Saturday, September 30, 2006

Lumpur Sidoarjo dan Etika Penambangan

Oleh
Fachruddin M. Mangunjaya


Betapa khawatirnya kita dengan banjir yang terjadi setiap tahun, tetapi banjir air tidak sekejam banjir lumpur Sidoarjo yang kini bertambah luas. Jika banjir air, akibat luapan curah hujan berlebih, manusia masih bisa berharap untuk kembali kerumah mereka dalam waktu tertentu, mungkin paling lama satu atau dua minggu. Tetapi lumpur Sidoarjo, telah membanjiri dan menenggelamkan rumah penduduk, jalan, sawah, serta pabrik tempat mereka bekerja hingga sekarang--menjalani waktu lebih 2 bulan-- belum juga berhenti. Lumpur Sidoarjo menurut laporan terakhir harian ini (7/8) telah menggenangi lahan seluas 168 hektare atau seluas lebih dari 220 lapangan sepak bola. Sedangkan tinggi genangan di pusat semburan mencapai 10 meter.

Dr. Edy Sunardi Ketua Departemen Pengembangan Ikatan Ahli Geologi Indonesia mengatakan bahwa ini jenis lumpur ini adalah merupakan lumpur gunung (mud volcano), sama seperti lumpur yang keluar di Bleduk Kuwu di Purwodadi, dan Sangiran di Jawa Tengah yang terus keluar hingga sekarang. Ahli geologi ini mencatat bahwa dibawah bumi Porong hingga Gunung Anyar ada semacam tanki berisi lumpur yang membentuk semacam gorong-gorong yang luasnya 200 km persegi dengan ketebalan 4-5 km.

Kalau memang benar ini adalah mud volcano atau lumpur gunung, maka harapan untuk menghentikan luapannya memang semakin sulit. Bahkan dapat diramalkan, simpanan lumpur gunung ini sewaktu-waktu berpotensi pula dapat terjadi di kawasan yang lain yang berada di sekitar radius gorong-gorong. Pengalaman lumpur gunung ini merupakan masalah yang sangat jarang kecuali merupakan fenomena alam yang hingga kini masih menjadi perdebatan tentang muasal terjadinya.

Di luar Indonesia, catatan tentang lumpur gunung—yang hingga sekarang masih aktif – adalah dijumpai di Ajerbaijan, kawasan Asia Tengah. Lumpur gunung pada dasarnya merupakan pelepasan dari saluran akibat adanya tekanan energi gas yang ada dibawah permukaan bumi. Bahan yang terbawa tidak hanya gas, tetapi bercampur dengan air, juga sedikit bercampur dengan minyak yang sumber kedalamannya dapat mencapai hingga 812 km dibawah bumi. Tekanan ini dapat mengakibatkan lumpur melompat tinggi berkisar dari 5 hingga 500 meter. Di Sidoarjo, dicatat pusat ketinggian Lumpur yang melompat dari dalam tanah mencapai ketinggian 10 meter.

Menurut laporan Ronie Gallangher>> KORAN TEMPO

Friday, September 08, 2006

Alhamdulillah Selesai Juga!


Apa yang dirasakan setelah selesai kuliah? Tidak ada rasa apa-apa. Yang jelas tugas sebagai hamba yang mencintai ilmu dan ingin berbuat lebih banyak untuk bumi dan kemanusiaan harus membekali diri dengan keahlian yang tangguh. Tentu saja saya harus bersyukur (Thanks GOD). Karena itu saya mengambil Conservation Biology di Universitas Indonesia dalam rangka meningkatkan kapasitas diri dan ilmu yang mumpuni.

Terimakasih kepada anak dan istri (dila taya dan lulu serta ara). Teman teman ‘supporter’ sekeliling dan sahabat saya. Orang tua di kampung. Prince Bernhard Scholarship WWF International yang memberi saya beasiswa.

Thanks GOD I'm Done

Menjaga Satwa Langka dari Bengkulu Hingga Lampung

Tim CI Kamboja di Bukit Kaba, berkabut asap kebakaran hutan
Tulang badak yang disita Rhino Protection Unit sebagai barang bukti.

Menjaga aset bangsa berupa satwa liar di taman nasional yang ada di Indonesia sangatlah sulit. Mereka terancam nyawa bila tidak dijaga ketat. Selain habita mereka yang terus tergusur, juga terkadang satwa ini, terpaksi ‘jadi maling’ mencuri ternak penduduk karena tidak ada lagi makanan di hutan. Aktifitas inilah yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang ada di Kabupaten Curuk Bengkulu untuk menjaga: ‘raja hutan’ dan spesies lain yang dilindungi di taman nasional tersebut agar tidak terbunuh oleh pemburu atau dikeroyok penduduk. Bersama Fauna Flora International (FFI), sebagai mitra TNKS, ratusan ribu dollar dikeluarkan untuk menjaga satwa-satwa langka ini. Rangkaian perjalanan inilah yang saya lakukan dari tanggal 23-30 Agustus 2006. Saya menjadi interpreter untuk para ‘ranger’ asal Kamboja yang difasilitasi oleh CI Kamboja –yang ternyata mempunyai problem yang sama—dalam rangka melindungi satwa harimau Kamboja yang tersisa beberapa gelintir saja.

Pengetatan serupa dilakukan di TN Bukit Barisan Selatan untuk menjaga kelestarian Badak Sumatera. Satuan mereka disebut Rhino Protection Unit (RPU). Kami menyusur Kota Agung Lampung, melihat dari dekat kawasan KM 24 TNBBS, beristirahat di tengah hutan dan makan siang di pinggir sungai. Asyik. Kesan saya, TNBBS mirip sekali dengan kondisi di Taman Negara Malaysia atau Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara. Pasukan penjaga satwa di Lampung lebih karena difasilitasi empat mobil ranger (4 wheel drive). Baru kali inilah karena penjagaan yang ketat, sehingga perburuan terhadap badak jadi menurun. Bahkan ada Badak yang bernama ‘Rosa’ yang kemudian terbiasa dengan para pasukan RPU, dan terpaksa dipindahkan karena –anehnya— mau dekat dan bermain dengan manusia.

Banda Aceh Hingga Medan


Wawancara dengan SWR Swedia
dan Mangrove ditanam setelah
stunami, di Gronggrong, Aceh.















Tidak banyak yang dapat disumbangkan untuk Aceh kecuali memulihkan semangat dan kebangkitan pemduduknya untuk kembali sadar dan beraktifitas seperti sedia kala. Inilah realitas dan kehebatan orang-orang Aceh yang senantiasa sabar dan tabah lalu bangkit kembali. Tanggal 13-16 Agustus, saya ikut bergiat memberikan pelatihan dan penyadaran lingkungan dengan modul Islami. Beberapa materi diambil dari IFEES, Al-Quran dan Ciptaan dan

Konservasi yang diterjemahkan oleh CI. Pelatihan ini bekerjasama dengan WWF untuk mengundang guru-guru sains dan ustadz di beberapa pesantren.

Peninjauan lapangan dilakukan di daerah Gronggrong, Pidie untuk melihat pertumbuhan bakau yang kembali ditanam di Pantai Barat Aceh itu.

