Caravan di Taman Safari dan Diskusi Buku Biologi Konservasi di UI (bawah)
Setelah serius menjadi moderator diskusi buku di UI, Depok (18/4) dalam peluncuran buku Biologi Konservasi, yang dihadiri oleh Emil Salim, Sony Keraf, Damayanti Buchori, Ninok Leksono dan Agus Purnomo. Acara yang dihadiri oleh 200an mahasiswa dan ungangan ini sangat menarik karena mencerahkan. Emil Salim selalu saja tentunya merasa tertang untuk mempertanyakan kepada ahli konservasi, kontribusi yang lebih besar berupa pemberdayaan genetika yang bisa menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tinggi dari hanya sekedar kayu.
Sayangnya, cita-cita untuk memujudkan harga yang mahal--lebih dari sekadar menebang kayu ---misalnya melalui bioprospecting di Indonesia masih belum berjalan. Konservasionis berjalan ditempat berupaya melindungi mati-matian hutan alam, tapi belum mampu menyungguhkan alternative yang lebih berharga dengan mempertahankan hutan, tetapi hasil yang diperoleh’riel’ selain menebang kayu, rotan, resin, dan ekploitasi lainnya, belumlah terwujud. Nampaknya jalan masih panjang untuk memberikan keyakinan bahwa hutan tropis Indonesia mempunyai potensi.
Sejujurnya, yang telah banyak dilakukan memang hanya sebatas penelitian guna memberikan pemahaman pada ilmu-ilmu murni belum pada tahap aplikatif yang memberikan dampak ekonomi substantive bagi masyarakat sekitar. Memang, jika dihitung aka nada jasa ekosistem yang harganya tidak ternilai seperti air, udara, karbon sink dll, namun, studi-studi saja akan tidak memadai untuk memberikan keyakinan pada masyarakat tentang pentingnya memelihara keanekaragaman hayati secara utuh.
Week end kali ini memang harus lebih menyenangkan, Sabtu (19/4), kami mensyukuri nikmat Ilahi, pergi ke gunung, kami sekeluarga menguji coba ‘caravan’ alam yang disediakan oleh Taman Safari. Menikmati udara sejuk memang ternyata harus dibayar mahal, namun akan lebih bermakna lagi kalau ternyata udara yang segar adalah lebih ‘mahal’ dibandingkan udara yang tercemar seperti di Jakarta.
Kami mengambil paket satu malam, tidur di caravan dengan fasilitas yang komplit. Tidak terpikir sebelumnya tempat sekecil itu dibuat sangat efisien untuk keluarga (kami berlima). Sayangnya cuaca sore sangat mendung dan hujan sehingg kicauan burung tidak banyak terdengar. Begitu pula pagi setelah shalat subuh, saya membuka pintu dan menghirup udara segar, tapi kicauan burung di tempat ini sangat minim. Saya kira karena hutan cemara (pinus) tidak banyak menyediakan pakan bagi burung untuk survive, sehingga celoteh spesies ini nyaris tak terdengar. Barangkali perlu ditanam pohon-pohon pionir yang disukai burung misalnya pohon salam dan fikus yang buahnya selalu menjadi idaman setiap burung terbang.***