Tuesday, May 23, 2006

CERITA KAPAL NUSANTARA

Bayangkan bangsa ini berada di sebuah kapal. Kita berlayar menuju kepada sebuah cita-cita yang bernama ‘Pulau Adil dan Makmur’. Didalam kapal itu, ibarat kapal Nabi Nuh: Ada berbagai suku bangsa dan kulit berwarna warni, mempunyai ras yang berbeda dari rambut lurus hingga keriting.mata sipit hingga lebar, berkulit terang hingga gelap. Didalamnya ada pula binatang, spesies tumbuhan yang beraneka ragam, pohon-pohon yang menjulang tinggi dibawa serta, kekayaan yang dibawa oleh kapal ini luar biasa banyaknya: sehingga disebut kekayaan Megadiversity. Namun tanpa mengenal warna kulit dan potongan rambut, semua penumpang yang ada didalamnya saling ketergantungan, karena masing-masing sepakat untuk mencapai cita-cita dan kemakmuran. Didalam kapal terdapat sekat dan tingkatan serta dek-dek pembatas. Bagian paling tinggi adalah nakhoda, para muallim dan petinggi yang memutuskan kemana kapal akan dibawa.

Para penumpang kapal yang terdiri dari rakyat jelata, telah pula memilih wakil-wakil mereka yang dianggap ‘pintar pintar’ untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan peraturan dan aturan main di dalam kapal.

Menuju pantai harapan, penumpang harus mengeluarkan uang pembelian tiket, dari pembayaran itu mereka mendapatkan makanan fasilitas, dan kenyamanan yang pantas. Di dalam kapal terdapat berbagai usaha dari pedangan asongan hingga konglomerat. Didalam kapal, masing-masing mendapatkan keuntungan yang cukup, bahkan dalam beberapa sektor kapal tersebut mengekspor barang untuk kapal yang lain. Karena kapal itu masih mempunyai pohon-pohon yang bisa dijual, binatang binatang liar dapat diperdagangkan, sumber daya alam lain: minyak, batubara, dan hasil-hasil pertanian dari tanah yang subur dapat dijual dengan keuntungan yang memadai.

Dalam kapal ini, barang-barang semuanya murah karena kebijakan pemilik kapal yang baik hati, mensubsidi penumpangnya untuk memperoleh keperluan mereka.
Sayangnya, beberapa penduduk kapal tersebut ada yang bersikap tamak dan rakus. Hidup mewah, berlebih-lebihan karena mendapatkan fasilitas, bahkan mereka berbuat semena-mena menyelewengkan wewenang, mengekspor sendiri keperluan kapal: ada yang menyelundupkan minyak sehingga mencapai 8,8 triliyun pertahun. Ada pula yang ‘membawa kabur’ aset-aset kapal dengan jumlah triliyunan dan tidak mampu ditangkap. Para kelasi kapal semuanya loyo-loyo kalau menghadapi buron kelas kakap. Akhirnya pengusaha itu lalu memindahkan usahanya ke kapal tetangga dan kapal-kapal di atas angin lainnya. Sebelum kabur, tentu rampok ini menebar uang dulu untuk ‘sangu’ para punggawa penjaga pintu gerbang dan para kelasi kapal. Maling uang penumpang itu berupaya membujuk punggawa supaya menurunkan sekoci, agar dia bisa membawa kabur asset kapal pindah ke kapal lainnya.

Cara ‘rampok-merampok’ seperti ini adalah lumrah di dalam kapal, karena penjaga kapal tidak menerapkan sangsi yang tegas untuk para perampok kelas atas seperti itu. Di dalam kapal ini, belum ada sejarahnya perampok itu dihukum gantung, atau ditembak mati di depan umum karena mencuri uang penumpang! Ada yang lupa: sewaktu dilantik menjadi nakhoda, seharusnya penumpang penumpang kapal bersama-sama membuatkan peti mati, disamping pelantikan itu. Maksudnya, agar siapa saja yang korupsi berat, agar segera dikirim dengan peti mati tersebut, karena ini dianggap akan mencelakai penumpang kapal secara keseluruhan. Sebab selama ini tidak ada yang dihukum berat, paling tinggi hanya beberapa puluh tahun. Berlawanan dengan maling sandal yang diadili, atau maling sepeda motor yang dikeroyok babak belur hingga mati dan di kirim ke akhirat.