Pendekatan agama dalam melestarikan lingkungan ternyata menarik SWR dari Swedia untuk mengadakan wawancara. Saya katakan, tidak ada yang lebih tepat untuk pendekatan kesadaran di Aceh kecuali melalui ajaran Islam, karena Aceh memang menginginkan berlakunya perilaku Islami dalam tatanan masyarakatnya.

Tuesday, September 05, 2006

Cerpen: PROVOKATOR

Oleh Fachma al-Kumayi

Hari menjelang pagi. Angin laut menerpa, menghempas dack kapal Binaiya. Sebuah kapal penumpang dengan kapasitas 3000 orang. Kapal bertingkat tiga ini dengan tenang membelah laut. Tiupan angin dan gelombang beralur sedang sejak tadi malam tidak sedikitpun menggoyang tubuh kapal besi ini. Setelah shalat subuh. Udara dingin sekali, tapi awan diatas cerah sehingga matahari fajar yang menyingsing di ufuk timur sangat indah untuk dinikmati. Kapal yang kutumpangi ini adalah jurusan Semarang ke pelabuhan Kumai, Kalimantan Tengah.

Kapal ini cukup penuh dengan penumpang, ma’lum saja banyak sekali para penumpang adalah mereka yang pulang berlibur dari Jawa. Ada pula yang mencoba mengadu nasib mencari penghidupan di Kalimantan. Beberapa diantaranya kukenali sejak dari pelabuhan, mereka adalah bocah-bocah dengan pendidikan rendah di Jawa dan Sumatera yang sedang direkrut oleh cukong penebang kayu untuk membabat kayu yang masih tersisa di Kalimantan.

Pulau Kalimantan bagi beberapa orang memang bukan lagi tempat yang seram, tetapi adalah pulau dengan kekayaan alam yang melimpah dan menghasilkan uang. Pulau ini juga sebuah pulau tempat menyimpan harapan, keberuntungan banyak diperoleh dengan cara menguras sumber daya alamnya yang masih kaya.

Aku menikmati angin yang berhembus diatas dack kapal. Melihat lajunya perjalanan, menjelang pagi. Sudah kucoba menebak. Kapal dengan cat kuning gading ini sekarang memasuki kuala Tanjung Puting. Sebuah titik yang dituju setiap kapal yang ingin masuk ke teluk Kumai ataupun Kuala Kotawaringin. Ingatanku mulai berputar, betapa gembiranya berjumpa lagi dengan orang tua dan adik-adik. Sudah lima tahun aku dirantau dan tidak pernah pulang. Kupastikan akan menikmati mandi di sungai belakang rumah yang terus mengalir dan bersih. Kubayangkan aku melihat ramainya mata yang akan memperhatikan dan menyambut kepulanganku karena mereka ingin melihat apa perubahan apa yang ada pada diriku. Juga yang penting oleh-oleh buat mereka.

Aku turun mengundaki tangga ke bawah, menuju ke tempat tidur. Sebentar, terlelap beberapa waktu. Tiba-tiba aku terjaga, kulempar pandangan keluar jendela. Dan melihat ujung Tanjung Puting yang harusnya di tuju tidak juga di lewati. Anehnya kemudian haluan kapal berputar balik 180 derajad dan kembali ke arah semula. Ada apa gerangan?

Tiba-tiba dari lambung paling atas, tempat nakoda mengendalikan kemudi, kami mendengar pengumuman. “Kapal ini, atas permohonan “pihak berwenang”, akan kami alihkan menuju Sampit. Karena kami mendapat kabar, bahwa Kota Kumai sedang dilanda kerusuhan...!” kata suara tersebut dengan nada datar berulang-ulang memberitahukan kepada penumpang.
Aku terperangah tidak percaya. Apa benar, kampungku yang sangat asri dan indah itu sedang kerusuhan? Tidak mungkin. Tempat itu sangat aman dan damai. Orang-orangnya penuh toleransi, suka menolong dan ramah. Lagi pula apa iya kota kecamatan sekecil itu ikut-ikut trend kota besar seperti Jakarta yang penduduknya padat dan tidak lagi berbudaya? Hatiku berkecamuk.

“Wan, tahu tak, kapal ini sekarang berbalik haluan 180 derajat,” aku menanyakan kepada seorang kepada Irwan, yang masih duduk sambil memegangi koran di atas dipannya.
“Hah? Masa, aku dari tadi di kamar terus, sebenarnya apa yang terjadi?” Irwan mulai bereaksi dan beranjak dari tempat duduknya. Kemudian dia melongok ke jendela kapal di sebelah kirinya. “Heh, bener Nang*), Kapal ini putar haluan, kalau begitu kita mesti tahu apa sebenarnya yang terjadi. Masak, kampung kita yang aman-aman saja itu dibilang ada kerusuhan, tidak mungkin, mana bisa, kita mau kerusuhan sama siapa? Semuanya isinya saudara-saudara semua!”

Pikiran Irwan, sersis sama dengan apa yang kupikirkan di benakku. Sebuah ketidak percayaan. Mustahil dan muskil. Aku kemudian termenung dan berunding dengan Ikhwan. Kebetulan Dia adalah salah seorang anggota DPRD yang mewakili kecamatanku. Kami bertukar fikiran, tidak lama kemudian beberapa orang datang nimbrung.

“Tidak, bisa... kita harus sampai di Pelabuhan, Kumai. Tidak ada apa-apa disana!” sergah seorang pengusul.
“Tapi itu, tadi kan ada pengumuman, perintah dari Pemda setempat,”
“Ah. Mana ada yang percaya dengan Pemda!. Kita tidak percaya, pokoknya tidak ! enggak rela, enggak rela,” sambut yang lain mulai menghangatkan suasana. Beberapa orang mengusulkan kami mendekati kamar Muallim I untuk meminta keterangan sebenarnya. Setibanya disana, ternyata orang-orang sudah berkumpul dengan penuh emosional.

Perundingan pun mulai emosional. Ada dugaan sementara bahwa ini hanya sebuah permainan para cukong pelabuhan yang barangnya tidak terangkut. Ada juga dugaan bahwa ini skenario yang disengaja, agar kami lebih lama di laut, dengan demikian barang-barang di Kapal akan laku.

“Iya, tapi jangan mengorbankan orang kecil, dong. Uang ku kan sudah habis, tidak lagi bisa makan di restoran, atau cukup hanya bisa beli dua bungkus mie isnstant,” teriak Zudin, berbantah dengan teman yang ada disebelahnya.

“Pokoknya, kapal ini harus kembali ke Pelabuhan yang menjadi tujuan semula, kalau tidak kami akan berontak,” kata salah seorang penumpang dengan nada tinggi dan marah. “Tong, tong, ting tong...”Ah, salah seorang penumpang nampaknya terlalu emosi sehingga memuku-mukul tangga dan bodi kapal. Ada ratusan orang berkumpul didepan kamar muallim. Wah, runyam.
“Kalau tidak kembali, kita sandera saja, nakhodanya!,” ujar salah seorang mengusulkan.

