Wednesday, September 17, 2008

Kemusyrikan Dalam Konservasi

Salam,

Adopsi praktis konservasi modern memberikan apresiasi atas segala bentuk kultur dan tradisi positif dalam menghormati alam demi untuk kelestarian alam itu sendiri. Ada dilemma bagi seorang muslim yang memandang secara normative nilai-nilai Islam secara rigid—secara praktis, sebagai muslim yang baik—dengan ikut-ikutan mengakui dan mengapresiasi bentuk praktik konservasi yang dianggap masih primitive dan terkadang berbau ‘paganisme’ seperti misalnya: lahan keramat, hutan larangan dll yang didalamnya dilestarikan karena kepercayaan bahwa hutan tersebut mengandung nilai mistik dengan keyakinan akan kekuatan roh-roh jahat.

Ada kekhawatiran, bahwa hal ini akan membahayakan aqidah dan membuat seseorang Muslim—apabila mengapresiasi hal tersebut – akan menjadi syirik atau mempersekutukan Tuhan.

Bagaimana sikap seorang muslim?

Memang terkadang saya juga berpikir –dan merasa khawatir –bisa terjebak pada kerangka yang sama, mengadopsi saja nilai –nilai modern konservasi yang menghormati sacret sites, secara totalitas. Padahal sesungguhnya, keyakinan tersebut bukanlah dimiliki orang yang diluar dimana kawasan tersebut dianggap keramat, tetapi hanyalah sekelompok orang (masyarakat) yang mengakui dan percaya akan hal tersebut sehingga kawasan hutan, laut pantai dan sumberdaya yang ada disana terjaga secara utuh. Artinya, kita kan tidak ikut percaya, apalagi yakin.

Tetapi sebagai seorang saintis atau aktifis konservasi, tentu saja standar yang paling bermakna untuk memberikan apresiasi adalah nilai-nilai lain, secara intrinsic kawasan yang terjaga tersebut. Misalnya, ketika ada hutan yang masih utuh, tentu saja nilai penting ilmiah kawasan tersebut akan semakin tinggi, juga nilai keanekaragaman hayati yang dimilikinya. Sehingga pengakuan seharusnya bukan pada keramat karena ‘mistisnya’ tetapi secara sains kawasan tersebut legitimate untuk diterima sebagai kawasan konservasi.

Jadi segala sesuatu harus menjunjung tinggi ‘ilmu’nya atau sains yang mempunyai nilai objective dan universal. Karena itulah saya kira Islam sangat mengajurkan bila ingin melakukan atau memutuskan sesuatu –jalan, aktifitas, kehendak dll—seyogyanya menggunakan ilmu:”Man aradhaddunya bil ilmi, waman aradhal akhirah, bil ilmi, waman aradhahuma faialaihi bil ilmi”.

Renungan ini menjadi jawaban yang saya sampaikan juga pada Forum Seminar Nasional Lingkungan Hidup dan Lauching Kelompok Studi Primata “Tarsius” di UIN Syarif Hidayatullah, Rabu 17, September. Seminar ini dihadiri sekitar 150an mahasiswa biologi dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta: UIN, UNAS, UNJ,UI dll, tentunya yang beragama Islam yang mempunyai interes keterkaitan Konsevasi dan Islam. Gairah mahasiswa untuk mengorgasisasi diri menjadi kelompok kajian akan banyak manfaatnya seperti halnya saya yang belajar banyak menulis karena adanya kelompok-kelompok mahasiswa yang mengorganisir diri sehinggi kita bisa belajar dari para senior maupun antar teman sendiri pada saat aktif di kemahasiswaan.

Alhamdulillahirabbil 'Alamin.