Sunday, April 30, 2006

Buku Anak anak: KANCIL MILENIUM


Buku: Kancil Milenium
Fachruddin Mangunjaya, CI Indonesia, IUCN dan Yayasan Gajah Sumatera
viii+103 halaman, 21x 15 cm
ISBN: 979-99273-2-3


Kutipan Pengantar Buku Anak-anak:

Dr. Jatna Supriatna
Regional Vice President CI Indonesia

Satwa atau hidupan liar (wildlife) mempunyai peranan penting dalam ikut menyeimbangkan ekosistem. Makhluk-makluk tersebut mempunyai fungsi besar menjaga alam supaya tetap lestari, misalnya berbagai jenis burung rangkong berperan dalam menyebarkan biji-biji tanaman yang mereka makan di hutan. Dengan demikian manusia terbantu secara alamiah menanam biji-biji tersebut di berbagai kawasan dimana burung tersebut menjatuhkan biji sisa makanan mereka. Begitu pula kelelawar, selain sebagai penyebar biji namun juga sebagai penyerbuk. Berbagai jenis buah-buahan di hutan termasuk durian penyerbukannya dibantu oleh kelelawar buah yang seringkali kita anggap sebagai hama.

Tumbuhan dan satwa liar di hutan mempunyai peranan masing-masing, oleh karena itu perlu bahasa yang sederhana untuk mengajarkan pengetahuan itu kepada pelajar dan anak-anak kita pada tingkat tertentu. Cerita Kancil Milenium ini merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan pelajaran terhadap perilaku binatang (animal behavior) yang hidup di hutan tempat mereka tinggal. Cerita disini dibuat sebagai fiksi tetapi berlandaskan penelitian ilmiah yang telah dibuktikan. Jadi,sayang sekali satwa-satwa yang kita miliki—yang merupakan makhluk Tuhan juga—apabila kemudian menjadi punah tanpa diketahui apa peranan mereka dan bagaimana kehidupan mereka sebenarnya dalam membantu kehidupan manusia.

Selamat membaca.

Buku: HIDUP HARMONIS DENGAN ALAM


Judul Buku: Hidup Harmonis Dengan Alam
Esai-esai Pembangunan Lingkungan, Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia/
Fachruddin Mangunjaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2006
xxii+302 hlm;14,5 x 21 cm
ISBN 979-461-525-0

Sebuah buku yang menjadi cermin perilaku bangsa Indonesia terhadap lingkungan dan alamnya.

Setelah bencana tsunami 26 Desember 2004, banyak pakar menyadari betapa penting hidup harmonis dengan alam. Sandi-sandi alam sebelum tsunami: burung yang terbang berbalik arah, dan serangga yang memanjat keatas gedung bertingkat, menjadi indikator alami akan terjadi bencana besar. Banyak orang lalu menyesal mengapa hutan bakau telah tiada, padahal vegetasi ini mampu turut menghambat—setidaknya mengurangi—gelombang tsunami yang dahsyat. Kita hidup dalam sebuah ciptaan Tuhan yang lebih besar yaitu alam semesta, dan manusia adalah salah satu ciptaaNya yang kecil. Lalu mengapa alam menjadi rusak? Seharusnya manusia mampu hidup harmonis dengan alam. Lalu, apakah selama lima belas tahun terakhir lingkungan hidup dan konservasi alam Indonesia mengalami kemajuan?Mengapa hampir setiap tahun negeri ini dirundung bencana lingkungan: kekeringan, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan? Apakah bangsa Indonesia termasuk yang tidak perduli terhadap lingkungannya?Mungkinkah bangsa ini akan collapse, karena sumber daya alamnya habis dan lingkungannya rusak tercabik-cabik. Buku ini mencatat track record peristiwa-peristiwa lingkungan bangsa Indonesia dan bagaimana seharusnya sikap kita.


“Buku ini bagus dibaca oleh seluruh komponen, yang cinta pelestarian satwa langka yang hampir punah. Bencana lingkungan yang menimpa Indonesia dapat dicegah bila banyak insan mau peduli dengan masalah lingkungan. Fachruddin Mangunjaya adalah sedikit dari penulis yang hadir menggugah masyarakat dengan karyanya menuntun kita untuk peduli pada lingkungan hidup.”
---Angelina Sondakh, Anggota DPR-RI, Ambassador Orangutan OUREI (Orangutan Republic Education Inivitative).


“HIDUP HARMONIS DENGAN ALAM merupakan referensi penting bagi Bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai musibah banjir, tanah longsor bahkan tsunami.”
---Prof. Dr. Ir Hadi S.Alikodra,
Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

“…buku ini merupakan sumbangan yang baik bagi mereka yang kurang peduli untuk menjadi sadar tentang persoalan lingkungan. “
---Dr. Tony Whitten
Senior Biodiversity Specialist
The World Bank


“Sebuah buku yang mengupas masalah lingkungan hidup Indonesia secara lengkap. Pembagian bab memudahkan pembaca. Bahasanya mudah dimengerti.”
---Diah Purnomowati,
Redaktur Eksekutif KORAN TEMPO

“Buku ini berisi ulasan mengenai hal-hal yang sangat relevan dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tidak banyak penulis yang mampu menterjemahkan pengetahuan ilmiah kedalam tulisan yang ringan dan enak dibaca. Masalah lingkungan dan keanekaragaman hayati yang rumit menjadi mudah difahami melalui tulisan Sdr. Fachruddin Mangunjaya ini.”
---Prof. Ani Mardiastuti, PhD.
Guru Besar IPB dan Staff Ahli Yayasan Kehati, Jakarta