“Bagi kami tidak apa-apa kembali ke Pelabuhan. Hanya kami punya pengalaman ketika berlabuh di Ambon dalam suasana rusuh, semua yang ada di dalam kapal malah tidak bisa pulang dengan aman, bahkan terjadi pembantaian dari orang-orang yang mengejar dari darat. Jelasnya kami sudah berpengalaman soal kerusuhan, jadi jangan paksa kami, kalau memang keadaannya masih rusuh,” ujar Kasidi, penanggung jawab keamanan Kapal.
Tapi perundingan tidak juga berakhir, sampai akhirnya diputuskan, dua orang yang mewakili penumpang yang ada di bawah, maju menghadap nakhoda.

“Teman-teman, nama saya Jumri, dan ini Dulrasid. Atas perundingan tadi kami ingin mewakili teman-taman dan saudara-saudara dan bersepakat menghadap kepada nakhoda dengan satu permohonan: Kita harus menuju Pelabuhan Kumai untuk membuktikan berita yang terjadi. Sehingga kita secara yakin mendapatkan kepastian apa yang terjadi di Kota yang biasanya aman dan damai itu !!,” kata Jumri berpidato. Yang mendengarkan setuju. Sementara haluan kapal terus melaju –dengan arah kembali—menuju pelabuhan Sampit. Applaus diberikan kepada penumpang di geladak untuk kedua orang yang berani menjadi wakil secara spontanitas.

***

Tiba-tiba saja, haluan kapal berputar 180 derajat. Tepuk tangan kegirangan penumpang yang sedang berkumpul di tengah dack kapal memenuhi ruangan..”plok..plok...hore...!!”
Kapal kemudian menuju ke pelabuhan idaman. Dengan kecepatan yang dipacu tinggi meredakan kekisruhan yang ada di kapal yang terlalu sempit itu.

Makan siang tiba. Kami antri untuk mengambil nasi dan jatah makanan. Sementara kapal melaju kencang, Tanjung Puting kelihatan kembali, dan tidak berapa lama kemudian KM. Binaiya menjumpai teluk Kumai.

Aku berdiri diatas dack sayap kiri depan. Wing kiri ini terletak di lantai tiga. Berdekatan dengan kamar operasi nakhoda. Bila menoleh ke kanan, terlihat nakhoda yang sedang sibuk mengendalikan kapal. Dari tempat ini pandanganku terlempar jauh sambil berdebar dengan harapan dan kecemasan. Menatap ke haluan kapal, seketika kami memasuki muara Sungai Kumai, aku melihat beberapa speed boat melaju kencang dan tidak lama telah merapat di lambung kapal. Binaiya kemudian bergerak perlahan.

Dua orang polisi, salah satunya adalah penanggung jawab sektor kepolisian kecamatan. Mereka didampingi dua petugas intelijen. Pak Kapolres mengumumkan kejadian sesungguhnya yang ada di lapangan: “Kumai memang dalam keadaan rusuh. Hingga sekarang telah jatuh beberapa korban. Maka untuk menghindari korban lebih banyak kapal ini kami minta dengan hormat untuk kembali dan mendaratkan penumpangnya di pelabuhan yang aman,” begitu pengumuman Pak Kapolsek.

Tanpa banyak bicara beberapa orang bertampang klimis mencari nama Jumri dan Dulrasid, dua
orang ini ditawarkan untuk diantar ke Pelabuhan Kumai agar dapat sampai menemui keluarganya yang menunggu. Dulrasid dan Jumri diam seribu bahasa, ketika mereka kemudian digiring menuruni geladak kapal menuju speed boat yang siap meluncur. Kami pun diam. Beberapa penumpang merasa pasrah, beberapa menit kemudian kapal berpaling kembali 180 derajad: KM. Binaiya kembali menuju Pelabuhan Sampit.

Esok harinya kami sampai di pelabuhan Sampit dengan aman. Aku tiba di rumah dan membaca sebuah harian daerah dengan antusias menulis head line: “Akhirnya berlabuh di Sampit...Kapal Binaiya yang tadinya telah menuju Pelabuhan sesuai dengan permintaan pihak berwenang, hampir saja akan berlabuh di Kumai dalam kondisi tidak aman yang dikhawatirkan akan membawa korban..., petugas telah mengamankan dua orang penumpang yang diduga memprovokasi di kapal tersebut.”

Aku menutup lembaran koran yang kujumpai tiga hari setelah kejadian yang menkhawatirkan itu. Aku berfikir, apakah seenak itu menuduh orang menjadi provokator di negeri ini?***
*) Nang= Anang, panggilan umum untuk pemuda Kalimantan.

Wednesday, July 12, 2006

PULANG KAMPUNG

Oleh: Fachma Al-Kumayi

Sudah tujuh tahun aku tidak pulang, Aku rindu kampung halaman, mencium lagi semerbaknya bunga hutan, melihat rimbunnya semak di belakang rumah, ramainya kicau burung liar setiap bangun pagi, semuanya membangkitkan ingatanku kembali. Di belakang rumah panggung yang menjadi cirri khas rumah Kalimantan ada anak sungai yang mengalir deras dan dingin. Warna air kali kecil ini berwarna oranye kecoklatan seperti air teh. Hal ini terjadi karena pengaruh endapan serasah dan akar kayu-kayu hutan tropis di sebellah hulu sana.

Ketika musim hujan tiba, anak sungai ini meluap deras. Bersama teman-teman lain aku bersenang-senang menikmati alam: terjun bebas dari tebing pasir terjal menyebur ke sungai yang dalam. Lalu dengan sepotong papan, kami menghanyutkan diri, menggiring arus yang deras kearah hilir sungai. Hiruk pikuk bersama lima atau enam rombongan anak-anak membiarkan arus membawa kami beriringan (konvoi) sehingga berkilo-kilo jaraknya. Kami mandi mengobok-obok air.

Rombongan ini jadi mirip berang-berang, dengan badan mengkilap dan mata merah bertengah-tengah hari, berenang hilir mudik. Permainan itu terkadang bubar begitu saja tanpa membilas diri dengan sabun. Suatu waktu permainan dapat juga terganggu dan kocar-kacir karena kami melihat ular lombok menyebrang di tengah-tengah rombongan renang. Kami lari ketakutan kalau-kalau ular itu berbalik menyerang.

Setelah mandi karena di seberang sungai masih hutan lebat terkadang sekawan Lutung merah (Hilobatus klosii) terlihat bertongkrongan diatas pepohonan dengan jarak 200 hingga 300 meter di depan kami. Karena mitos yang beredar dikalangan bocah--anak-anak-- Kalimantan, makhluk ini sangat tidak senang menggoda anak yang menggunakan pakaian mirip mereka. Tiba tiba Ijul –dalah seorang teman kami berteriak-teriak “Oii….kelasii ini nah si Abui, pakai baju bawarna merah…!”*) anak-anak itu berteriak sekuatnya dengan akrab, menyapa monyet-monyet yang ternyata di lindungi itu.

