Tuesday, May 26, 2009

Ziarah ke Tanah Leluhur

Cuti selama empat hari ditambah libur dan week end, Mei-17 sd 24, bersama keluarga terbang ke Kalimantan. Karena Ibunda (Uma) mengajak ziarah ke Martapura untuk melihat paman dan acil serta keluarga dari sebelah Ayah. Walaupun perjalanan cukup melelahkan dari Kalimantan Tengah ke Selatan, hampir satu hari satu malam, saya ikut menyetir mobil kijang yang kami sewa. Senang sajalah, soalnya ini adalah pengalaman pertama membawa mobil menelusuri hutan Kalimantan (Eh memang ada hutan?) Jujur, sudah tidak ada hutan lagi, yang ada adalah semak dan kebun sawit. Jalan sudah lumayan bagus. Jembatan panjang-panjang untuk mengatasi aliran rawa-rawa Kalimantan yang luas.



Di Martapura Kalimantan Selatan, disinilah ayah saya dilahirkan. Dari keluarga santri ortodoks golongan salafi yang menghormati Tuan Guru dan para ulama. Dua puluh tahun yang lalu saya ke daerah ini, masih teringat saya suara Tuan Guru Zaini Ghani yang merdu mengelus telinga membaca burdah dan shalawat. Kini beliau telah tiada dan saya bersama keluarga hanya mengunjugi nisannya didalam Kubah Kampung Sekumpul Martapura sambil memanjatkan doa. Kubur beliau berada di sebelah Mushalla Al Raudhah yang dibangunnya bersama ummat yang mengagungkan shalawat kepada Nabi Sallalahu alaihi wassalam.



Perubahan terjadi sangat drastis, seperti tempat lainnya di Kalimantan. Sekumpul yang tadinya hutan belantara menjadi kompleks yang hidup dan membawa dampak bagi masyarakat sekitar. Ekonomi masyarakat hidup, karena tempat ini menjadi daya tarik wisata religious di Kalimantan. Hampir setiap rumah di Kalimantan (utamannya di kalangan muslim) Banjarmasin, memajang foto Tuan Guru Syaykh Zaini Ghani keturunan ke tujuh Datu Kelampaian atau Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Sebelum ke Sekumpul kami mengunjungi kompleks Mangunjaya, tempat pemakaman keluarga dan disana disemayamkan Patih Mangunjaya. Ziarah kuburan Nenek dan Kakek kami, juga paman yang dulu ku kenal sangat baik dan pemurah, telah mendahului kami.


Di Alkah ini juga, dimakamkan al Mukharram Abdul Ghani, ayahanda Tuan Guru Zaini Ghani dan saudarinya Zaleha (bibik sepupu saya). Sungguh khusuk kami mendoakan kedua orang tua ini.

Sehabis dari situ barulah kami melanjutkan perjalanan ke Kelampaian yang jaraknya 35 km dari Martapura. Saya masih ingat, dulu rasanya jauh sekali ke tempat ini. Tapi sekarang terasa dekat, apakah karena faktor transportasi yang mudah atau jalan yang bagus, atau memang pesaraan saja. Seperti cerita ayah, tahun 60an ke tempat ini orang bisa berhari-hari lamanya bahkan memasak di perahu karena harus melalui sungai.

Thursday, May 14, 2009

Konferensi Kelautan Dunia

MANADO 12-14 Mei saya mengikuti Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) di Manado, Sulawesi Utara. Kota Manado, menjadi ramai dengan pengunjung para peserta konferensi dari hampir 80 negara. Beberapa tempat penginapan dan hotel fully box dan banyak peserta tidak kebagian tempat tingal sehingga rumah masyarakat di sekitar tempat diadakan konferensi dijadikan tempat yang bisa disewa oleh para peserta. Meskipun menurut saya Kota Manado merupakan salah satu kota yang cukup pesat pembangunannya dengan beberapa hotel berbintang, tapi ternyata ketika menyelenggarakan event berkelas dunia, semuanya jadi serba sempit.

Jalan di Manado seperti daerah-daerah lain di Indonesia –diluar jalan protokol—adalah bukan jalan yang ditata menjadi dua jalur, hanya dapat dilalui oleh dua atau tiga mobil. Lalu pemerintah kota Manado menghimbau masyarakat yang mempunyai mobil pribadi dan angkot untuk keluar jalan raya sesuai dengan tanggal: ganjil atau genap dengan mencocokkan nomor seri belakang mobil. Bila seri belakang ganjil, boleh keluar pada tanggal ganjil, lalu kalau genap bisa keluar pada tanggal genap.

