Friday, September 08, 2006

Alhamdulillah Selesai Juga!


Apa yang dirasakan setelah selesai kuliah? Tidak ada rasa apa-apa. Yang jelas tugas sebagai hamba yang mencintai ilmu dan ingin berbuat lebih banyak untuk bumi dan kemanusiaan harus membekali diri dengan keahlian yang tangguh. Tentu saja saya harus bersyukur (Thanks GOD). Karena itu saya mengambil Conservation Biology di Universitas Indonesia dalam rangka meningkatkan kapasitas diri dan ilmu yang mumpuni.

Terimakasih kepada anak dan istri (dila taya dan lulu serta ara). Teman teman ‘supporter’ sekeliling dan sahabat saya. Orang tua di kampung. Prince Bernhard Scholarship WWF International yang memberi saya beasiswa.

Thanks GOD I'm Done

Menjaga Satwa Langka dari Bengkulu Hingga Lampung

Tim CI Kamboja di Bukit Kaba, berkabut asap kebakaran hutan
Tulang badak yang disita Rhino Protection Unit sebagai barang bukti.

Menjaga aset bangsa berupa satwa liar di taman nasional yang ada di Indonesia sangatlah sulit. Mereka terancam nyawa bila tidak dijaga ketat. Selain habita mereka yang terus tergusur, juga terkadang satwa ini, terpaksi ‘jadi maling’ mencuri ternak penduduk karena tidak ada lagi makanan di hutan. Aktifitas inilah yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang ada di Kabupaten Curuk Bengkulu untuk menjaga: ‘raja hutan’ dan spesies lain yang dilindungi di taman nasional tersebut agar tidak terbunuh oleh pemburu atau dikeroyok penduduk. Bersama Fauna Flora International (FFI), sebagai mitra TNKS, ratusan ribu dollar dikeluarkan untuk menjaga satwa-satwa langka ini. Rangkaian perjalanan inilah yang saya lakukan dari tanggal 23-30 Agustus 2006. Saya menjadi interpreter untuk para ‘ranger’ asal Kamboja yang difasilitasi oleh CI Kamboja –yang ternyata mempunyai problem yang sama—dalam rangka melindungi satwa harimau Kamboja yang tersisa beberapa gelintir saja.

Pengetatan serupa dilakukan di TN Bukit Barisan Selatan untuk menjaga kelestarian Badak Sumatera. Satuan mereka disebut Rhino Protection Unit (RPU). Kami menyusur Kota Agung Lampung, melihat dari dekat kawasan KM 24 TNBBS, beristirahat di tengah hutan dan makan siang di pinggir sungai. Asyik. Kesan saya, TNBBS mirip sekali dengan kondisi di Taman Negara Malaysia atau Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara. Pasukan penjaga satwa di Lampung lebih karena difasilitasi empat mobil ranger (4 wheel drive). Baru kali inilah karena penjagaan yang ketat, sehingga perburuan terhadap badak jadi menurun. Bahkan ada Badak yang bernama ‘Rosa’ yang kemudian terbiasa dengan para pasukan RPU, dan terpaksa dipindahkan karena –anehnya— mau dekat dan bermain dengan manusia.

Banda Aceh Hingga Medan


Wawancara dengan SWR Swedia
dan Mangrove ditanam setelah
stunami, di Gronggrong, Aceh.















Tidak banyak yang dapat disumbangkan untuk Aceh kecuali memulihkan semangat dan kebangkitan pemduduknya untuk kembali sadar dan beraktifitas seperti sedia kala. Inilah realitas dan kehebatan orang-orang Aceh yang senantiasa sabar dan tabah lalu bangkit kembali. Tanggal 13-16 Agustus, saya ikut bergiat memberikan pelatihan dan penyadaran lingkungan dengan modul Islami. Beberapa materi diambil dari IFEES, Al-Quran dan Ciptaan dan

Konservasi yang diterjemahkan oleh CI. Pelatihan ini bekerjasama dengan WWF untuk mengundang guru-guru sains dan ustadz di beberapa pesantren.

Peninjauan lapangan dilakukan di daerah Gronggrong, Pidie untuk melihat pertumbuhan bakau yang kembali ditanam di Pantai Barat Aceh itu.

Pendekatan agama dalam melestarikan lingkungan ternyata menarik SWR dari Swedia untuk mengadakan wawancara. Saya katakan, tidak ada yang lebih tepat untuk pendekatan kesadaran di Aceh kecuali melalui ajaran Islam, karena Aceh memang menginginkan berlakunya perilaku Islami dalam tatanan masyarakatnya.