Setelah itu aku melihat jerat burung terkukur, kalau-kalau jebakan yang kami pasang kemaren telah kena di masuki oleh burung. Jerat-jerat ituu kami letakkan di tengah kebun atau pinggiran sungai yang berpasir. Kalau hujan telah usai biasanya jenis-jenis burung ini sering turun ketanah untuk mendapatkan makanan. Jebakan yangn kami buat untuk makhluk bersayap itu sangat sederhana, terbuat dari kayu dan tali dengan jerat dan sebilah tonggak lurus yang di lenturkan.

Lalu dalam lingkaran tali jerat tersebut ditabur padi atau beras di tengah-tengahnya. Setelah itu kami membuat kamuflase disekitar jebakan itu sedemikian rapi dengan dedaunan hingga mirip jebakan ala Mc Giver. Bila burung mendarat, karena melihat makanan dan menginjak jerat itu maka kayu terlentur setengah lingkaran tadi akan bergerak sontak dan menjerat kaki burung.

Pulang melongok jerat dengan pakaian seadanya biasanya kami melewati rumah bibi yang menanam buah-buahan seperti kedondong, jambu dan mangga. Tanpa permisi seperti kebiasaan nakalnya anak-anak memanjat pohon-pohon itu diam-diam atau menyasar buah-buah itu dengan ketepel. Tentu saja acara itu bisa bubar ketika bibi yang ada di rumahnya dikagetkan oleh hiruk pikuk anak-anak atau peluru ketapel yang jatuh diatas genting rumah, menyebabkan saudara ibu kandung ini mengomel.
***
Pulang kampung. Tempat-tempat bermain masa kecil itu sudah hilang. Ladang dibelakang rumah dan hutannya sudah tidak ada lagi. Lahan itu kini sudah di tumbuhi rumah penduduk. Kantor kelurahan lama yang tadinya terletak di kawasan pasar, kini di pindahkan tidak jauh dari belakang rumah kami. “Ini adalah merupakan kantor kelurahan baru yang dipindahkan untuk mengantisipasi keseimbangan pertumbuhan perumahan dan penduduk,” kata Pak Lurah berteori. Sungai pun terlihat tidak berair lagi, karena hutan sumber air telah dibabat habis di sebelah hulu sana.

Sepuluh tahun yang lalu, lebih kurang sepuluh kilometer dari rumah kami biasa kutemukan sumber air yang masih sangat asli di pinggir hutan. Anak sungai ini memang dangkal, namun merupakan anak sungai kecil selebar 3 meter yang berasal dari bawah hutan. Air yang keluar dari hutan ini bermuara pada anak sungai yang biasa kami pakai untuk mandi. Maka air yang keluar langsung dari arah hutan tersebut sangat dingin layaknya keluar dari dalam kulkas sedangkan yang berada di muaranya sungai agak lebar mengalir hangat. Kami menyebut lokasi itu dengan sungai Asap, karena sungai itu dingin dan terkadang berembun seperti asap.

Beberapa meter dari lokasi sungai tersebut, terdapat rumah terbuat dari kayu ulin tempat meletakkan hasil sadapan karet. Kini rumah itupun sudah roboh. Kolam ikan dengan penghuni berjenis-jenis ikan liar yang terletak di samping bangunan itupun telah hilang teruruk. Hanya tinggal kenangan. Begitupun monyet merah yang suka menakut-nakuti anak-anak waktu kami masih kecil kini tidak pernah tampil di pohon-pohon itu lagi. Mereka pergi untuk selamanya sejalan dengan penggusuran habitat mereka. Sekeliling rumah kami sudah tidak ada lagi hutan tempat mereka menggantungkan hidup mencari buah-buahan dan dedaunan yang layak di santap.

Aku coba memandang lurus ke arah jalan yang dulu penuh rumput dan semak. Kutatap sebuah bukit kecil yang setiap hari kudaki karena harus berjalan kaki menuju sekolah SMPku. Jaraknya hanya dua setengah kilo. Dulu jalan ini penuh semak, licin berlumpur dengan tanah merah ketika hujan. Kini jalan itu sudah beraspal licin. Semakpun tidak pernah muncul lagi.
Dari sekian kenangan yang masih utuh hanya beberapa pohon rambutan yang masih tumbuh dibelakang rumah kami. Ada lagi, langit biru kampungku yang masih belum lagi tercemar. Elang Bondol yang masih suka meliuk-liuk di udara melakukan manuver-manuver melihat-lihat anak ayam kampung yang lengah untuk di sambar tiba-tiba, masih kujumpai ketika aku pulang kemaren.***

*) hei lutung ini nih Abui (nama orang) pakai baju warna merah mirip kamu.
(Cerpen ini pernah dimuat pada Harian Pelita, Th 2003)

Sunday, June 18, 2006

Foto foto Peluncuran Buku H2DA Bersama Duta Lingkungan

Menteri Ir.Rachmat Witoelar


Wanda Hamidah



Paramitha Rusady
Titik Puspa, Dessy Ratnasari dan Valerina Daniel

Andien

Ray Sahetapy

Saturday, June 17, 2006

SEBUAH BUKU LINGKUNGAN DAN PARA 'BINTANG'


Ir. Rahmat Witoelar, Menteri KLH menandatangani peluncuran buku Hidup Harmonis Dengan Alam dan acara penyampaian kesadaran lingkungan oleh para duta lingkungan.


Apalah artinya sebuah buku, apabila tidak dibaca, tidak pernah direspon dan kemudian diletakkan di perpustakaan atau dimeja. Tetapi buku Hidup Harmonis Dengan Alam, yang merekam peristiwa lingkungan dan pengetahuan tentang kekayaan hayati Indonesia serta essai-essai “mencerahkan” mengenai konservasi alam dan lingkungan—yang saya kumpulkan selama lebih dari lima belas tahun dari tulisan-tulisan saya yang menyebar di berbagai media-- minimal tidak dibuat pembungkus roti dan sayur, karena berubah menjadi sebuah buku yang tampil baik dengan judul obsesif. Saya bersyukur kepada Illahi, karena secara simbolis buku itu diserahkan oleh Menteri Lingkungan Hidup kepada para Duta Lingkungan untuk disampaikan: Titik Puspa, Taufik Abdullah (sastrawan), Dessy Ratnasari, Paramitha Rusady, Valerina Daniel, Wanda Hamidah, Perkumpulan Women (para mantan Puteri Indonesia), Ray Sahetapi, Vani dan Andien.

Saya sungguh terkesan dengan kesadaran para bintang tentang lingkungan, Andien misalnya akan mengambil sendiri sampah yang dibuang oleh stafnya atau anggota manajemennya kalau mereka tidak mau memungut. Sementara Dessy Ratnasari teramat ‘kesal’ melihat penumpang mobil mewah yang kadang-kadang seenaknya membuang sampah dijalanan.
Kesan saya terhadap peluncuran buku yang berlangsung ditengah gemerlapnya para ‘bintang’ yang diutus oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagai “Duta Lingkungan”: sangat positif. Para artis memang mempunyai pemahaman global tentang lingkungan, tetapi saya mengharapkan mereka akan lebih dalam memahami persoalan lingkungan dan alam Indonesia dari H2DA.

