Wednesday, October 08, 2008

Laskar Pelangi, Mengingat Lagi Masa Kecil

Siapapun orang kampung seperti saya, kalau menonton Laskar Pelangi pasti akan terharu. Hari Sabtu (4/10), saya mengajak anak dan istri untuk mengisi liburan mereka dengan menyaksikan film fenomenal ini. Datang ke bioskopnya sih hari Jum'at, tapi udah kehabisan tiket, wah! Penontonnya membeludak, terpaksa beli sekarang nontonya besok.

Tapi inilah uniknya, memang aku tidak selesai membaca Novel Laskar Pelangi, lagi jenuh membaca karena harus membaca yang lain, maka nonton filmnya saja jadilah. Bagi saya, menonton laskar pelangi memang menjadi kenangan tahun 70an, dimana kita masih pakai sendal jepit atau nyeker (pakai telapak adam) ke sekolah. Menghitung pakai lidi.

SD saya tidak jauh beda dengan SD Muhammadiyah, tapi mungkin lebih beruntung karena masuk SD Negeri. Sebelum SDN 2 di Kumai, gedung itu malah meminjam tanah wakaf dari Pengurus Babussalam. Gedung sekolahnya sama, kayu. Ditambal sana sini, tapi kayu di Ulin di Kalimantan--waktu itu masih banyak. Maka sekolah itu dibuat seperti rumah panggung, bertiang tinggi sehingga kita bisa bermain dibawahnya. Dibawah sekolah yang berpasir itu, rasanya dingin. Ditanah pasir yang dingin itulah kami suka memancing undur-undur, dan mendengarkan dongeng teman-teman yang suka 'membual' gaya si Mahar itu. Dongeng yang aku paling suka kalau temanku Anang Odon bercerita tentang hantu gergasi. Wah rasanya seram sekali, pintar sekali dia bercerita. Seolah semuanya hidup dan sampai terbawa-bawa mimpi.

Pelepah pinang yang ditarik itu juga sering jadi permainan. Selain itu banyak permainan lain: beasinan, batewah, main balangan, songketan, gasing, layangan, wah banyak. Saya yakin anak sekarang pada enggak ngerti, karena orang tuanya sibuk menyuruh mereka kursus ini dan itu. Sebenarnya pelajaran di alam yang membuat kami berani dan bersemangat. Dengan lingkungan yang masih bersih dan alami permainan apa pun ada dan jadi tidak harus membeli.

Tanpa terasa air mata ku meleleh, istriku yang duduk disampingku pun demikian pula. Film ini sangat indah. Sejak aku melihat si Mahar dengan radionya yang tengil, airmataku tak terbendung, menangis sambil tertawa. This is the best film I ever seen. Biasanya kalau film apapun ditengah-tengahnya ada penyakit kambuhan aku: mengantuk! Biarpun film The Earth yang katanya terbaik untuk bidang lingkungan, penyakit ku tidak bisa sembuh, ditengah-tengah mengantuk...di akhir film istriku meledek: "Baru sekarang aku lihat kamu menangis" katanya. Pasalnya memang yang paling sering ku ledek adalah dia, setiap menonton sinetron sedikit saja langsung menangis. Kini gantian ya.

Jadi anak-anakku, lihatlah kami 30-40 tahun yang lalu dengan sekolah yang seadanya tetapi semuanya berhasil dengan memancang mimpi! Orang yang terdidik sekarang harus berefleksi dengan melihat film ini, betapa pendidikan itu penting tapi yang lebih penting lagi adalah semangat, ketulusan dan cinta pada anak-anak didik. Terima kasih Andrea Hirata, luar biasa! Anda bisa membangkitkan gairah baru pendidikan di negeri tercinta kita ini. Anda telah memberi pengaruh untuk anak-anak kita bermimpi dengan kejayaan Indonesia yang akan datang.