersebut—saya dengar-- mendapatkan sambutan di berbagai fakultas Islam di tanah air. Termasuk Prof. Richard Foltz, yang sekarang secara intensif mengkaji tentang ajaran lingkungan (Islamic environmentalism) di dunia Islam. Saya berharap kajian itu bisa memancing kajian lanjutan peran Islam dalam menyelematkan alam dan lingkungan.
Subscribe to:
Posts (Atom)