Simposium
Sebagaimana konferensi International yang lain, kegiatan ini tentunya yang paling menarik diisi dengan simposium atau pertemuan para ahli kelautan dalam mempresentasikan hasil penelitian baik sains, teknologi, maupun kebijakan di bidang kelautan. Ada ratusan topik diskusi yang digelar dan tentu tidak dapat diikuti semua. Aku mengikuti dua sesi pertama tentang coral triangle (segitiga terumbu karang) yang membahas tentang jalur hubungan genetik ikan dari kawasan Laut Indonesia timur hinggá ke barat.

Kedua tentang pentingnya Kawasan Konservasi Laut yang dipresentasikan oleh Dr Alan White, seorang marine biologist kawakan dunia. Menarik apa yang dikatakan Alan, bahwa adanya kawasan konservasi laut ternyata menambah peningkatan produktivitas ikan, karena ternyata kawasan-kawasan yang dilindungi ini terlepas apakah dikelola dengan baik atau tidak mempunyai sisi positif bagi pelestarian terumbu karang. Di kawasan coral triangle telah terbentuk lebih dari 1500 MPA network yang menjadi basis konservasi kelautan di kawasan ini. Ikan di kawasan yang dilindungi meningkat hampir 900 persen dibandingkan dengan ikan tangkap yang berada di luar kawasan konservasi yang hanya meningkat 300 persen.


Bersama Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Timor Leste,
Mariano Assanami Sabino (37 tahun), mantan aktifis Unibrawijaya zaman reformasi.


Ini merupakan hasil survey di enam kawasan konservasi laut (MPA): Berau, Tubbataha, Wakatobi, Kimbe Bay, Karimunjawa dan Cebu. Pengamatan saya atas usaha utama pemerintah untuk melindungi kawasan laut memang begitu serius. Sangat disayangkan bila Indonesia hanya menjadi daya tarik luar biasa para peneliti asing dan banyak peneliti berdatangan kesini. Arena WOC ternyata tidak banyak ditangkap manfaatnya oleh bangsa di negeri sendiri.

Satu hal kecil saya perhatikan, di ruangan tempat saya duduk –dari ratusan orang--tidak ada satu pun wajah mahasiswa Indonesia mengikuti simposium penting itu, minimal untuk ikut relajar. Secara sepihak kulihat wajah-wajah graduate student asing berumur sekitar 20an dengan tekun bisa mengikuti acara ini. Kemana mereka?

Prof Hasym Jalal, ahli hukum tata laut Nusantara

Apakah tidak ada mahasiswa di Indonesia yang bisa ikut dengan biaya subsidi untuk belajar ‘Marine Life’ di negara yang 2/3 kawasan teritorialnya merupakan lautan raya? Ketika duduk bersama dengan seorang ibu dosen perikanan dari Universitas Samratulangi, mereka bilang hal ini memang terlepas dari pikiran mereka: “Yang ada ialah, bagaima para dosen bisa ikut arena ini lebih dahulu, bukan buat mahasiswa,” katanya. Saya pun manggut-manggut, tapi ibu ini memahami pentingnya menyertakan mahasiswa S1 atau S2 dalam arena seperti ini supaya keahlian mereka menjadi terasah dan focus mereka tentang laut Indonesia menjadi lebih baik.
Tabik!

Thursday, May 07, 2009

Menghidupkan Kembali Perawatan Bantaran Sungai


Kamis (07 Mei 2009) ada sekitar 20 orang hadir dalam workshop Sistem Konservasi Islam: Hima dan Harim di Pondok Modern Daarul Ulum, Lido. Ini upaya mengingatkan kembali pada tradisi dan perawatan alam menurut syariat Islam. Daruul Ulum Lido sangat antusias dan mendirikan proyek percontohan Harim Zone untuk melindungi kawasan sekitar Sungai Cilengsir dibelakang pesantrennya. Sungai ini selain mengalir di belakang pondok, juga dipakai untuk kegiatan kepramukaan dan kegiatan alam lainnya.
Adapun tanah yang disisihkan oleh pesantrn tidak luas, hanya 1,8 ha di bantaran sungai yang ditumbuhi berbagai tanaman produktif, jati, tanaman buah-buahan dan sebagai tempat praktek para santri. "Kalau pelajaran biologi, santri ingin tahu tentang akar tunggang dan akar serabut, bisa digunakan kasawan ini," Ustazd H Ahmad Yani, Direktur PM Daarul Uulum menuturkan.

Terima kasih pada pesantren-pesantren yang ikut berpartisipasi dalam sarasehan ini: Daruul Ulum Lido, Al Amin, GNKL NU, Al Furqan, Al Huda, Al Kahfi. Hanya enam pesantren yang berkumpul di tempat ini, sebagai sebuah stimulasi atau permulaan dan pengenalan menerapkan kembali tradisi Islam untuk konservasi alam.

LOKASI:

View Larger Map


Berita terkait:

Pesantren Terapkan Harim Zone di Bantaran Sungai

Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi