Thursday, October 16, 2008

Oxford!


Ngantar Ibu Irma and Mira didampingi Shinta (paling kanan), ke Train Station Oxford


Didepan sebuth chapel Kampus Oxford University


Makan Malam di Rentoran India, disambut teman Mahasiswa dan staff KBRI yang kebetulan di Oxford

Bus station di Hetrow menuju Oxford
Sambil kecepean, perjalanan 8 jam Dubai-London akhirnya tiba juga. Udara dingin menusuk kulit, ini menjelang musim Autum (musim gugur). Semua orang memakai jaket dan sweater tebal-tabel bersepatu tinggi, dan baju-baju panjang ala Eropa.

Dubai dan TKW Indonesia


Bandara Dubai

Tiba di Dubai perjalanan Sembilan jam Jakarta Bubai, dengan waktu take off dari jakarta menjelang jam satu pagi, tanggal 16/10, berangkat. Tiba di dubai jam 6 pagi ditanggal yang sama, jam saya harus diputar mundur, karena mengulang satu hari.

Alasan saya ikut Emirate Airline, dengan harapan bisa melatih pendengaran bahasa Arab, agar bukan hanya mendengar pas lagi ada orang Azan atau mengaji saja, bisa mendengar bahasa Arab! Benar juga, di berbagai tempat di pesawat hingga duty free dari pesawat hingga petunjuk arah, semua dalam dua bahasa Inggris dan Arab. Ketika saya mau log ini ke blog, enggak bisa log in, karena salah pencet di bagian navigasi, gara-gara blog saya ternyata bahasa Arab semua!

Bagi saya ada yang menarik di Dubai karena ibukota Uni Emitat Arab ini merupakan salah satu negara kaya minyak dengan kemakmuran yang melimpah, pembangunan yang mereka lakukan dinegerinya tidak tanggung, memakai investor kelas dunia dengan arsitektur yang canggih. Sebab itu, saya melewati bandara ini, isamping itu penasaran ingin melihat Palm al Jumeriah, pembangunan Dubai yang menyedot perhatian banyak orang dan ahli lingkungan karena negeri teluk ini merekayasa kawasan elit mengakomodasi kemewahan dengan investasi milyaran dollar.

Al Jumerian merupakan salah satu kebanggaan Dubai dengan kompleks real estate terlengkap dari mall hingga lapangan golf berkelas dunia.

Pesawat Boeing 777-300, Emirat lebih nyaman dibanding penerbangan luar negeri yang pernah saya naiki, selain agak longgar—karena penumpangnya tidak penuh, fitur teknologi yang mereka miliki juga lumayan canggih. Personal video interaktif, hingga e-mail pribadi dan sms bisa dilakukan dari tempat duduk kita.

Pramugarinya berwajah Indonesia, tapi ternyata ketika saya tanya dia apakah dia orang Malaysia atau Indonesia, dia bilang orang Philipina. ”Banyak orang Indonesia, berbahasa Indonesia menyapa saya” katanya. Memang warga serumpun melayu, wajahnya masih mirip tetangga saya di Kalimantan.

Tapi pengalaman yang sama saya jumpai di Amerika, ketika orang Filipina yang bekerja di airport San Fransisco, mengejar-ngejar saya berbahasa tagalok, setelah bertemu, dia mendekati saya, dan menyanyakan:”Philipinos?” dia mengira saya orang Filipina. Benar juga kata Tom Friedman, dalam bukunya yang terbaru (Hot, Flat and Crowded, 2008) Indonesia masih belum mampu mengekspor tenaga kerja dengan skill, baru banyak memproduksi babu rumah tangga.

Mereka adalah TKI yang dijadikan pahlawan devisa oleh negara. Disebelah saya dalam perjalanan ke Dubai, duduk seorang wanita berkerudung, orang Indonesia, rupanya dia menjadi pembantu di Saudi Arabia, dalam perjalanan ke Jeddah. Perempuan Majalengka ini sudah dua tahun bekerja di Saudi Arabia, tapi masih belum bisa naik haji, karena jarak tempuh Makkah dengan tempatnya tinggal lebih kurang sepuluh jam perjalanan mobil. ”Saya insya Allah naik haji,” katanya berharap.

Dua tahun bekerja dia mendapatkan kesempatan cuti dua bulan dan bekerja mendapatkan gajih 800 real (Rp2jt). Dan karana gajihnya bersih, dan pulang pergi ditanggung majikan, dia lumayan dia bisa pulang uang sekitar Rp10.000 (Rp20juta) setahun. Kalau bisa berhemat, karena gajih bersih, TKW bisa membangun rumah dikampungnya. Kalau anda mau tahu, gajih sebesar itu juga sama dengan gajih pokok guru besar di Universitas Negeri. Seorang dosen sekarang ini, kalau tidak rajin, ngojek—istilahnya mengajar kesana kemari, tidak cukup hidup, apalagi untuk tinggal di Jakarta. Jadi pahlawan devisa ini sesungguhnya sudah senang sekali, walaupun dia harus meninggalkan dua orang anak dan suaminya yang masih kerja serabutan di kampung halaman.

Bila dilihat secara garis besar kurang beruntungnya bangsa kita karena satu sebab, tidak dipakainya bahasa Inggris sebagai bahasa resmi yang diakui (tertulis) oleh pemerintah. Penguasaan bahasa menjadikan bangsa sangat cepat tertranformasi dan beradaptasi dengan perubahan dan kemajuan. Di era globalisasi sekarang ini, bahasa inggris menjadi bahasa utama dunia. Dua bangsa di Asia tenggara, Malaysia dan Filipina menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris sejak di bangku SD dengan tidak meninggalkan bahasa nasional mereka. Jadilah mereka, setidaknya tamatan SMAnya bisa menjadi pramugari atau pekerja di Airport di Luar Negeri, atau minimal sopir.

Saya masih ingat ketika Sutan Takdir Alisyahbana menganjurkan bahasa Inggris sebagai bahasa utama di Indonesia. Padahal dia sendiri pengarang buku bahasa Indonesia. Tidak ada masalah... dunia ini semakin mengecil dan menyempit. Aksen inggris pun berkembang, coba anda dengar kalau orang India ngomong, whaa.. lidahnya kelipat lipat sambil goyang goyang, dengan aksen mereka.

Orang Malaysia semua ujungnya ditambah 'kah' dengan 'lah'. ” I can..lah, don’t worry lah...” toh bahasa Inggrisnya bisa dipahami. Karena lidah kita diciptakan Tuhan berbeda-beda, tidak mesti persis seperti orang England. Bahkan tiga bangsa Induk pengguna bahasa Inggris: US, UK dan Australia, semua aksen berbeda, sehingga anda bisa mengenal tuturan kata-kata mereka dari dialek yang mereka miliki. Yang penting standar penulisan saya kira pasti sama.
Udah ah jadi ngelantur!