Sunday, February 22, 2009

Ayo Bersepeda


Seperti ubur-ubur, yang suka timbul tenggelam ke permukaan air. Begitu juga komunitas bersepeda di Indonesia. Tahun 90an pernah marak penggunaan sepeda tetapi banyak sepeda dipakai hanya untuk lomba, jadi belum pada tingkat kesadaran orang memakai sepeda semata untuk kembali karena sebuah kesadaran menggunakan kendaraan ini adalah hemat disamping menyehatkan.

Tetapi akhir-akhir ini sepeda telah kembali ramai dipakai. Bahkan ada komunitas bersepeda ke kantor ‘bike to work’. Komunitas ini tumbuh dengan kesadaran bahwa bersepeda merupakan salah satu solusi untuk berkontribusi menjaga kesehatan lingkungan. Tidak itu saja, kemacetan Jakarta akan terkurangi bebannya jika banyak pengguna jalan di Jakarta –ketika pulang pergi—ke kantor menggunakan sepeda.

Bike to work kini mempunyai kegiatan solid mengkampanyekan bersepeda untuk lingkungan. Kini jumlah anggotanya ada 10 ribu orang seluruh Indonesia dan sekarang ada 5000 orang yang pergi ke kantor dengan sepeda. Jumlah ini memang masih sedikit dibandingkan dengan jumlah sepeda motor yang totalnya kini ada ratusan ribu berseliweran ke kantor di Jakarta.
Satu hal yang menarik dari kegiatan bersepeda adalah, kendaraan ini sesungguhnya menyehatkan. Saya pernah menemui seorang ibu yang menuturkan suaminya mempunyai penyakit menahun pernapasan namun setelah rutin bersepeda ke kantor penyakitnya hilang. Jelas sekali sepeda merupakan sarana olahraga, melancarkan seluruh peredaran darah mengeluarkan keringat dan menyegarkan…

Dr. Ahmad Yanuar teman saya yang lulusan Universitas Cambrigde, complain, mengapa di Indonesia –khususnya di Jakarta--ada komunitas bersepeda dan harus diadakan sepeda ramai-ramai? Kalau ke kantor harus dipaneng dengan logo “Bike to Work” menunjukkan orang itu pekerja kantoran tapi bersepeda? “Padahal kan sepeda biasa saja, pakai saja kalau mau ke kantor atau mau ke kampus, seperti di Inggris, tidak usah ada merek.

Lha disana orang semua pakai sepeda kalau enggak jalan kaki. Naik mobil sama sekali tidak efisien, sebab disamping mahal, anda dikenakan ongkos parkir selangit dan parkir mobil anda pun jauh dari lokasi kerja, jadi mesti jalan kaki juga. Disamping harga bensin yang mahal, kalau lagi naik, juga ongkos perawatan mobil akan menguras kantong anda. Jadi lebih baik naik taksi, kereta api atau bus kota kalau bepergian karena fasilitas ini juga menyenangkan dan bus atau kereta tidak berjejal-jejal, tepat waktu, bersih dan sejuk (tidak kalah dengan mobil pribadi).

Selain sepeda ‘Bike To Work’ juga ada sepeda sebagai hobi. Jangan kategorikan orang-orang ini pergi ke kantor setiap hari, karena sepeda yang dimilikinya merupakan sepeda antik ‘tempo doeloe’ yang biasa hanya dipakai seminggu sekali atau kalau ada acara tujuh belasan; karnaval, atau sepeda minggu untuk mengisi Jalan Sudirman hingga Thamrin yang dikosongkan sebagai ‘car free day’ setiap sabtu-minggu.

Komunitas ini sungguh serius dengan romantisme tempo dulu itu. Selain sepeda ontelnya yang antic, cara berpakaian juga disesuaikan dengan suasana tempo dulu. Tidak seragam, tetapi ‘jadul banget’ (kata anak saya): ada yang bersepeda dengan topi kompeni belanda, seragam warna khaki, sepato kulit booth, bawa priwitan dan pakai sensaja pula. Ada juga yang berseragam priyayi Jawa, pakai belangkon, batik garis kacamata frame bulat. Ada lagi yang menggunakan pakaian ala intelectual pergerakan tempo dulu: peci hitam pakai simbul garuda pancasila, kacamata bundar ala Ki Hajar Dewantoro, baju putih dan sepatu hitam. Penggemarnya sepeda ontel ini memang sangat luas dari tukang bakso, seniman, mahasiswa, manager hingga komisaris perusahaan. Mereka solid dan saling menyapa kalau berpapasan, jadi jangan lupa, kalau anda pakai sepeda ontel, bagian kanan harap dikosongkan jangan menggantung barang, sebab ada kalau berpapasan, anda pun harus mengangkat tangan kanan. Paling repot kan kalau sebelahnya ada bawaan, nah harus angkat dua2nya bisa nubruk dong!

Saya memulai bike to work awal februari, baru berani seminggu 2 kali. Sudah lama saya cita-cita tapi enggak kesampean beli sepedanya. Kumpul2 dulu baru dapat sepeda baru, sebab sepeda saya dulu saya tinggalkan di Pondok Pesantren ketika saya bekerja disana. Saya sangat rindu sepeda sejak dulu.

Enak juga, daripada harus beli treads mills hanya untuk cari keringat dan berharga mahal. Mending bersepeda ke kantor!

Biasanya orang pasti mau tahu kehidupan pribadi seseorang apalagi sebagai penulis yang memasang sampul bukunya sebuah sepeda sebagai simbol hidup sederhana dan spartan.

tabik!