Friday, August 26, 2011

Mengapa Rakyat Membakar Lahan?



Hot Spot, asap membumbung dan kebakaran hutan, kembali meraja lela. Rabu (23/8) saya ke Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah. Musim kemarau disini, dedaunan kering, dan rumput menjadi coklat karena kurang air. Dan, ada yang menjadi ciri rutin kawasan ini setiap musim panas yang belum pernah dapat terselesaikan: kebakaran lahan dan hutan.


Pelabuhan Kumai penuh asap (29/8) (bawah) dan Bandara Tjilik Riwut (24/8), petugas bandara menggunakan masker. Bencana tahunan yang tidak pernah selesai?



Sepertinya, kebakaran dan asap setiap pagi pada musim panas di Kalimantan dan Sumatra adalah hal yang lumrah. Berpuluh tahun, bahkan mungkin beratus tahun, orang disini bertani dengan cara berladang dan membakar lahan untuk membuka kawasa pertanian baru. Tapi kejadian ini semakin tidak enak dan merugikan manakala tidak terkendali dan bahkan menjadi bencana. 20 hingga 25 %, CO2 yang menyebabkan perubahan iklim berasal dari kebakaran hutan. Sebab itu, kebakaran hutan, tentu patut disesalkan bahkan seharusnya dieliminasi.

Sejak kecil hingga masa remaja di Kalimantan, membuatku familiar dengan kabut asap. Suasana menyengat bau asap api yang membakar rumput dan tumbuhan hijau, tercium menusuk, tapi rasanya 20 tahun lalu tidak ekstrim seperti hari ini. Memang terlihat berkabut kalau pagi, dan gelap bila sore. Namun, asap tidak membuat sampai mata pedas. Mungkin karena hari ini kami berada di ruang kantor Gubernur yang ber AC, ruang itu dipenuhi asap dan memerihkan mata. Tapi tidak diluar sana.

Mengapa kebakaran terjadi hampir setiap tahun?
Ada input yang mengagetkan ketika saya tanya pada salah seorang tokoh masyakat dayak, bahwa mereka membakar merupakan ekpresi kekesalan atas tidak dihormatinya kepemilikan adat dan hak hak mereka. Tanggungjawab kolektif yg tadinya mereka rasakan dan menjadi pupus setelah menyaksikan bahwa secara semaunya pemerintah memberikan izin pada pengusaha yag kemudian malah meampk lahan mereka. Masyarakat setempat tidak diberikan kesempatan untuk terlibat. 'Kedua, ada masalah kultural yang tidak pernah hilang karena menganggap membakar lahan merupakan bagin praktis pertanian yg wajar dilakukan dan musim kemarau adalah berkah yang harus disyukuri serta dimanfaatkan untuk membuka ladang. Modernisasi pertanian gagal mengikis praktik ini karena tidak ada satupun benda mekanik yg menjadi alat rakyat kedialu chainshaw kayu.Intensifikasi pertanian dalam 30 tahun berjalan hanya otopia untuk Kalimantan.

Penduduk kalaupun tidak seratus persen, yang tinggal di pinggiran hutan adalah mereka yang miskin dan menggantungkan hidup pada kekayaan alam yang bahkan hanya mengambilnya: menggali emas, menebang kayu, menjual pasir silikon yang dilakukan tanpa memikirkan keberlanjutan. Akibatnya alam memjadi semakin cepat rusak dan tercemar. Sementara pembangunan perkebunan seperti sawit dan pulp yang dibangun dengan modal besar, tidak sama sekali menyelesaikan dan dapat membantu keterpurukan ekonomi mereka.