Friday, July 04, 2008

Pesantren di Mlangi


















Pesantren Arrisalah (atas) dan Pintu Gerban Masjid Mlangi

Jumat Pagi, setelah penutupan International Conference di UGM kemarin, saya mengunjungi pesantren di Kampung Mlangi dan shalat Jum'at di masjid Jami Mlangi, sekitar 25km dari Jogyakarta. Kunjungan semula direncanakan ke Pesan-trend Iman Giri, saya batalkan karena tidak pas waktunya. Di Kampung Mlangi ada 20 pesantren yang berpencar-pencar di
perkampungan, kecil-kecil dengan murid puluhan hingga ratusan. Tidak semuanya dapat tercover dalam perjalanan ini, memang kesan saya pesantren disini tumbuh bersama tradisi masyarakatnya yang guyub dan spartan.

Disini saya dan Pendeta Muda Roni Chandra dari Semarang, bersilaturahim disambut oleh Ustadz Muhammad Mustafid dan beberapa ustad lain. Kami melihat Pesantren Ar Risalah yang ada spesifikasinya untuk menghafal al-Qur'an (tahfizd) 30 juz dan murid-muridnya pun tidak banyak, asramanya sangat sederhana dan muridnya berasal dari masyarakat sekitar juga dari
berbagai daerah.

Komunitas kampung Mlangi mewarisi tradisi pesantren cukup tua, disini ditemukan Makam Kiyai Nur Iman bergelar Pangeran Ngabei (salah satu pengikut Pangeran Diponegoro) dan masih keturunan Kesultanan Mataram (Jogjakarta), makam beliau persis berada di sebelah kiri depan Masjid Jami Mlangi. Tidak banyak cerita yang bisa diperoleh dari kunjungan ini kecuali
sejarah Mbah Kiayi Nur Iman yang merupakan seorang keturunan Raja Mataram (RM Suryo Putro) yang melarikan diri kemudian menjadi santri di pesantren.

RM Suryo meninggalkan kerajaan kemudian menyantri di sebuah pondok pesantren dan mendapat nama samaran Muchsin, sekitar tahun 1703. Saya hanya membayangkan, betapa tuanya pesantren itu yang entah kemana jejaknya kini. Yang perlu dicatat adalah, walaupun bangunan pesantren tersebut, dahulu --mungkin karena zaman perjuangan, maka bentuk mereka mungkin hanya gubuk-gubuk bambu yang sederhana. Bangunan itu bisa roboh, tetapi yang mengagumkan, tradisi pesantren itu yang tumbuh terus melekat, dengan adanya kiayi dan masjid dan proses belajar mengajar. Memang pesantren dilakukan untuk menjadi benteng atas kekalahan strategi melawan kolonial yang mempunyai kecanggihan yang lebih baik baik dari segi politik dan strategi, dan menurut saya, benteng tersebut telah berhasil didirikan dan dilestarikan dalam bentuknya dengan pesantren sekarang ini: pesantren dari bentuk yang pondok-pondok hingga pesantren modern gontor dan super modern seperti Ma'had Al Zaytun.