Sunday, May 25, 2008

Konservasi, apakah musibah?

Prof Chotibul Umam menyerahkan kenang-kenangan dari NU


Sebagai aktifivis yang bergiat di sebuah organisasi internasional, saya sering ditanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan aktifitas organisasi yang terkadang dianggap sebagian orang ternyata melanggar hak-hak rakyat.

Pasalnya konservasi di Indonesia didorong oleh beberapa organisasi internasional dan banyak kawasan-kawasan konservasi direkomendasikan oleh lembaga-lembaga lingkungan (NGO) international kepada departemen kehutanan. Dephut memang sudah membuat banyak hal, tetapi kebutuhan untuk perlindungan untuk kawasan konservasi masih dianggap sangat lamban dan tidak selaju dengan kerusakan yang dialami hutan Indonesia.

Sayangnya laju hunian terhadap habitat alami juga sangat cepat, sehingga sepertinya tidak ada lagi tanah yang sudah tidak bertuan. Beberapa taman nasional di claim merupakan hak adat dan bahkan terkadang sudah ada ladang. Pembagian tata lahan (kawasan konservasi) yang lamban setelah ditunjuk menjadi sebuah kawasan konservasi dan untuk beberapa bagian kawasan yang ternyata sudah dihuni oleh penduduk (yang telah digarap), pengusiran mereka keluar kawasan, ternyata menjadi "sebuah musibah".

Apakah penunjukan kawasan konservasi seperti itu adalah musibah?
Boleh iya boleh tidak, sebab kepentingan konservasi jangka panjang memang menuntut keikhlasan orang-orang di sekitar hutan demi anak cucu mereka kelak dan kondisi ekosistem memang memerlukan pengorbanan. Tetapi yang perlu dikecam adalah mereka yang berperilaku boros dan tidak turut perduli dengan kesengsaraan mereka, tidak menyediakan alternatif.

Konflik terjadi karena kekurang pahaman tentang fungsi kawasan konservasi yang sangat agung, melindungi makhluk hidup, tapi mungkin ada kesalahan juga pada penetapan kebijakan kawasan dan undang-undang yang kaku untuk pengelolaan kawasan taman nasional. Taman Nasional yang dibuat oleh Indonesia sekarang adalah taman nasional yang diadopsi dari Amerika Utara, yang berlaku sama, mengusir suku apache dan memerangi penduduk lokal untuk keluar taman nasional karana penguasaan lahan. Sungguh tidak manusiawi jika ini diterapkan di Indonesia, karena itu, saya mengusung Konservasi Islami, dengan pendekatan Hima zaman Rasulullah: yang sifatnya lebih lunak kepada orang miskin dan penggembala rumput yang diperbolehkan mencari kehidupan di kawasan konservasi.

Hima sekarang menjadi alternatif pengelolaan kawasan yang dihargai sebagai kawasan yang paling bertahan di timur tengah, cerita ini dapat dilihat di blog islam dan ekologi; mungkinkah pendekatan cara yang diterapkan Nabi Muhammad saw serta khulafa ul rasyidin (Abubakar, Umar, Utsman dan Ali, radiyallahu anhu) dapat kita adopsi sebagai bentuk alternatif kawasan konservasi?

Saya berdoa semoga alternatif ini bisa terwujud, sebagaimana ummat Islam di negara yang sekuler, mereka bisa memilih antara Bank Ribawi dan Bank Syariat.

23 Mei, saya diminta oleh CBDRM NU untuk presentasi tentang: "Kompleksitas Lingkungan yang Berdampak Bencana"

tabik!