Kerja Bakti? biasa saja setiap hari minggu. Walaupun terkadang jarang jarang ikut serta sebagai warga RT yang baik. Hari minggu cerah ini, diisi dengan kerjabakti. tapi bukan di permukiman manusia hidup, tapi dipermukiman manusia mati, alias di Kuburan masyarakat.
Kober namanya, entah apa singkatannya, mungkin dulu dengan ejaan lama,"Koeboer Bersama". Kelihatannya semua orang di Betawi menyebut kompleks perkuburan menjadi Kober. Ada ratusan orang yang giat kerjabakti sejak jam 8 di RW kami. Sebab memang perkuburan yang letakknya persis di pinggir CIliwung Cawang ini dikelilingi oleh hunian kumuh, RW 02, Cawang.
Kompleks ini telah berjejal jejal dan banyak kuburan yang bertumpuk-tumpuk, sebab yang mati tentunya bukan hanya warga sekitar yang lalu ikut dikubur disitu. Tetapi juga warga jauh-jauh yang merantau dan mati di Jakarta. Bukan orang betawi asli. Mereka orang Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dll. Aku bergidik membayangkan, Jakarta ini sungguh semrawut. Dikubur saja rebutan, apalagi hidup...di Bis kota masih berimpitan, lalu mati pun ternyata begitu pula. Apa yang kau cari di Jakarta? ketika kehidupan penuh dengan kompetisi dan rasa keleluargaan dan sapa menyapa telah pupus. Sulitlah membayangkan.
Benar juga Gus Dur, dia pulang ingin dikuburkan dikampung halamannya. Karena kampung adalah sebuah jati diri dan tidak bisa ditukar dengan apapun.
Aku sering bepergian keluar negeri melihat kuburan yang teratur dan banyak lahan lahan luas disekitarnya. Kuburan dapat menjadi taman, karena disekelilinnya ada nisan yang satu pancang saja, tanpa ada gundukan. Kuburan seharusnya tidak dibuat menakutkan, karena dia adalah masa depan kita semua (our common future). Apalagi kuburan menjadi kumuh dan kotor banyak plastik dan tidak beraturan. Aku lihat arsitektur kuburan tidak pernah ada yang menggarap (atau ada? Kasih tahu saya). Pikir saya, kuburan masyarakat dapat mencerminkan pula nilai peradaban rupayanya tapi ini tentu terkait dengan keyakinan.
Masalahnya kuburan-kuburan yang kutemukan hari ini adalah kuburan yang tidak menyenangkan, penuh sampah dan terlihat sebuah kematian yang tidak dihargai. Disia-siakan, tidak terawat. Cermin ini pula yang menjadi refleksi kehidupan duniawi di Jakarta. Kuburan dikomplek ini ada yang pakai tegel bagus, tapi yang lain compang-camping, nisannya terkapar, pusaranya ditumbuhi jamur dan kapang,kalau tidak limbah plastik menumpuk disamping kanan kirinya. Datanglah sang penjaga kuburan, kalau kita mau jiarah, dia baik hati. menyapu seputar kuburan saja, dibersihkanlah. Orang ini menyapu berputar-putar, menumpuk sampak kekuburan sebelanya. Bayar, 5000. Lalu kita baca doa untuk saudara, bapak, ibu, kakek! Naif sekali. Mudah mudahan ini hanya kompleks kuburan sini saja, dan tidak terjadi diperkuburan lain.
Semrawut di dunia dan di akhirat!
Ternyata cermin dunia akhirat di Jakarta tidak jauh beda. Suatu hari, karena saking penuhnya kuburan, maka dicarilah batas antara. Lalu disitu digali. Kalau tidak dijumpai batas antara, dilihatlah kuburan yang tak pernah dirawat oleh keluarganya. Lalu digusur, karana ada penghuni baru yang mau dikubur. 'Bodo amat' tidak ada sakralnya lagi kuburan orang lain. Soalnya di dunia juga begitu yang terjadi kan? Gusur menggusur kerap terjadi.
Pada akhirnya memang--ketika kurenungkan--manusia semua akan menghadapi masa depan bersama ini. Tinggal nama saja yang dituliskan di nisannya. tinggal nama saja yang ditinggal di sertifikat rumah, ijasah, surat kawin, ktp, paspor. dan kalau memang berjasa, ya jadi pahlawan. Tapi semua jasad tetap masuk tanah, hancur, back to nature.
Inilah rahasia Tuhan paling agung, yaitu kematian. Semua penyakit ada obatnya, semua barang bisa dibeli dengan uang: kekuasaan, harta, wanita, kecantikan, kegantengan... tapi maut tidak! juga tak ada obat untuk orang mati.Semua akan bertanggunjawab atas dirinya sendiri diharapan Al Khaliq, betapa dahsyatnya kehidupan ini kalau tidak diisi dan dimanfaatkan untuk kebaikan?