Friday, April 28, 2006

BUKU ORANGUTAN PESTA BUAH DURIAN

Peluncuran Sempena Pekan Peduli Orangutan bersama MS Kaban, Menteri Kehutanan RI


Book Launching Buku Pengetahuan Populer Anak

ORANGUTAN PESTA BUAH DURIAN’

Wahyu Media, Jakarta
Cetakan Pertama Oktober, 2005


“Asyik..., aku mau menanam biji durian,” gumam Pong-pong.
“Ibu, kak Pigmi, lihat ini!” teriak Pong pong meminta perhatian sambil melempar biji-biji durian yang daging buahnya telah habis dilumat.
“Pong-pong mau mananam durian!”
“Aku juga ingin menanam!” sahut Pigmi sambil melempar biji durian dan kulitnya ke tanah. (hal 23)

Banyak orang yang belum menyadari pentingnya peranan ekologis hewan terancam punah: orangutan. Padahal keberadaan primata besar yang hanya ada di Indonesia dan Malaysia ini sangat berjasa dalam menjaga dan merawat ekosistem termasuk sebagai penyebar biji-bijian kayu-kayu bernilai ekonomi penting di belantara hutan tropis. Beberapa spesies kayu meranti (Dipterocarpaceae) yang menjadi bahan baku bangunan, mempunyai buah-buahan dan bijinya ditebarkan orangutan sehingga pepohonan tersebut menjadi terdistribusi dengan baik dan tumbuh subur.

Cerita ilmiah inilah yang ingin disampaikan oleh penulis buku ini. “Ini merupakan cara perkenalan dan pendidikan dini untuk memahami kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia,” kata Fachruddin Mangunjaya , penulis yang juga bekerja di lembaga internasional konservasi alam, Conservation International Indonesia. Jadi buku cerita ini dibuat dengan gaya tutur sederhana, dalam bentuk fabel ilmiah dibuat berdasarkan fakta-fakta sains yang dijumpai oleh para peneliti di lapangan.

Dr. Seto Mulyadi (Kak, Seto) Ketua Komnas Perlindungan Anak, menyambut baik terbitnya buku yang memberikan pendidikan tentang kekayaan satwa Indonesia ini: “Anak-anak memiliki naluri belajar yang sangat tinggi, sejauh kegiatan belajar itu dilakukan dalam suasana bermain dan menyenangkan,” ujar Kak Seto. Oleh karena itu buku ini selain memuat cerita fiksi ilmiah, juga menyediakan halaman interaktif seperti mewarnai, latihan berhitung dan melatih motorik anak untuk menjawab bebarapa pertanyaan tentang satwa yang diceritakan. “Buku ini mengajak anak-anak untuk lebih memahami kehidupan orangutan di alam bebas, menghargai binatang langka ini, dan akhirnya ikut melestarikan kehidupannya agar tidak punah dimasa yang akan datang.” kata Kak Seto.


Buku ini merupakan serial popular anak anak tentang hewan langka buku yang telah pernah terbit adalah: Keluarga Gajah (Maret 20005), dan menyusul akan terbit berjudul: ‘Harimau-Harimau Terakhir’, Owa Jawa yang Setia dan ‘Badak Tidak Kembali’.

Komentar: Komentar lain dalam pernyataan pers hari ini:

"Kehadiran Buku ini merupakan sebuah angin segar bagi dunia pendidikan anak-anak kita, karena akan memberi wawasan yang lebih komprehensif pada anak-anak, khisinya pemahaman dan pengetahuan tentang keberadaan orangutan sebagai primata yang harus kita lindungi bersama (Angelina Sondakh, Ambassador Orangutan Republik, Anggota DPR RI)

" Kami senang membaca buku seperti ini yang menjelaskan orangutan dan keadaannya kepada anak-anak di Indoensia agar mereka mengerti dan peduli terhadap Kera Besar ini." (Gary Saphiro,PhD. Chairman, Orangutan Republik Education Initiative)

Monday, April 24, 2006

My New Books

I am glad to announce that I just published two tittles of Books:

1. Kancil Millenium (Conservation International Indonesia and YaGaSu, April2006) 108 pages.

2. Hidup Harmonis Dengan Alam(Yayasan Obor Indonesia, March 2006) 301 pages.

The first book is published co sponsored by CI in collaboration with YaGaSu for the Awareness of Children in Nangroe Aceh Darussalam (NSD), (You can get it free in CI Office Jl. Pejaten Barat 16 A, Jakarta Selatan.)

The book Hidup Harmonis still not available for free, but you can get at the close book store in Jakarta. But if you wish to have a copy you may attend to the book launching(date and place will be announce soon) at the May 3 2006.

Please contact:

Yayasan Obor Indonesia
yayasan_obor@cbn.net.id
www.obor.or.id

Saturday, April 22, 2006

Hari Bumi 2006, Mari Menanam Pohon

Untuk pertama kalinya Hari Bumi Internasional diperingati di Indonesia dihadiri Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menhut dan Menteri KLH. Diselenggarakan disebuah lapangan Golf Kota Baru Kemayoran yang asik tempatnya. Ada ribuan orang yang hadir untuk sekaligus mencanangkan Gerakan Indonesia Menanam yang diselenggarakan oleh Dephut, dengan menghadirkan vokalis terkenal Iwan Fals. Semua orang merasa terhibur.

