Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya menulis essai mengutip keteladanan St Franciscus Assisi (1182-1226) yang sangat perduli pada makhluk selain manusia termasuk burung, rubah, tupai dan binatang yang turun kehadapannya untuk mendengarkan khutbah dan petuahnya. Saya juga mempelajari dokumen Assisi Declaration, yang diumumkan 25 tahun yang lalu oleh HRH Prince Philips bersama tokoh tokoh agama besar dunia: Budha, Baha'i, Hindu, Kristen, Islam, Jainism, Sikhism dan Yahudi berkumpul dan mendeklarasikan kearifan ekologis--- menurut keyakinan masing-masing--- yang sekarang menjadi satu satunya dokumen penting aliansi konservasi dan agama.
Basilica St Franseco Assisi
Tahun ini, saya bersyukur di undang ketempat ini: Assisi Italia. Ternyata merupakan salah satu warisan dunia yang diakui oleh UNESCO. Tempat ini memang ajaib, kalau tidak bisa dikatakan tempat yang mengagumkan, berada di puncak gunung berbatu granit dibangun oleh sebuah komunitas agama (communion) Katholik yang taat. Saya bisa membayangkan betapa tekun dan gigihnya tempat ini dibangun. Tempat sepanjang lebih kurang 5 kilometer merupakan komunitas yang tidak terpisah dengan gereja (basilika) dan menjadi satu dengan alam.
Pohon zaytun dan anggur tumbuh subur. Bangunan disusun dari batu pualam yang bisa bertahan ribuan tahun.
Lagi-lagi saya satu-satunya orang Indonesia dan menjadi makhluk eksotis ditengah warga Italia dan berbagai bangsa dunia yang lain. Tentu saya tidak bisa kesini tanpa undangan dari Alliance of Religion and Conservation (ARC).
Kegiatan yang diadakan merupakan peluncuran jaringan kota-kota tempat ziarah (green pilgrimage network) termasuk didalamnya diluncurkan juga pembuatan Green Hajj booklet yang ditujukan untuk para jamaah haji agar haji mereka selain mambur juga dapat berkontribusi menjaga kelestarian lingkungan. Saya berkontribusi dalam pembuatan buku Green Hajj ini dan juga akan menterjemahkannya kedalam bahasa Indonesia.
Event ini diikuti oleh sekitar 150 delegasi dari berbagai sekte dan agama agama di dunia yang mempunyai kegiatan terkait dengan lingkungan hidup dan aksi tindak untuk mencegah perubahan iklim. Eco Sikh, misalnya memberikan bibit pohon kepada setiap pengunjung Golden Temple di India, untuk kemudian pohon tersebut dibawa kerumah dan ditanam di rumah masing-masing. Candi mereka juga beralih pada energi yang terbarukan, menghemat air dan aksi ramah lingkungan lainnya.
FOTO: Lihat foto-foto acara prosesi pembukaan serta green pilgrimage network
Di negara maju seperti Denmark, gereja mempunyai target mereduksi emisi mereka menjadi 20 persen. Selain menghemat uang umat juga menjaga pelestarian lingkungan. Sama halnya dengan inisiatif tentang Green Masjid yang berupaya menghemat pemakaian energi dan air. Sedangkan Candi Shinto di Jepang, mendaur ulang pemakaian bahan kayu untuk mencegah pembalakan dan penebangan hutan alam. "Pada umumnya Kuil Shinto sudah sangat hijau, sehingga kami tidak perlu lagi menamakannya Green Shinto Srhine," kata Katsu Iwayashi dari Jinja Honco, Jepang. Kesadaran bangsa Jepang terhadap kehidupan beragama semakin meningkat setelah ada bencana tsunami. Dan saya baru tahu agama Shinto mempunyai 8 juta tuhan. "Banyak sekali..." kata teman saya Omar Faruk, pendiri Eco Muslim, sambil bercanda.
Pokoknya, acara ini sangat bersejarah dan sangat mengesankan.
Lihat juga: