Saturday, November 22, 2008

Senja di Kaimana

Sebagai anak negeri saya merasa sangat beruntung dengan profesi sebagai aktifis konservasi. Sudah lama saya berfikir, ini adalah sebuah pekerjaan yang mulia dan baik, karena bisa menyumbangkan tenaga dan upaya untuk melestarikan alam Indonesia. Disamping itu, tentu saja bisa melihat pelosok negara dengan diongkosi oleh tempat bekerja, tentunya untuk sesuatu yang produktif. Malam tadi (22/11) saya berangkat ke Kaimana, sebuah kabupaten baru berdiri tahun 2002. Segalanya masih baru disini, jalan-jalan baru dibangun, kantor kabupaten yang baru dibangun, serta infrastruktur yang belum sempurna. Sepanjang perjalanan transit singgah di Ambon jam enam pagi setelah terbang jam satu tengah malam. Perbedaan waktu dua jam dengan Indonesia Barat.


Hutan Lindung Sasrawa Sasanau, Kaimana


Bekerja di konservasi, kata Tom Friedman Penulis buku Hot Flat and Crowded, ibarat menjadi 'Nabi Nuh' tapi dari bentuk aktifitasnya karena ingin menyelamatkan makhluk Tuhan, bukan saja manusia tetapi alam dan spesies yang ada didalamnya. Sedangkan Taman Nasional atau Kawasan Konservasi, adalah ibarat sebuah "Kapal Nuh" yang memuat satwa flora dan fauna yang harus diselamatkan ditengah gelombang badai nafsu konsumerisme manusia sehingga dikhawatirkan spesies tersebut menjadi terancam punah tanpa tersisa lagi untuk diwariskan kepada anak cuku dan generasi yang akan datang.

Profesi konservasionis di lembaga-lembaga konservasi memang tugasnya memberikan informasi, data data ilmiah, strategi dan pembelaan terhadap alam dan warisan alam agar tidak rusak dan punah. Tentunya tidak semua tempat menjadi sangat penting untuk dilindungi, karena hanya beberapa tempat tertentu saja di muka bumi ini ternyata yang mempunyai titik penting.

Hutan tropis memang penting, tetapi mustahil semuanya diproteksi karena harus berhadapan dengan kepentingan manusia. Jadi ibarat mencari sebuah mata air kehidupan di hutan belantara, atau melindungi jantung yang penting untuk memompa darah keseluruh tubuh, kawasan konservasi, dilindungi bersama komponen pentingnya alam lainnya. Namun, upaya mulia ini bukannya tanpa kendala. Dapat anda bayangkan, tempat mana yang sekarang ini belum diketahui dan terjamah oleh manusia? Dari pelosok barat dan timur, pulau kecil dan besar, hampir semuanya telah berpenghuni. Batas-batas penguasanyapun jelas, klik saja Google Earth. Setiap jengkal bumi telah terpetakan, dan semuanya terkapling menjadi negara-negara kecil dan besar, dan penguasaan itu terus mengerucup hingga pada tingkat bangsa, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa, kampung, dan famili.

Dalam hal Pembagian kawasan tanah dan lahan di Papua, dengan otonomi daerah yang kuat, pemerintah pusat bahkan pemerintah daerah tidak dapat berjalan sedirian tanpa persetujuan masyarakat adat. Celakanya batas hak kepemilikan adat hanya diwariskan secara cultural dan tradisi oral untuk mengkapling kawasan sehingga banyak kawasan adat yang satu dengan yang lain bisa menjadi tumpang tindih. Oleh karena itu jika tidak berhati hati, dan menggunakan ‘hati’ bekerja di Papua dapat memicu konflik.

Oleh karena itulah peranan masyarakat di Papua perlu didengar dan sangat penting. Menteri sekalipun harus diterima secara adat dan pemerintah daerah harus resmi mendapatkan mandat adat untuk mengadakan pembangunan termasuk sebuah kawasan konservasi. Kelebihan mandat seperti ini adalah, adanya dukungan kuat dari masyarakat apabila kita mampu meyakinkan program ini bermakna dan investasi konservasi tidak perlu ‘menggurui’ melainkan hanya memfasilitasi dan memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengelola sumber dayanya sendir.

Mentri Fredy Numberi, yang kelahiran Papua mengingatkan pentingnya memelihara kawasan laut dan merencanakan kawasan ini –termasuk pembangunan daerah—untuk dengan visi jauh, 100 tahun kedepan. Kata dia, KKLD tidak harus dilihat hasilnya dalam 10-20 tahun, melainkan 50 tahun dan 100 tahun.

Negeri ini begitu beragam dengan etnik, agama dan adat istiadat. Menapikan unsur adat di Papua sama dengan ibarat memercik air di dulang, terkena muka sendiri. Adat tampaknya menjadi suatu yang sangat dipegang teguh. Disinilah pentingnya istilah, dimana bumi dipijang disitu langit dijunjung, masyarakat yang secara cultural memang masih mempunyai keterkaitan erat satu sama lain, populasi penduduknya yang masih sedikit, khasanah social modern tidak berlaku untuk masyarakat majememuk sepeti itu.

Senja di Kaimana
Selain lautnya yang ternyata mempunyai khasanah yang luar biasa dengan terumbu karang sangat tinggi dibuktikan dengan lebih dari 350 spesies ikan karang sekali menyelam. Laut Kaimana menyimpan keunikan yang luar biasa dan harus dilestarikan.

Senja di Kaimana, Coutesy Dian Yasmin

Potensi laut sudah tidak perlu diragukan, tetapi sehari setelah saya tiba di Kaimana, saya dibawah ke tempat yang unik 14 kilometer dari kota Kaimana menuju Hutan Lindung Sawrawa Sasanau sebuah kawasan hutan dengan luas 10 ribu hektar lebih memiliki aliran anak sungai dan air bersih dengan warna biru hijau tembaga. Kata Albert Nebore teman saya warna itu kemungkinan diakibatkan pengaruh warna nikel yang terkandung di bumi Papua ini. Kejernihan air mengingatkan saya pada Santa Fe River , Florida yang menjadi obyek wisata berperahu dengan bayaran 40 USD per orang untuk menyewa sampan alumuniun dan berdaung menghilir selama satu jam.

Saya berpikir, 100 tahun kedepan, mengikuti petujuk Pak Fredy Numberi, jika Kaimana mampu mempertahankan hutan dan sungai yang mengalir ini, kelak, 50 tahun mendatang orang akan banyak berkunjung dan terkesan menikmati pemandangan alam yang unik ini. Saya yakin, tidak banyak tempat seprti ini di Indonesia dan kemajemukan alam Kaimana tentu bis memberikan alternatif lebih guna menhindarkan kerusakan alam yang parah di kawasan ini. Semoga!