“Kalau melihat ini, saya sedih,” kata Ibu Ani Mardiastuti, mengingat bahwa lapangan golf ini, tadinya merupakan hutan mangrove yang dikonversi. Ibu Ani Mardiastuti, kini seorang guru besar IPB, yang bercerita bahwa, dia pernah ‘kalah’ memperjuangkan sisa mangrove yang ada di pinggiran Jakarta ini, karena beliau menjadi peneliti dikala itu.
Ironinya, beberapa tahun kemudian bangsa ini mencanangkan penanaman pohon dikawasan yang telah ditebas hutan alamnya, dibawah langit mendung polusi Jakarta.

Saya melihat masih ada burung-burung yang kembali ke kawasan ini untuk tetap mencari makan, karena kawasan ini sangat dekat dengan teluk Jakarta. Entah makanan mereka enak atau tidak ya, sebab Kota Kemayoran tampaknya tidak menyisakan habitat untuk mereka. Karena tempat itu kini telah menjadi lapangan golf.

Saya bertemu Erna Witoelar yang bercerita tentang what next dengan Piagam Bumi. Katanya pantasnya piagam bumi bisa diadopsi sebagai dasar kerangka untuk membuat PERDA, Corporate Responsibility Statement, Visi NGOs, Sekolah yang diharapkan bisa mempengaruhi sikap dalam praktik sehari-hari dalam berorganisasi. Sebuah dokumen yang dibuat dalam dua belas tahun menyertakan konsultasi public yang panjang, sayang sekali jika tidak dihargai.

Wednesday, April 19, 2006

Berperahu Menyusuri Santa Fe River

Santa Fe River merupakan tempat keindahan alam yang mengesankan, di Kawasan Utara Florida. Tempat ini mempunyai mata air yang terus mengalir dari ke mengaliri kawasan lainnya.

Setelah penat selama tiga hari mengadakan sebuah konferensi akademik di kampus University of Florida Gainesville, sasaran terakhir prosesi penutupan adalah jalan-jalan di alam: acara berperahu menyusuri Santa Fe River.
Florida merupakan salah satu Negara bagian AS yang mempunyai banyak sumber mata air (springs). Sumber mata air ini menjadi bagian yang menciptakan air bagi anak-anak sungai yang mengalir ke beberapa bagian Negara itu. Karena sumber mata air yang besar, terkadang mata air yang jernih ini menyembul keluar menimbulkan arus pusaran air yang cukup kuat dan mengalir mengairi sungai. Mata air ini terdapat di dataran rendah dan mengalir tidak terlalu deras. Dari kawasan seperti inilah didapat sumber air bersih (water spring) yang mempunyai kandungan mineral yang menyehatkan.
Berperahu di tempat ini hanya menuruti arus yang tenang sambil menikmati alam sekitar. Berbeda dengan apabila kita berperahu di kawasan pegunungan yang terkadang membahayakan dan harus berpelampung, di Sungai Santa Fe relatif datar dan arusnya pun tidak berbahaya, sehingga berperahu santai dapat dilakukan sepanjang sungai.

Kampus University of Florida, Gainesville
Santa Fe River, tidak jauh dari keramaian kota. Tiga puluh lima menit dengan kendaraan (mobil) dari kampus University of Florida. Sebagaimana kehidupan Negara-negara maju lainnya di berbagai perkotaan di Amerika, Santa Fe merupakan salah satu tujuan wisata yang unik karena kota ini selain mempunyai alam yang masih terpelihara dengan baik, juga hutan yang dan tata kota yang tertata rapi. Santa Fe merupakah daerah pertanian dengan pemandangan pertanian yang cukup luas.
Sepanjang jalan bisa menikmati pemandangan ranch peternakan sapi dan kuda ala Amerika. Juga pemandangan hunian perumahan yang rata-rata mempunyai halaman sangat luas dan tidak berpagar.

Kampus Universiti of Florida yang luasnya kurang lebih empat kali tiga kilometer dengan bercampur dengan kota kecil, Gainesville. Ada 52 ribu mahasiswa dari tingkat sarjana muda hingga doktoral yang belajar di University of Florida. Belum termasuk dengan staff civitas akademis University of Florida. “Ini merupakan salah satu dari top 50 besar kampus yang ada di Amerika,” kata Kris McCormick yang membawa saya berkeliling melewati kampus yang luasnya sama dengan satu kecamatan ini.

Jadi kota Gainesville memang merupakan kota universitas dan berpenduduk jarang. Keseluruhan penduduknya hanya 250 ribu orang. Tidak heran kalau anda berjalan kaki di kompleks universitas hanya bisa menemukan ada satu dua orang dijalan. Tentu saja mereka dengan kesibukan masing-masing yang kadangkala ‘ogah’ ditanya karena terburu-buru waktu. Tetapi tidak jarang pula banyak yang bisa melayani pertanyaan dengan ramah, apabila mereka cukup mempunyai waktu.

Menyusuri Santa Fe River
Kami menggunakan jasa Santa Fe River Canoe Outpost of High Srpings, Inc. Disini telah tersedia puluhan perahu yang terbuat dari aluminium yang dirancang khusus untuk menyusuri sungai. Grup kami terdiri dari dua puluh orang dan menyewa perahu itu seharga 20 dollar untuk satu orang. Perjalanan terlebih dahulu mendapatkan pengarahan, sambil masin-masing kelompok kendapatkan ‘plastic bag’ untuk menampung sampah, supaya tidak membuangnya disembarang tempat di sungai. Masing-masing individu yang tertarik bisa mengambil fotokopi peta yang tersedia di meja tour guide sebagai pedoman menyusuri sungai. Tour guide tidak lupa memberikan nasihat untuk menggunakan pelampung bagi masing-masing pendayung. Walaupun tidak terlalu ditekankan karena sungai mengalir dengan perlahan dan cukup dangkal. Tetapi pemilik tempat piknik ini tetap menyediakan pelampung penyelamat dan menyarankan kepada masing-masing peserta piknik untuk menggunakan pelampung.

