Tahun 1997/98, terjadi kebakaran hebat tercatat 6.5 juta ha hutan terbakar di Kalimantan, 1.75 juta ha di Sumatera. Kebakaran itu merupakan kebakaran yang paling hebat di sepanjang sejarah. “Bayangkan bayi baru lahir hingga beberap minggu tidak bisa terkena cahaya matahari,” kata Eka Budianta, waktu itu. bercerita kepada saya. Pak Eka, didukung oleh Agua dan sejumlah perusahaan lain mengirim air minum dan masker untuk warga di seputar daerah kebakaran, teristimewa di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Kebakaran hutan adalah sesuatu yang biasa di Kalimantan dan dirasakan hampir tiap tahun. Entah mengapa. Masa lahir, bermain dan tumbuh dewasa hingga sekolah menengah atas saya berada di Kalimantan. Fenomena kebakaran hutan dijumpai setiap tahun. Sewaktu saya duduk di bangku SD dan SMP, ketika pagi, pergi ke sekolah bersaput asap, adalah hal yang lumrah. Tetapi waktu itu, kami masih bisa bernafas, hanya saja bau alang-alang dan rumput yang terbakar terasa menyengat menusuk hidung.
Ketika musim kemarau, Ibu saya sering menangis khawatir, kalau-kalau hutan terbakar di belakang rumah kami menyulut dapur. Hampir setiap musim kemarau, ada saja ‘orang iseng’ yang membakar semak dan hutan. Terkadang bukan untuk tujuan berladang, tetapi karena semata-mata iseng dan ‘gatal tangan’ ingin menyulut ilalang yang kering. Sementara air sungai menjadi kering dan berbau, kami mencari tempat mandi di sebelah hulu dimana dijumpai air bersih yang menyegarkan.
25 tahun silam, saya sangat menikmati benar hidup dipinggiran hutan di Kalimantan. Di belakang rumah kami di Kumai, sebuah kota kecil di Pesisir Kalimantan Tengah, ada Sungai kecil yang airnya dingin tetapi –seperti warna khas air di tanah Kalimantan—berwarna merak seperti air teh. Setiap pagi, masih terdengat kicauan burung murai dengan nyaringnya. Sehabis hujan reda. Burung-burung itu turun ke tanah. Mencari makan, berupa belalang dan cacing.
Di sungai, masa kecil yang menyenangkan hidup bersama alam: memancing, menangguk ikan, bermain kapal-kapalan.
Dua puluh tahun kemudian, semuanya berubah. Hutan dibelakang rumah kami telah menjadi perkampungan. Jalan-jalan telah ditembus. Tempat masa kecil berburu buah-buahan hutan dan tempat mencari sarang burung serta memasang jerat, sudah tidak ada lagi. Sebuah danau kecil yang sering saya kunjungi sebagai tempat favorit memancing ikan gabus dan tempela, sama sekali tidak terlihat bekasnya. Ibu saya pun tidak perlu khawatir rumah dan sudut dapurnya ikut terbakar, karena hutan tidak ada lagi. Semua memang telah berubah!
***
Di Jakarta, saya berjumpa Pak Eka Budianta yang menjadi Direktur Eksekutif Dana Mitra Lingkungan, aktifis lingkungan yang, menerbitkan Majalah PANCAROBA, disitu banyak aktifis lingkungan menulis. Catatan Eka dihimpunnya menjadi sebuah buku:’Eksekutif Bijak Lingkungan’ Dengan harapan buku itu bisa dibaca ketika waktu senggang para eksekutif muda dan orang awam yang interest dengan soal lingkungan. Saya senang menulis pula di majalah itu, untuk memberikan pengetahuan dan opini tentang lingkungan hidup di Indonesia. Dari tulisan-tulisan Eka Budianta, saya juga belajar banyak tentang lingkungan. Berbagi pengalaman.
Saya tidak tahu, apakah ada pengaruh dari tulisan-tulisan para aktifis lingkungan di majalah-lingkungan dengan perubahan sikap bangsa Indonesia? Terbukti banyak sekali majalah-majalah itu kemudian “mati”, termasuk PANCAROBA. Sebelumnya boleh kita hitung pula dengan tenggelamnya Majalah Suara Alam dan Voice of Nature serta Tabliod Mutiara yang sering memuat aktifitas petualangan anak-anak muda di alam. Setelah Era Reformasi pernah muncul majalah lingkungan, Ozon dan Krakatau (yang tampil mirip dengan national geographic). Pada akhirnya terbukti majalah-majalah tersebut semuanya “tenggelam”. Tidak ada peminat. Hingga hari ini, hanya majalah komunitas dan LSM saja yang masih hidup. itu pun –tentu saja –sementara mereka mempunyai dana---yang umumnya merupakan dukungan dana luar negeri--untuk mengkampanyekan pentingnya lingkungan.
Sangat menarik, majalah entertainment dan ‘gossip’ selebriti sangat digemari. Puluhan majalah hiburan ‘impor’ telah dialih bahasakan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Pada akhirnya untuk mengisi kekosongan itu ada National Geographic Indonesia (NGI) yang terbit telah beberapa volume.
Terbukti. Investasi terhadap pengetahuan tentang alam dan lingkungan Indonesia, ternyata mempunyai peminat yang masih ‘lemah’ dan sedikit. Padahal alam Indonesia sangat cepat berubah. Dalam sepuluh tahun terakhir kita semakin banyak dirundung bencana-bencana lingkungan: kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan konflik penempatan sampah. Semakin kompleks perkara lingkungan tetapi pemahaman masyarakat---tampaknya, mungkin—belum bertambah.
Majalah lingkungan boleh mati. Tapi saya memperhatikan Eka masih tetap menulis. Saya lihat ada tulisannya mengenai lingkungan di Majalah Trubus. Ada pula di beberapa media popular bukan lingkungan yang bisa ditembusnya. Saya “cukup iri” dengan Eka, karena selain sebagai sastrawan yang pandai menulis puisi dan cerpen, dia pintar pula menulis soal lingkungan. Saya berharap dia lebih arif di usianya yang ke 50, dan tetap menulis. Menceritakan kepada kami tentang lingkungan hidup, menulis cerpen dan puisi. Setengah abad “Eka Budianta”, sahabat saya. Memang perlu disadari: menurut orang bijak “semuanya pasti akan berubah dan yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.”
Tabik !
*) Tulisan ini dipublikasikan dalam Eka Budianta. Mekar Di Bumi: Visiografi 50 Tahun Eka Budianta. Pustaka Alfa Bet: Jakarta xviii+406 halaman.