Karena agin ribut, banyak bencana dan persediaan terbatas, minyak di dalam kapal harus segera dinaikkan. Sebab menurut perhitungan para ahli ekonomi perkapalan, minyak yang digunakan oleh penumpang kapal selama ini paling murah di bandingkan dengan kapal lain. Walaupun kapal ini merupakan salah satu produsen minyak mentah, tetapi terpaksa membeli minyak dari kapal lain yang pintar mengolah minyak. Untuk memperoleh minyak guna mensuplai penumpannya, pengurus kapal harus mensubsidi dengan membeli minyak di kapal lain—yang bahan mentah dieksprornya. Penyelundupan ke lain kapal akan terjadi kalau kapal ini tidak menaikkan harga. Maka, harga minyak pun diputuskan naik. Bagian penerangan di kapal mengirim SMS: “Minyak terpaksa dinaikkan, agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Tolong bantuan awasi subsidi tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih.”

Di dalam kapal penumpang sudah mulai resah karena kebutuhan pokok melambung tinggi, rakyat kecil berebut antri uang dana langsung subsidi yang dialihkan langsung kepada mereka. Malangnya subsidi itu ternyata hanya sementara. Mualim kapal yang mengurus bagian subsidi mengatakan subsidi hanya mungkin berlaku hingga 2006.

Karena terdesak, gara-gara harga minyak mulai melambung tinggi, kebutuhan pokok yang melangit, penumpang terpaksa menjual apa saja yang ada didalam kapal, baik secara legal maupun illegal. Ada yang menjual diri, ada juga yang memperjual belikan anak-anak penumpang kepada kapal tetangga yang lebih kaya. Ada yang mencari upah di kapal lain, tetapi dengan bayaran sedikit, terkadang tidak dibayar. Karena stress banyak penumpang yang bunuh diri dan gila. Pendidikan di atas kapal carut marut. Banyak yang tidak terdidik dengan baik sehingga gampang dikelabui oleh tetangga kapal yang lainnya: asset kapal diangkut, penumpang kapal dibayar murah. Orang kapal seberang mempuyai istilah ‘keren dengan istilah konsultan’.
Karena kesulitan bahan bakar minyak, penumpang menggunakan kayu bakar untuk mamasak. Mereka kembali pada pola lama, karena energi alternatif yang diciptakan oleh para ahli dan ilmuwan kapal ternyata tidak bisa dimanfaatkan. Energi tambahan misalnya biogas, hydropower, tenaga matahari dan angin, merupakan teori-teori ‘memble’ yang tidak mendapatkan perhatian dari penguasa kapal karena tidak memdapatkan dana pengembangan yang memadai.

Sementara penumpang berebut dana subsidi hingga pingsan dan terinjak-injak, wakil-wakil penumpang yang mereka pilih selaku utusan malah mengusulkan kenaikan upah mereka. Katanya untuk penyesuaian karena bahan kebutuhan semakin naik dan ongkos bertemu penumpang—supaya dipilih kembali—memerlukan banyak dana. Padahal, rata-rata penumpang kapal sudah ‘ngos-ngosan’ mencari nafkah.

Sudah sering terjadi revolusi di dalam kapal. Penumpang ingin kehidupan yang lebih baik dan adil. Mereka mengharapkan pemimpin yang mengerti perasaan penumpang. Bisa menciptakan lapangan kerja, menciptakan keamanan dari rasa takut dan menyediakan makanan yang terjangkau harganya, menyiapkan fasilitas pendidikan yang baik, memberikan pengobatan, dan tempat berteduh yang layak.

Salam,

Penumpang kapal Nusantara.

Fachruddin Mangunjaya
http://nature-of-indonesia.blogspot.com