Perjalanan dimulai dengan mendayung ke hilir mengikuti arus. Perjalanan akan have fun selama 3 jam dengan tujuan terakhir di Rum Island yang berjarak sekitar 7 mil. Kondisi Santa Fe River memang unik, warna airnya bening tetapi karena telah banyak zat organik lain, sungai menjadi agak coklat seperti kopi. Satwa yang pertama kami temukan adalah kura-kura Amerika yang bentuknya sama dengan kura-kura di Kalimantan tetapi mempunyai tiga garis-garis hijau di pipi. Sungguh unik-kura-kura disini, tidak terlihat takut dengan kami yang berdayung. Mereka nangkring diatas dahan-dahan mati yang menyembul ditengah sungai.“Lihat itu, satu, dua..14,17,21…banyak sekali,” kata Karsten Otto (11 tahun) yang menjadi pendayung saya di bagian depan.

Saya memang ingin menikmati keadaan sambil memotret, jadi hanya mengikuti keluarga Staphen Otto (43 th), yang ikut mendayung dibelakang saya. Staphen mengerti kalau saya adalah pendatang yang jauh dari Indonesia dan ingin mengabadikan foto-foto. Jadi setiap ada pemandangan menarik dimana kemera dibidikkan, dia akan menahan laju perahu. “Jangan lupa kirim foto-kura-kura itu lewat e-mail,” katanya mengingatkan.

Kami mendayung kehilir, tetapi Staphen ternyata belum terbiasa mengemudi, sehingga perahu kandas di bagian sungai yang dangkal. “Hoi, kandas,” Karsten berteriak. Beberapa menit kami herus berhenti sehingga tidak bisa bergerak dan mencoba menggoyang perahu dari aluminium itu karena tersangkut batu cadas di bagian sungai yang dangkal.
Air sungai yang dingin mengalir di Santa Fe ini menjadi daya tarik keluarga di kawasan selatan Amerika untuk pergi berlibur. Kawasan High Spring, sebagiannya memang menjadi milik pribadi. Tetapi di bebarapa bagian memang merupakan kawasan lindung (protected zone) yang dijaga oleh pemerintah Negara bagian. Tentu saja tidak ada kawasan pertanian di pinggiran sungai. Jadi semata-mata hutan sangat terpelihara sebagai sumber air. Selain bisa mandi sumber air sungai, di jarak tertentu juga siapkan tempat pemberhentian, untuk menikmati makan bekal makan siang.

Menariknya sepanjang sungai kami menemui berbagai jenis hidupan liar yang berkeliaran. Antara lain seekor alligator alias buaya, sepasang burung merak America (turkey), bangau biru (blue heron), burung elang, raja udang dan burung hantu yang nangkring dengan tenangnya di pinggiran sungai tanpa merasa terganggu. Kalau melihat dinamika flora-fauna yang ada memang mirip dengan bila kita menyusuri kawasan hutan bakau (mangrove). Tetapi hutan yang kami telusuri merupakan hutan sub tropis Amerika yang jumlah spesiesnya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan beberapa kawasan tropis.


Lily Spring
Perjalanan berperahu, dan rombongan yang berjumlah delapan perahu singgah sebentar di Lily Spring. Sebuah lokasi membentuk teluk (simpangan) mata air yang kemudian mengalir menjadi anak sungai. Disini kita bisa leluasa menceburkan diri untuk mandi air bersih dan menyegarkan. Tempat ini memang disapkan untuk piknik, ada toilet, beberapa shelter untuk istirahat bersama keluarga, juga disediakan tempat barbeque untuk membuat daging panggang atau sate. (bersambung ah.. soalnya sedang dikirim ke KORAN belum dimuat nanti di post lagi ya)

Menjenguk Kerajaan Penyu

OlehFachruddin Mangunjaya

Dikutip dari Sinar Harapan

Udara cerah di Tanjung Redep. Sesaat saja embun pagi yang mengambang di Sungai Segah telah hilang ditelan terik matahari. Saya melangkah ke dalam perahu mesin yang akan membawa ke Pulau Derawan. Perahu ini adalah milik seorang pengusaha kolektor telur penyu “legal” yang diberi izin oleh pemerintah Daerah Kabupaten Berau, untuk panen telur penyu di beberapa kepulauan yang ada di kawasan Berau seperti Pulau Sangalaki, Pulau Semamak dan Maratua.Perahu mesin (kelotok) merupakan sarana paling murah yang bisa ditumpangi orang yang mempunyai kantung pas-pasan. Memang sangat jarang perahu yang datang ke Kepulauan Derawan ini. Sedangkan wisatawan mancanegara –yang biasanya turun dari pesawat di Lapangan Terbang Kalimarau, Tanjung Redep —langsung menuju Pulau Derawan dengan menggunakan speed boat yang telah ditambatkan di pelabuhan khusus. Dengan menggunakan speed boat, ke P. Derawan hanya memakan waktu dua hingga tiga jam. Sedangkan dengan perahu motor, bisa dicapai setelah tujuh jam. Namun, saya tentu saja beruntung, menggunakan perahu motor sekaligus bisa menikmati udara segar dengan perahu yang secara perlahan juga bisa menikmati pemandangan serta flora fauna yang ada di kawasan sungai. Saat perjalanan misalnya, saya bisa sambil mengamati burung-burung raja udang yang bertebangan di pinggiran sungai yang luasnya sekitar satu setengah kilometer hingga dua kilometer itu. Menurut Pak Sofyan, salah seorang tokoh aktivis lingkungan di Kabupaten Berau, disepanjang sungai itu bila beruntung juga ada ditemukan kera berhidung mancung (bekantan). Di Kabupaten Berau, menurut laporan terakhir The Nature Conservancy, ditemukan populasi baru orangutan, yang tadinya diduga telah punah.Tentu saja saya bisa mempunyai catatan tersendiri mengenai perahu yang saya tumpangi. Anda mau tahu? Menurut cerita Amir, perahu yang dikemudikannya itu akan mengangkut sekitar antara 100.000—200.000 telur penyu yang diambil setelah beberapa hari telur itu dikumpulkan di pulau-pulau Maratua, Derawan, Semamak dan Pulau Sangalaki. Pulau pulau kecil di Kabupaten Berau ini surga bagi penyu untuk bertelur. Di Pulau Sangalaki misalnya apabila musim penyu bertelur dapat dijumpai ratusan penyu yang mendarat kemudian bertelur di pulau tersebut. “Sekali bertelur jumlahnya antara 80-200 biji,” kata Amir. Bisa dibanyangkan bila rata-rata ada 50 penyu yang bertelur, maka akan ada 4000 hingga 10.000 telur yang dipanen. Maka kalau satu pekan berarti 70.000 telur yang akan terkumpul. Kalau di Pulau Derawan hanya dua atau tiga ekor penyu yang bertelur setiap malam, tapi di Pulau Sangalaki dijumpai rata-rata 30 ekor penyu yang bertelur setiap malam.Pengumpulan telur itu dilakukan di beberapa pulau setiap malam, langsung setelah sang penye bertelur. Tidak heran Pemerintah Daerah Kabupaten Berau melakukan lelang pada para kolektor telur penyu di pulau ini setiap tahun. Tahun ini dilakukan lelang pulau tempat bertelur penyu tersebut seharga lebih dari satu milyar sebagai sumber pendapatan asli daerah Kabupaten Berau. Di Kalimantan Timur telur penyu sudah menjadi santapan istimewa dalam setiap pesta. Karena telur ini dipercaya mempunyai khasiat sebagai aprodisiac “obat kuat”. Itu sebabnya ketika sebuah kapal penampung telur penyu tiba di pelabuhan kabupaten, para pengecer telah siap menyalurkan telur-telur tersebut ke pasar bebas. Tidak heran kalau berada di sepanjang pinggiran Sungai Mahakam Samarinda, Anda akan menemukan berderet-deret para pengecer telur penyu yang dibawa dari Berau.Pemungutan telur inilah yang menjadi kontroversi di antara para pelestari lingkungan dan pemerintah daerah. Sementara para LSM memprotes pemungutan telur tersebut, karena akan mengganggu kelestarian penyu itu sendiri, sementara Pemerintah Daerah memasukkan kekayaan laut itu sebagai program pendapatan asli daerah yang tidak boleh diabaikan. Namun pemerintah Kabupaten Berau bukan tidak sadar akan hal itu, Pemda mensyaratkan setiap pemanen agar menyisakan telur yang mereka ambil untuk khusus ditetaskan. Yang dipertanyakan adalah, sejauh mana kontrol dilakukan dan keberhasilan penetasan itu bisa berlangsung dengan baik.Kerajaan Penyu dan Ikan KarangSampai di Pulau Derawan sudah menjelang sore. Saya mencari penginapan yang lumayan murah. Di sini memang banyak rumah-rumah yang disiapkan penduduk sebagai “home stay” yang bisa dibayar antara 30-40 ribu rupiah per malam. Mau yang lebih mahal pun ada, bahkan cottage telah tersedia dengan tarip dolar AS. Baru keesokan harinya saya berkesempatan melihat pantai. Air Pulau Derawan memang sangat jernih. Jelas sekali kalau Anda duduk di ujung jembatan yang mengarah ke laut, terlihat penyu berseliweran dengan jinaknya, berenang di seputar jembatan. Bahkan ada yang berkejar-kejaran. Laut yang bening seperti kolam renang yang transparan, memberikan keasyikan pada mata yang memandang.Saya lihat banyak pencinta olahraga selam, terutama berkebangsaan Jepang dan Australia berkunjung ke tempat ini. Pulau-pulau ini terletak di Selat Sulawesi –yang masuk bagian yang masih berdekatan dengan perbatasan Malaysia itu menyimpan keindahan bawah laut yang menakjubkan. Bila Anda sempat menyelam atau mengambang di permukaan pantai yang bersih dengan menggunakan alat “snorkel” terapung di atas terumbu karang Pulau Derawan, Anda pasti dapat menjumpai Penyu yang cukup jinak berkeliaran sekeliling Anda. Di samping itu jika menyelam di laut yang lebih dalam, Anda akan berjumpa dengan ikan barracuda, ikan-ikan hias, dan ribuan ikan terumbu karang beriringan simpang siur di kedalaman laut. Dr. Carden Wallace dari museum tropis Queensland, Australia pernah meneliti kekayaan laut Pulau Derawan dan menjumpai lebih dari 50 jenis Arcropora (hewan laut) dalam satu terumbu karang. Tidak aneh tempat ini sudah dikenal di mancanegara dan cukup popular di kalangan para penyelam profesional maupun yang amatir. Di Pulau Derawan, saya mencoba mengelilingi pulau yang tidak luas itu. Ada suatu yang sangat mengganggu di sini. Salah satunya pendirian landasan helikopter yang dibuat oleh PT Kiani Kertas Pulp and Paper, sejak zaman pemerintahan Soeharto. Landasan itu menutup ratusan meter luas pinggiran pantai yang merupakan habitat penyu bertelur. Helipad ini memang pernah mendapat kritikan dari beberapa LSM karena mengkhawatirkan pembangunan itu akan mengganggu penyu yang ingin bertelur. Tapi nyatanya pagi itu, saya melihat jejak penyu yang melimpasi beton itu, menuju suatu tempat. Mungkin mereka tidak perduli lagi tanah biasanya tempat mereka bertelur telah menjadi keras. Ketika terus saya telusuri, jejak itu malah menuju pada satu tempat persis di sebelah sebuah cottage. Ini artinya penyu sudah tidak lagi perduli –dan merasa tidak terganggu –untuk mencari tempat yang nyaman meletakkan telurnya.Penyu dapat Anda saksikan hampir setiap malam naik ke darat dan bertelur di samping cottage, atau tidak seberapa jauh dari pelabuhan tempat Anda mendarat ketika berkunjung di P. Derawan.Pulau Derawan memang lebih dikenal di luar negeri dibandingkan negerinya sendiri. Betapa tidak? Travel dari Jepang “tembak langsung” dari Tokyo atau Nagoya, lalu ke Singapura atau Sabah, langsung ke Balikpapan dan kemudian ikut pesawat kecil ke Tanjung Redep, yang ada di Kabupaten Berau. Beberapa wisatawan asing memang memanfaatkan khusus untuk hobi menyelam, karena tempat ini merupakan kawasan terbaik untuk olahraga selam. “Pulau ini merupakan tempat hunian penyu terbanyak di dunia,” ujar Mr. Sergei, seorang pensiunan guru bahasa Perancis yang telah beberapa kali datang berlibur ke Pulau Derawan. “Saya baru saja menyelam dan ikut mengiringi seekor penyu pergi ke tengah laut,” kata Ms.Dianne istri Sergei. Dianne adalah seorang instruktur selam, dia mengajarkan selam secara profesional kepada orang atau institusi yang ingin mengajarkan dasar-dasar menyelam. Kedua orang ini secara khusus berlibur karena Pulau Derawan relatif tidak banyak dikenal dan bukan merupakan sasaran wisata yang ramai. “Kami suka di sini, tidak banyak orang,” katanya.Sebagai pulau yang terpencil dan belum banyak dikunjungi wisatawan, keadaan pulau masih sangat nyaman. Beberapa penginapan itu juga mempersiapkan alat untuk penyelam amatir maupun profesional. Untuk yang profesional biasanya dapat menyewa peralatan yang disediakan oleh Derawan Dive Resort dengan tarif yang dapat dinegosiasikan. Sebenarnya kalau di Pulau Derwan saja, drama alam kalau belum puas untuk dinikmati, Anda dapat meninjau juga pulau yang lainnya misalnya: Pulau Sangalaki, Maratua, dan Pulau Kakaban yang mempunyai keunikan tersendiri. Pulau Sangalaki misalnya, mempunyai populasi ikan pari biru (Manta Rays) yang unik, yang lebarnya dapat mencapai 3,5 meter. Kalau Anda beruntung, dapat juga menjumpai Pari Hitam dengan lebar 6 meter. Sedangkan Pulau Kakaban mempunyai keunikan yaitu berupa Danau Prasejarah, yang ada di tengah laut, satu-satunya ada di Asia (lihat boks: “Danau Laut Berusia 21 Ribu Tahun”).***Penulis adalah pencinta lingkungan, mahasiswa Program Pascasarjana UI.