Karena mereka banyak tinggal diperkotaan, maka dalam pembicaraan dalam pembicaraan kemarin banyak membahas masalah perkotaan: sampah, polusi, menanam pohon dikampus dll. Kecuali Paramitha Rusady yang pernah diajak kakaknya Ully Sigar Rusady untuk pergi ke gunung pancar dan berjalan selama enam jam. Lalu Paramitha kini menjadi seorang pembela alam dan lingkungan yang gigih dan mendapatkan penghargaan dari KLH.

Saya berpendapat, sesekali para artis itu harus melihat alam, masuk hutan bersama Paramitha, supaya rasa cinta alamnya tumbuh. Karena biofilia (biophilia), keterkaitan manusia dan alam akan terpendam (dormant) jika tidak dipupuk , begitu menurut Professor Kellert dalam Kinship to Mastery (1997).

Biophilia adalah sebuah hipotesis yang mengungkap tentang hubungan erat manusia dan alam. Jadi lingkungan, dan alam merupakan sesuatu yang saling berkait. Tegasnya, persoalan lingkungan juga menyangkut karekter kita dalam memperlakukan alam.

Maka ingin mencintai lingkungan, tidak cukup duduk di kota, lihatlah alam yang asli, pergi ke taman nasional atau hutan yang masih perawan, pergi ke pulau mengarungi samudra atau menyelam ke dasar laut. Pelajarilah ciptaan Tuhan yang ada disana. Bahwa Ilahi menciptakan alam yang lebih besar dari kita.

Terima kasih atas bantuan Dr. Hendri Bastaman, Asisten Menteri KLH Bidang Sosial Budaya, atas terlaksananya launching yang sangat strategis ini. Tabik!
Resensi Buku

Kritik atas Nalar Abad Industri
KORAN SINDO Minggu, 21/01/2007
DI dunia pendidikan muncul kritik tajam terhadap warisan paradigma (nalar) abad industri yang agresif dan eksploitatif terhadap alam demi profit dan akumulasi modal, dengan mantra ”efisiensi” dan ”persaingan bebas”.
>>>
Memesan Buku

Monday, May 29, 2006

Berbagi Pengalaman “Rahasia” Menulis

Banyak teman-teman bertanya kepada saya bagaimana caranya agar bisa menulis dengan baik. Menemukan ide untuk penulisan dan kiat-kiat apa yang tepat untuk dilakukan dalam menulis. Saya sendiri menganggap, saya adalah orang yang masih kalah produktif dengan mereka yang lebih produktif dalam menulis.

Saya ingin berbagi pengalaman mengenai ‘rahasia’ bagaimana bisa menemukan ide dalam penulisan. Tentu saya juga belajar dari bebarapa pakar yang produktif menulis di berbagai media dan bahkan menulis untuk buku-buku teks yang tebal.

Beberapa langkah yang saya lakukan biasanya:

Menghayal atau bermimpi (dalam arti berangan-angan positif), bisa menulis suatu topik.
Mencatat topik yang mau saya bahas kedalam buku blok notes saya ketika terlintas ide atau gagasan mengenai sesuatu yang muncul, baik ide tulisan, atau ide yang lain terkait dengan bisnis dan persoalan pribadi.

Saya mulai menulis sesuatu apa saja yang terkait dengan topik yang saya pikirkan. Disini memang terkadang buntu harus menulis apa? banyak orang berkata: ketika bercita-cita bisa, tetapi ketika menuliskan menjadi suatu kalimat yang baik dan mudah dicerna, kok tidak bisa. Jadi tulis saja apa yang keluar dari benak anda walaupun anda anggap buntu, tetapi tolong paksakan dan teruskan. Atau,berhenti kalau sedang tidak konsentrasi.

Cari sumber-sumber yang relevan dengan topik yang akan ditulis. Abad teknologi sekarang ini sangat memudahkan dengan mengakses sumber-sumber dengan topik yang mirip dengan hanya klik: Googgle atau Yahoo pakai search engine. Apabila bisa berbahasa inggris, sangat memudahkan, tinggal entri saja kata-kata penting yang akan dibahas.

Tulislah draft anda sedapatnya, dan endapkan. Kalau sudah cukup beberapa halaman, lalu print dan baca. Lakukan koreksi dengan tangan. Bawalah teks itu ketempat-tempat terbuka. Anda bisa mengedit, atau menambah kalimat-kalimat lain sembari melihat pepohonan dibelakang rumah. Bahkan ketika ‘nongkrong’ (maaf) di toilet.

Untuk penulis pemula, jangan terburu-buru mengirim tulisan tersebut ke media. Belum tentu bisa langsung dimuat. karena media memerlukan tulisan-tulisan yang aktual, dengan titik koma yang sempurna dan beralur logis (lihat kriteria penulisan Kompas, dan Suara Pembaruan)


Kapan saat tepat untuk menulis
?

Lain pribadi lain orang, lain cara menemukan mood dalam menulis. Kalau saya biasanya terlintas ide, ketika membaca koran (Koran yang merangsang saya untuk menulis –biasanya langsung saya “sobek” dan letakkan diantara kedua blok notes saya) ketika saya menemukan peristiwa actual yang akan saya tulis. Lalu saya browsing topik yang terkait atau membaca buku-buku referensi yang saya miliki di rumah. Saya biasanya memulai dengan mempelajari hal-hal mendasar dari peristiwa terkait.

Mood rutin saya adalah jam dua pagi hingga subuh: jam lima. Setelah subuh saya tidur kembali, dan bangun sekitar setengah tujuh. Sebagai muslim, tentu saya gunakan untuk shalat tahajjud minimal 2 rakaat. Untuk bangun tengah malam, biasanya saya langsung tidur lebih sore, jam 9 atau jam 10. Bisa pula saya menemukan mood jam 6 hingga jam 9 pagi.

Saya –rasanya-- tidak pernah menulis artikel siang bolong. Sebab waktu itu adalah waktu kerja di kantor dan ada pekerjaan rutin yang harus dilakukan. Karena menulis merupakan pekerjaan freelance yang menyenangkan (bagi saya) dan menambah pengetahuan pribadi.

Sewaktu-waktu, sesungguhnya, jangan juga memplotkan diri. Saya juga menulis tidak kenal waktu dan tempat. Ketika ada ide datang, saya harus menulis. Ya saya menulis. Saya bisa membuat draft di lapangan terbang, karena banyak waktu, dan juga kondisi lapangan terbang (bandara internasional) yang indah dengan taman-taman dan beraneka “warna kecantikan” (ehm...) termasuk berbagai ciptaan Tuhan yang cantik juga lalu lalang, sering menjadi trigger bagi saya untuk mencoret di bloknotes.

Tulisan saya termasuk yang tidak rapi. Terkadang langsung disalin di laptop dan idenya terus berkembang. Tulisan yang saya muat terakhir di Harian Koran Tempo Minggu, 21 Mei 2006: Catatan perjalanan, adalah hasil tulisan dari perpindahan 6 pesawat yang membosankan, dari Florida, singgah ke beberapa bandara termasuk di Narita (Jepang) dan Bandara Changi (Singapura). Saya menulis dua artikel dengan beberapa judul selama perjalanan itu.

