Saturday, February 06, 2010

Pendidikan di Tanah Papua, Miskin di Tengah Kekayaan Alam

Selama enam hari saya mengadakan perjalanan jurnalistik ke tanah Papua. Sebuah tanah di negeri Timur nun jauh. Berangkat malam pukul 21, dan tiba pagi pukul 8, ada perbedaan waktu 2 jam lebih dahulu di kawasan ini. Dari ujung ke ujung Indonesia memang seluas benua Amerika. Bisa dibayangkan, saya menuju pulau ini sama dengan pergi ke Dubai, delapan jam!



Saya mengunjungi Kampung Dabra yang merupakan bagian dari distrik Mamberamo Hulu, Papua, dengan jumlah penduduk hanya 728 orang. Masih ada kampung lain yang terdekat seperti Papasena I dan II, Kampung Taria dll.

Menjangkau kawasan ini harus menggunakan pesawat kecil milik Yajasi,sebuah penerbangan misionaris yang mengadakan penerbangan rutin di tempat itu. Hanya pesawat yang memungkinkan menembus kawasan ini. Kalau kapal, anda bisa menempuhnya dengan waktu berminggu minggu karena transportasi yang tidak memadai. Barang-barang pun disini mahal bukan main, karena serba diangkut pakai pesawat. Bensin 30 ribu perliter, gula pasir 20ribu per kg, dan luar biasa beras 35ribu/kg! Tapi pemerintah menurunkan raskin yang harganya satu ribu, itu pun kalau ada pesawat mengangkutnya.

Masyarakat Dabra, merupakan masyarat yang masih dalam masa transisi. Dari traditional gatherer atau tradisi pengumpul dengan mencari makan di hutan dan hidup cukup makan hari tersebut atau dua tiga hari dari makanan yang mereka kumpulkan dari hutan, seperti sagu dan umbi-umbian. Tidak banyak orang yang terdidik disini, dari 700 orang 80% masih buta aksara. Ada fasilitas sekolah dan puskesmas tapi guru dan dokter tidak ada! Siswa sekolah tidak tetap, terkadang masuk kadang tidak, satu dua hari masuk, sebulan menghilang ikut orang tuanya kehutan."Mereka bilang mencari makan"

Seorang kepala suku di Dabra, bertutur pada saya, walaupun Mamberamo telah menjadi kapubaten sendiri, tapi perkembangan sangat lambat. Masyarakat kesulitan menghubungi pemerintah dan pengurus kecamatan karena mereka semua berada di Jayapura. Pak Kepala suku menginginkan adanya percepatan dan guru tetap di desanya, tapi ternyata, guru-guru tidak kerasan disebabkan gajih mereka terlambat dibayar. Memenuhi itu Pak guru kadang-kadang harus berbisnis untuk bertahan hidup.

Pemerintahpun sudah berbaik hati membuatkan rumah permanen dengan harapan mereka bisa menjadi orang-orang yang bisa hidup menetap, tidak berpindah pindah. Sudah ada puluhan rumah dibangun, bagus tapi belum berpenghuni..entah kapan mulai dihuni. Conservation International disini memulai hal yang baru, bukan lagi riset dan menghasilkan laporan yang elitis dan akademis tapi memulai denangan pembangunan masyarakatnya. Memulainya dari pendidikan!

Peter Kamarea menuturkan ini adalah tindakan nyata untuk membangun Papua dari bawah. Tidak ada jalan lain, kini sebuah Community Centre didirikan untuk membarikan pelatihan dari pendidikan hingga perbekalan hidup dan demontration plot untuk cara bercocok tanam. Peter melatih masyarakat lokal yang terdidik untuk menjadi, ada 32 guru lokal yang diberikan pelatihan, dan anak anakpun mulai dikumpulkan memulai dengan pengenalan hurup, menggambar dan mewarnai...untuk anak setingkat 3-6 tahun. Saya tertegun dan terharu memperhatikan, bangsa ini ternyata masih ribuan tahun tertinggal dan sekarang masih berupaya untuk bertransisi.

tabik!

Foto foto di Dabra