My Profile



Fachruddin M Mangunjaya
fmangunjaya@yahoo.com





Environmentalist and Independent consultant.Lecturer at Universitas Nasional, Fellow The Climate Project Presenter. Graduated with a bachelor’s degree from the Faculty of Biology at the National University (UNAS) in Jakarta, and master degree in conservation biology at the University of Indonesia, and PhDfrom Post Graduate Program Environmental Management and Natural Resouces (PSL), Bogor Agricultural University. He is very interested in bringing religion to bear to help conservation goals. One leading eco-activist in the Muslim world and elected as one of four Muslim Eco-Warrior. A member of the Forum on Religion and Ecology and International Society for the Study of Religion Nature and Culture (ISSRNC), environmental journalist and columnist. Treasurer Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin). Adisory and Founder of Borneo Lestari Foundation, Central Kalimantan. He also serves as executive editor of Conservation International Indonesia’s TROPIKA Indonesia Magazine. Editor and Author of several books: Konservasi Alam Dalam Islam -Nature Conservation in Islam (YOI, 2005), Hidup Harmonis Dengan Alam (Living Harmoniously with Nature), -YOI 2006, Menanam Sebelum Kiamat (co Editor), -(YOI 2007), Editor Fiqh al Biah (Fikih Lingkungan), (INFORM 2005) Bertahan Di Bumi: Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim (YOI 2008) and several children books: Keluarga Gajah, Orangutan Pesta Buah Durian dan Kancil Millenium. Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi (YOI 2009), Islam Peduli Lingkungan, Suplemen Modul untuk SMK/SMK/Aliyah, ditulis bersama Agus Rahmah, Asep Hilman Yahya dan M Abdullah Darrasz (Ed)(Ma'arif Institute Jakarta). He has authored more than 200 articles for popular science on environment and conservation in the national Indonesia media.