Nah, mudah-mudahan kiat ini bisa menjadi pelajaran. Selain teman-teman bisa menjadi penulis dan bisa mengirimkan ke media, untuk mendapatkan ‘uang halal’ juga bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan melalui tulisan.


Bersambung:

Tulisan berikutnya: Bagaimana Mengirimkan Artikel ke Media?

Menik dan Lulu

Menik adalah nama boneka kesayangan Nazmi Lu’lu’ Alam (7 tahun), anak kami yang ketiga. Boneka inilah yang selalu dicarinya ketika bangun tidur sebelum menonton Spongbob dan Dora. Lulu harus mencari menik kalau mau tidur: memberinya selimut dan tidur disampingnya. Pernah suatu hari, tiba-tiba menik hilang dan dia tidak bisa tidur, harus mencari-cari boneka berambut pirang ini. Semua kakaknya mendapatkan marah, padahal dia sendiri yang menempatkan boneka itu dan terjatuh dibawah ranjangnya. Coba lihat foto ini, betapa Lulu dan Menik seperti sibling yang tidak bisa dipisahkan.




Lulu dan Menik (Foto: Fadila Maula Hafsah)

Tuesday, May 23, 2006

CERITA KAPAL NUSANTARA

Bayangkan bangsa ini berada di sebuah kapal. Kita berlayar menuju kepada sebuah cita-cita yang bernama ‘Pulau Adil dan Makmur’. Didalam kapal itu, ibarat kapal Nabi Nuh: Ada berbagai suku bangsa dan kulit berwarna warni, mempunyai ras yang berbeda dari rambut lurus hingga keriting.mata sipit hingga lebar, berkulit terang hingga gelap. Didalamnya ada pula binatang, spesies tumbuhan yang beraneka ragam, pohon-pohon yang menjulang tinggi dibawa serta, kekayaan yang dibawa oleh kapal ini luar biasa banyaknya: sehingga disebut kekayaan Megadiversity. Namun tanpa mengenal warna kulit dan potongan rambut, semua penumpang yang ada didalamnya saling ketergantungan, karena masing-masing sepakat untuk mencapai cita-cita dan kemakmuran. Didalam kapal terdapat sekat dan tingkatan serta dek-dek pembatas. Bagian paling tinggi adalah nakhoda, para muallim dan petinggi yang memutuskan kemana kapal akan dibawa.

Para penumpang kapal yang terdiri dari rakyat jelata, telah pula memilih wakil-wakil mereka yang dianggap ‘pintar pintar’ untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan peraturan dan aturan main di dalam kapal.

Menuju pantai harapan, penumpang harus mengeluarkan uang pembelian tiket, dari pembayaran itu mereka mendapatkan makanan fasilitas, dan kenyamanan yang pantas. Di dalam kapal terdapat berbagai usaha dari pedangan asongan hingga konglomerat. Didalam kapal, masing-masing mendapatkan keuntungan yang cukup, bahkan dalam beberapa sektor kapal tersebut mengekspor barang untuk kapal yang lain. Karena kapal itu masih mempunyai pohon-pohon yang bisa dijual, binatang binatang liar dapat diperdagangkan, sumber daya alam lain: minyak, batubara, dan hasil-hasil pertanian dari tanah yang subur dapat dijual dengan keuntungan yang memadai.

Dalam kapal ini, barang-barang semuanya murah karena kebijakan pemilik kapal yang baik hati, mensubsidi penumpangnya untuk memperoleh keperluan mereka.
Sayangnya, beberapa penduduk kapal tersebut ada yang bersikap tamak dan rakus. Hidup mewah, berlebih-lebihan karena mendapatkan fasilitas, bahkan mereka berbuat semena-mena menyelewengkan wewenang, mengekspor sendiri keperluan kapal: ada yang menyelundupkan minyak sehingga mencapai 8,8 triliyun pertahun. Ada pula yang ‘membawa kabur’ aset-aset kapal dengan jumlah triliyunan dan tidak mampu ditangkap. Para kelasi kapal semuanya loyo-loyo kalau menghadapi buron kelas kakap. Akhirnya pengusaha itu lalu memindahkan usahanya ke kapal tetangga dan kapal-kapal di atas angin lainnya. Sebelum kabur, tentu rampok ini menebar uang dulu untuk ‘sangu’ para punggawa penjaga pintu gerbang dan para kelasi kapal. Maling uang penumpang itu berupaya membujuk punggawa supaya menurunkan sekoci, agar dia bisa membawa kabur asset kapal pindah ke kapal lainnya.

Cara ‘rampok-merampok’ seperti ini adalah lumrah di dalam kapal, karena penjaga kapal tidak menerapkan sangsi yang tegas untuk para perampok kelas atas seperti itu. Di dalam kapal ini, belum ada sejarahnya perampok itu dihukum gantung, atau ditembak mati di depan umum karena mencuri uang penumpang! Ada yang lupa: sewaktu dilantik menjadi nakhoda, seharusnya penumpang penumpang kapal bersama-sama membuatkan peti mati, disamping pelantikan itu. Maksudnya, agar siapa saja yang korupsi berat, agar segera dikirim dengan peti mati tersebut, karena ini dianggap akan mencelakai penumpang kapal secara keseluruhan. Sebab selama ini tidak ada yang dihukum berat, paling tinggi hanya beberapa puluh tahun. Berlawanan dengan maling sandal yang diadili, atau maling sepeda motor yang dikeroyok babak belur hingga mati dan di kirim ke akhirat.

Karena agin ribut, banyak bencana dan persediaan terbatas, minyak di dalam kapal harus segera dinaikkan. Sebab menurut perhitungan para ahli ekonomi perkapalan, minyak yang digunakan oleh penumpang kapal selama ini paling murah di bandingkan dengan kapal lain. Walaupun kapal ini merupakan salah satu produsen minyak mentah, tetapi terpaksa membeli minyak dari kapal lain yang pintar mengolah minyak. Untuk memperoleh minyak guna mensuplai penumpannya, pengurus kapal harus mensubsidi dengan membeli minyak di kapal lain—yang bahan mentah dieksprornya. Penyelundupan ke lain kapal akan terjadi kalau kapal ini tidak menaikkan harga. Maka, harga minyak pun diputuskan naik. Bagian penerangan di kapal mengirim SMS: “Minyak terpaksa dinaikkan, agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Tolong bantuan awasi subsidi tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih.”

Di dalam kapal penumpang sudah mulai resah karena kebutuhan pokok melambung tinggi, rakyat kecil berebut antri uang dana langsung subsidi yang dialihkan langsung kepada mereka. Malangnya subsidi itu ternyata hanya sementara. Mualim kapal yang mengurus bagian subsidi mengatakan subsidi hanya mungkin berlaku hingga 2006.