Media coverage:
Features, Cerita Perjalanan:

PROJECT:


LECTURES:


PUBLICATIONS:

  • Books
  • Journal
  • Popular articles
  • Paper
  • Presentation  check here
VIDEO CHANNEL



Monday, April 17, 2006

G-8, Kemiskinan dan Pemanasan Global

Fachruddin Mangunjaya
Project Manager di Conservation International Indonesia

Tanggal 6-8 Juli 2005, negara-negara industri G8 yang terdiri dari Perancis, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, Rusia, Italia dan Kanada, akan mengadakan pertemuan tahunan di Gleneagles, Skotlandia. Ada tema penting yang dikibarkan, yaitu mengenai pentingnya Negara industri ini segera mengubah sikap mereka untuk melihat penderitaan bumi yang terus berkepanjangan dengan tema: Kemiskinan dan Pemanasan Global.
Pemanasan global telah menjadi agenda dunia sejak dibentuk Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dan United Nation Forum for Climate Change (UNFCC) yang kemudian melahirkan mekanisme Protokol Kyoto. Biang dari pemanasan global terutama adalah persoalan penggunaan energi yang tidak terperbarukan seperti: bahan minyak yang dihasilkan dari bahan fossil, misalnya minyak dan batu bara yang sehari-hari kita pakai. Gas karbon yang kita pakai untuk menjalankan mesin kedaraan setiap hari, akan membumbungkan polusi udara berupa CO2, NOx dan Methana, yang disebut gas-gas rumah kaca, sehingga menimbulkan perusakan lapisan ozon dan menjadikan bumi lebih panas dan iklim menjadi berubah. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), apabila sikap manusia di bumi dalam pola mereka tidak berubah, maka diperkitakan temperatur global diprediksi akan naik menjadi 1.4 hingga 5.8° celsius dalam abad mendatang. Dalam abad terakhir ini rata-rata temperature global naik 0.6° Celsius –10 tahun terpanas sejak tahun 1990an.
Negara industri, ditengarai sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Amerika Serikat sedikitnya menyumbang 13 % emisi dunia sejak 1990 hingga 2002. dilain pihak, Negara ini menolak menandatangani Protokol Kyoto, yang bermaksud untuk mengurangi peningkatan gas-gas rumah kaca yang mengakibatkan perubahan iklim akibat pemanasan global. Padahal, secara konsensus ilmuwan mengatakan –tentu juga atas riset ilmuwan Amerika Serikat ---bahwa sekarang ini, bumi semakin bertambah panas. Namun disamping itu, yang menjadi salah satu pemicu pamanasan global adalah, kemiskinan: misalnya 1.6 milyar penduduk dunia, atau lebih dari sepermpat jumlah penduduk bumi, masih tidak mendapatkan akses listrik. 2.4 milyar penduduk bumi tergantung dengan bahan bakar kayu, minyak tanah atau bahan bakar kompos,untuk memasak atau membuat tungku pemanas. Dan lebih dari itu, Negara-negara berkembang dan Negara miskin, akan terus menggantungkan perekonomian mereka pada sumber daya alam semisal, penebangan hutan alam dan membuka lahan-lahan pertanian baru yang menyebabkan pelepasan karbon lebih besar ke atmosfer.
Dalam perkara pemanasan global, seharusnya kita bisa telah belajar dengan adanya perubahan iklim yang semakin tidak terduga. Misalnya, Koran Tempo (25/5) melaporkan, terjadi banjir hebat di Propinsi Guanxi, Guangdong, di selatan Cina, itu dikatakan terburuk dalam 90 tahun terakhir. Bencana ini merupakan musibah yang tidak terprediksi ---yang mengakibatkan 125 orang tewas dan 1.4 juta orang di evakuasi. Kondisi musim di Cina Selatan, dilaporkan berbeda kontras dengan kawasan utara negeri itu yang mengalami musim kering dan gelombang panas. Padahal Cina telah melarang pembalakan hutan sejak tahun 1999, di beberapa propinsi, tetapi sayangnya negeri ini masih meminati pasokan kayu dengan cara menebang (logging) baik legal maupun illegal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Artinya, koneksitas perubahan iklim global, tidak memandang apakah sebuah Negara yang telah melakukan konservasi dan merasa aman, sementara mereka melakukan perusakan alam di Negara lain. Tetapi dampaknya bisa mereka rasakan pula.
Bencana yang tidak terprediksi, adalah akibat adanya chaos, perubahan iklim. Bukti-bukti lain pemanasan global dan perubahan iklim telah terlihat umpamanya dengan adanya kekeringan yang lebih panjang dari biasa, dan badai yang sering kali terjadi di berbagai Negara mana pun di permukaan bumi. Peristiwa seperti ini tentu saja menelan korban harta dan jiwa yang tidak sedikit. Dan kita menyaksikan akibat pemanasan global dan kemiskinan, dua asset manusia di akan semakin berkurang, pertama, kualitas ekosistem pun semakin bertambah rentan, misalnya terjadi penurunan kualitas air karena pencemaran serta: kedua, kepunahan spesies keanekaragaman hayati yang menjadi pendukung utama dan masa depan kehidupan yang ada di bumi.