Karena terdesak, gara-gara harga minyak mulai melambung tinggi, kebutuhan pokok yang melangit, penumpang terpaksa menjual apa saja yang ada didalam kapal, baik secara legal maupun illegal. Ada yang menjual diri, ada juga yang memperjual belikan anak-anak penumpang kepada kapal tetangga yang lebih kaya. Ada yang mencari upah di kapal lain, tetapi dengan bayaran sedikit, terkadang tidak dibayar. Karena stress banyak penumpang yang bunuh diri dan gila. Pendidikan di atas kapal carut marut. Banyak yang tidak terdidik dengan baik sehingga gampang dikelabui oleh tetangga kapal yang lainnya: asset kapal diangkut, penumpang kapal dibayar murah. Orang kapal seberang mempuyai istilah ‘keren dengan istilah konsultan’.
Karena kesulitan bahan bakar minyak, penumpang menggunakan kayu bakar untuk mamasak. Mereka kembali pada pola lama, karena energi alternatif yang diciptakan oleh para ahli dan ilmuwan kapal ternyata tidak bisa dimanfaatkan. Energi tambahan misalnya biogas, hydropower, tenaga matahari dan angin, merupakan teori-teori ‘memble’ yang tidak mendapatkan perhatian dari penguasa kapal karena tidak memdapatkan dana pengembangan yang memadai.

Sementara penumpang berebut dana subsidi hingga pingsan dan terinjak-injak, wakil-wakil penumpang yang mereka pilih selaku utusan malah mengusulkan kenaikan upah mereka. Katanya untuk penyesuaian karena bahan kebutuhan semakin naik dan ongkos bertemu penumpang—supaya dipilih kembali—memerlukan banyak dana. Padahal, rata-rata penumpang kapal sudah ‘ngos-ngosan’ mencari nafkah.

Sudah sering terjadi revolusi di dalam kapal. Penumpang ingin kehidupan yang lebih baik dan adil. Mereka mengharapkan pemimpin yang mengerti perasaan penumpang. Bisa menciptakan lapangan kerja, menciptakan keamanan dari rasa takut dan menyediakan makanan yang terjangkau harganya, menyiapkan fasilitas pendidikan yang baik, memberikan pengobatan, dan tempat berteduh yang layak.

Salam,

Penumpang kapal Nusantara.

Fachruddin Mangunjaya
http://nature-of-indonesia.blogspot.com

Friday, May 19, 2006

Diskusi Buku H2DA:Perspektif Orang Bukan Kehutanan Tentang Hutan


Bandung, 17 Mei-- Amat menarik dikatakan ditengah diskusi, bahwa buku Hidup Harmonis Dengan Alam (H2DA) merupakan buku cara pandang orang bukan kehutanan dalam memandang hutan. “Kita harus belajar, karena pesfektip kehutanan dan kebijakannya hari ini diwarnai dengan pengambilan kebijakan oleh rimbawan,” kata salah seorang peserta.

Diskusi dan bedah buku H2DA ke II, diadakan di Kampus Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (Unwim). Letak kampus yang cukup luas ini ada di Jatinangor, 500 m dari kampus Universitas Panjajaran, Bandung. Ada sekitar 70 peserta yang hadir dengan antusias hingga akhir acara. Hadir pula Prof Sutrisno Hadi mantan Rektor Universitas Mulawarman, Samarinda, Bambang Sugianto, Dekan Fakultas Kehutanan Unwim, Ir. H.Wawan Ridwan, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (pembahas), KH. Tantowi Musaddad (pembahas), mahasiswa pasca sarjana dan beberapa kepala dinas kehutanan di Kabupaten Jawa Barat.

Diskusi ini berjalan dari jam 10 hingga pukul 13.30, sangat menarik dan intens mengenai perkembangan hutan di Indonesia, kasus-kasus lingkungan dan kearifan yang harus dilaksanakan dimasa yang akan datang. Saya mengatakan buku ini merupakan upaya pencerahan bagi masyarakat Indonesia yang kemudian bisa mempelajari secara mudah track record kekayaan alam dan peristiwa lingkungan yang pernah terjadi, kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki dan apa yang telah rakyat Bangsa Indonesia lakukan terhadap alam nusantara.

Terima kasih atas bantuan Dr. Hikmat Ramdan (Pudek I Unwim), serta Charles Chairudin Tambunan dan Iwan Aminuddin dari Masyarakat Sekitar Kehutanan (MSK) Foundation, dalam mensponsori diskusi buku ini. /fm

Diskusi dan Bedah Buku H2DA:Perspektif Orang Bukan Kehutanan Tentang Hutan



Bandung, 17 Mei-- Amat menarik dikatakan ditengah diskusi, bahwa buku Hidup Harmonis Dengan Alam (H2DA) merupakan buku cara pandang orang bukan kehutanan dalam memandang hutan. “Kita harus belajar, karena pesfektip kehutanan dan kebijakannya hari ini diwarnai dengan pengambilan kebijakan oleh rimbawan,” kata salah seorang peserta.

Diskusi dan bedah buku H2DA ke II, diadakan di Kampus Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (Unwim). Letak kampus yang cukup luas ini ada di Jatinangor, 500 m dari kampus Universitas Panjajaran, Bandung. Ada sekitar 70 peserta yang hadir dengan antusias hingga akhir acara. Hadir pula Prof Sutrisno Hadi mantan Rektor Universitas Mulawarman, Samarinda, Bambang Sugianto, Dekan Fakultas Kehutanan Unwim, Ir. H.Wawan Ridwan, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (pembahas), KH. Tantowi Musaddad (pembahas), mahasiswa pasca sarjana dan beberapa kepala dinas kehutanan di Kabupaten Jawa Barat.

Diskusi ini berjalan dari jam 10 hingga pukul 13.30, sangat menarik dan intens mengenai perkembangan hutan di Indonesia, kasus-kasus lingkungan dan kearifan yang harus dilaksanakan dimasa yang akan datang. Saya mengatakan buku ini merupakan upaya pencerahan bagi masyarakat Indonesia yang kemudian bisa mempelajari secara mudah track record kekayaan alam dan peristiwa lingkungan yang pernah terjadi, kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki dan apa yang telah rakyat Bangsa Indonesia lakukan terhadap alam nusantara.

Terima kasih atas bantuan Dr. Hikmat Ramdan (Pudek I Unwim), serta Charles Chairudin Tambunan dan Iwan Aminuddin dari Masyarakat Sekitar Kehutanan (MSK) Foundation, dalam mensponsori diskusi buku ini. /fm

Saturday, May 13, 2006

SEMUA TELAH BERUBAH

Tahun 1997/98, terjadi kebakaran hebat tercatat 6.5 juta ha hutan terbakar di Kalimantan, 1.75 juta ha di Sumatera. Kebakaran itu merupakan kebakaran yang paling hebat di sepanjang sejarah. “Bayangkan bayi baru lahir hingga beberap minggu tidak bisa terkena cahaya matahari,” kata Eka Budianta, waktu itu. bercerita kepada saya. Pak Eka, didukung oleh Agua dan sejumlah perusahaan lain mengirim air minum dan masker untuk warga di seputar daerah kebakaran, teristimewa di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Kebakaran hutan adalah sesuatu yang biasa di Kalimantan dan dirasakan hampir tiap tahun. Entah mengapa. Masa lahir, bermain dan tumbuh dewasa hingga sekolah menengah atas saya berada di Kalimantan. Fenomena kebakaran hutan dijumpai setiap tahun. Sewaktu saya duduk di bangku SD dan SMP, ketika pagi, pergi ke sekolah bersaput asap, adalah hal yang lumrah. Tetapi waktu itu, kami masih bisa bernafas, hanya saja bau alang-alang dan rumput yang terbakar terasa menyengat menusuk hidung.