Oleh karena itu, para ilmuwan mendesak, agar pertemuan G-8 membawa hasil yang signifikan yaitu dengan bertindak sekarang juga, untuk mencegah perubahan iklim. Salah satunya adalah dengan segera menghapuskan hutang Negara-negara berkembang dan Negara miskin lainnya. Jika tidak, generasi yang akan datang akan membayar harga mahal kesalahan kebijakan pemimpin-pemimpin bangsa yang kaya raya tetapi tidak perduli lingkungan itu.
Kemiskinan di Negara-negara sedang berkembang merupakan salah satu pemicu percepatan perubahan iklim dan pemanasan global. Ada beberapa alasan mengapa kemiskinan berhubungan erat dengan percepatan pemanasan global, pertama: masyarakat Negara berkembang masih memerlukan pembangunan ekonomi mereka yang ---sayangnya bertumpu pada—sumber daya alam, termasuk didalamnya: penebangan hutan alam, pembukaan lahan-lahan baru untuk pertanian, penggalian sumber-sumber tambang yang berbasis fosil (seperti minyak bumi dan batu bara) dan seterusnya. Kedua, beban berat hutang luar negeri yang dipinjamkan oleh Negara-negara donor (termasuk dalam kelompok G-8) merupakan salah satu sebab dari faktor ekternal penghambat lambannya Negara berkembang memberantas kemiskinan. Indonesia merupakan contoh yang baik dimana terdapat 26.8 juta penduduk miskin, 10 juta diantaranya hidup di dalam hutan atau hampir 40 persen dari penduduk miskin di Indonesia sangat tergantung pada kelestarian sumber daya hutan.
Celakanya, kondisi (miskin) inilah yang memicu masyarakat menjadi perambah hutan dan kawasan konservasi (taman nasional, hutan lindung dan hutan cagar alam). Jadi walau pun, dunia internasional telah mengetahui taman nasional dan kawasan konservasi sebagai asset dunia, namun bila tidak disertai dengan pengalihan pencaharian, atau insentif ekonomi lain untuk masyarakat yang berada dipinggiran hutan, tentu saja mereka akan tetap menggantungkan kehidupan mereka pada sumber daya hutan tersebut.

Ketiga, Negara-negara berkembang, belum berkeupayaan dan masih mempunyai kapasitas terbatas dalam mencari alternative energi yang ramah lingkungan: termasuk akses listrik. Sebab, energi ramah lingkungan memerlukan skill, pengetahuan serta pendididikan. Sebagai contoh, untuk menterapkan mekanisme Clean Development Mechanism (CDM-Mekanisme Pembangunan Bersih), diperlukan teknologi modern, selain itu juga harus ada pengetahuan tentang cara penghitungan karbon serta baseline karbon yang dijual, serta negosiasi yang ruwet pada negara maju yang ingin berinvestasi pada mekanisme tersebut. Disamping itu, untuk menghasilkan energi yang bersih –umpamanya--tentu memerlukan teknologi yang terkadang lebih mahal. Sehingga kalangan LSM memplesetkan CDM—menjadi completely difficult mechanism.

Bumi dengan segala pendukung dan perangkat ekosistem yang ada di dalamnya, merupakan satu-satunya modal hidup manusia. Maka adakah jalan keluar, atau pemimpin berbagai Negara di berbagai belakan bumi tidak mau perduli. Meminjam kata dari Emil Salim—kita hidup dalam satu perahu—yang disebut bumi. Bila ada bagian dari perahu kita bocor, maka semua akan itu tenggelam!

Oleh karena itu, ada bebarapa solusi yang dimungkin akan bermanfaat bagi Negara industri G-8, apabila mereka dapat memperhatikan bagaimana upaya mempertahankan hutan alam yang ada dengan mengatasi pemanasan global dan menurukan angka kemiskinan. Misalnya segera memberlakukan Debt for Nature Swap yaitu suatu mekanisme dimana Negara-negara donor (pemberi hutan) menghibahkan hutang mereka untuk memelihara alam termasuk hutan tropis yang dimiliki oleh Negara berkembang. Kedua, Negara industri memberikan program kompensasi sebagai pengganti kepada Negara berkembang yang mempunyai hutan tropis utuh, seperti direkomondasikan oleh Joseph Stiglitz di harian ini (25/6). Ketiga, Negara-negara industri, dapat menginvestasikan hibah-hibah mereka secara lebih progresif di Negara-negara berkembang yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi. Selain itu, negeri yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi ini harus berupaya mempunyai program-program yang menunjang pada perkembangan sektor ekonomi yang tidak merusak alam, misalnya dengan menggalakkan wisata alam, sehingga masyarakat lokal memperoleh insentif ekonomi disamping menjaga hutan mereka.

Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, harus mampu memberdayaka hasil-hasil penelitian mereka dan mempertunjukkan kepada industri dan investor –misalnya zat-zat bio aktif yang ada di hutan alam, baik mikroba maupun hasil penelitian lainnya, bisa bermanfaat bagi dunia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, dapat diperoleh manfaat ekonomi dan pengetahuan yang besar atas penelitian yang ada di hutan tropis. Pencarian pendanaan dapat dilakukan, seperti halnya lembaga penelitian di Kosta Rika (Inbio) yang menjalin kontrak jutaan dollar dengan perusahaan obat Biomerck untuk penelitian obat-obatan di hutan hujan tropis milik Negara itu.***