Ketika musim kemarau, Ibu saya sering menangis khawatir, kalau-kalau hutan terbakar di belakang rumah kami menyulut dapur. Hampir setiap musim kemarau, ada saja ‘orang iseng’ yang membakar semak dan hutan. Terkadang bukan untuk tujuan berladang, tetapi karena semata-mata iseng dan ‘gatal tangan’ ingin menyulut ilalang yang kering. Sementara air sungai menjadi kering dan berbau, kami mencari tempat mandi di sebelah hulu dimana dijumpai air bersih yang menyegarkan.

25 tahun silam, saya sangat menikmati benar hidup dipinggiran hutan di Kalimantan. Di belakang rumah kami di Kumai, sebuah kota kecil di Pesisir Kalimantan Tengah, ada Sungai kecil yang airnya dingin tetapi –seperti warna khas air di tanah Kalimantan—berwarna merak seperti air teh. Setiap pagi, masih terdengat kicauan burung murai dengan nyaringnya. Sehabis hujan reda. Burung-burung itu turun ke tanah. Mencari makan, berupa belalang dan cacing.
Di sungai, masa kecil yang menyenangkan hidup bersama alam: memancing, menangguk ikan, bermain kapal-kapalan.

Dua puluh tahun kemudian, semuanya berubah. Hutan dibelakang rumah kami telah menjadi perkampungan. Jalan-jalan telah ditembus. Tempat masa kecil berburu buah-buahan hutan dan tempat mencari sarang burung serta memasang jerat, sudah tidak ada lagi. Sebuah danau kecil yang sering saya kunjungi sebagai tempat favorit memancing ikan gabus dan tempela, sama sekali tidak terlihat bekasnya. Ibu saya pun tidak perlu khawatir rumah dan sudut dapurnya ikut terbakar, karena hutan tidak ada lagi. Semua memang telah berubah!

***

Di Jakarta, saya berjumpa Pak Eka Budianta yang menjadi Direktur Eksekutif Dana Mitra Lingkungan, aktifis lingkungan yang, menerbitkan Majalah PANCAROBA, disitu banyak aktifis lingkungan menulis. Catatan Eka dihimpunnya menjadi sebuah buku:’Eksekutif Bijak Lingkungan’ Dengan harapan buku itu bisa dibaca ketika waktu senggang para eksekutif muda dan orang awam yang interest dengan soal lingkungan. Saya senang menulis pula di majalah itu, untuk memberikan pengetahuan dan opini tentang lingkungan hidup di Indonesia. Dari tulisan-tulisan Eka Budianta, saya juga belajar banyak tentang lingkungan. Berbagi pengalaman.
Saya tidak tahu, apakah ada pengaruh dari tulisan-tulisan para aktifis lingkungan di majalah-lingkungan dengan perubahan sikap bangsa Indonesia? Terbukti banyak sekali majalah-majalah itu kemudian “mati”, termasuk PANCAROBA. Sebelumnya boleh kita hitung pula dengan tenggelamnya Majalah Suara Alam dan Voice of Nature serta Tabliod Mutiara yang sering memuat aktifitas petualangan anak-anak muda di alam. Setelah Era Reformasi pernah muncul majalah lingkungan, Ozon dan Krakatau (yang tampil mirip dengan national geographic). Pada akhirnya terbukti majalah-majalah tersebut semuanya “tenggelam”. Tidak ada peminat. Hingga hari ini, hanya majalah komunitas dan LSM saja yang masih hidup. itu pun –tentu saja –sementara mereka mempunyai dana---yang umumnya merupakan dukungan dana luar negeri--untuk mengkampanyekan pentingnya lingkungan.

Sangat menarik, majalah entertainment dan ‘gossip’ selebriti sangat digemari. Puluhan majalah hiburan ‘impor’ telah dialih bahasakan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Pada akhirnya untuk mengisi kekosongan itu ada National Geographic Indonesia (NGI) yang terbit telah beberapa volume.

Terbukti. Investasi terhadap pengetahuan tentang alam dan lingkungan Indonesia, ternyata mempunyai peminat yang masih ‘lemah’ dan sedikit. Padahal alam Indonesia sangat cepat berubah. Dalam sepuluh tahun terakhir kita semakin banyak dirundung bencana-bencana lingkungan: kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan konflik penempatan sampah. Semakin kompleks perkara lingkungan tetapi pemahaman masyarakat---tampaknya, mungkin—belum bertambah.

Majalah lingkungan boleh mati. Tapi saya memperhatikan Eka masih tetap menulis. Saya lihat ada tulisannya mengenai lingkungan di Majalah Trubus. Ada pula di beberapa media popular bukan lingkungan yang bisa ditembusnya. Saya “cukup iri” dengan Eka, karena selain sebagai sastrawan yang pandai menulis puisi dan cerpen, dia pintar pula menulis soal lingkungan. Saya berharap dia lebih arif di usianya yang ke 50, dan tetap menulis. Menceritakan kepada kami tentang lingkungan hidup, menulis cerpen dan puisi. Setengah abad “Eka Budianta”, sahabat saya. Memang perlu disadari: menurut orang bijak “semuanya pasti akan berubah dan yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.”

Tabik !

*) Tulisan ini dipublikasikan dalam Eka Budianta. Mekar Di Bumi: Visiografi 50 Tahun Eka Budianta. Pustaka Alfa Bet: Jakarta xviii+406 halaman.

Tuesday, May 09, 2006

University of Florida Conference on Religion and Nature


The Inaugural Conference University of Florida on April 6-9, 2006, was remarkable, about 145 scholars from all over the world attend the meeting, included some keys respected advocates of nature and spirituality attend as key note speakers in religion, nature and cultural science: Prof. Mary Evelyn Tucker of Harvard, Prof. Stephen Kellert of Yale and Caroline Merchant of UC Davis. Most of them are academia from recognize universities. I was quite astonish, that I am the only Indonesian attend the conference actually with specific presentation about Indonesia Moslem and Environmental Movement in Indonesia. My impression that every academic conference not likely only a field of intellectual and sharing experience and thinking but also a networking movement to further steps in the future. This was the second time for me to attend international meeting after the Research Seminar on Religion and Ecology at the Graduate, Centre for Religious & Cross-curtural Studies, Gajah Mada University, Yogyakarta, last August 2005.

Observatorium Boscha


Observatorium Bintang Boscha, Lembang Bandung merupakan salah satu tempat favorit yang bisa dikunjungi keluarga di akhir pekan. Hanya saja kompleks ini sangat terbatas bagi pengunjung dan Boscha memberikan waktu-waktu tertentu untuk ikut mengamati bintang dan planet lain bagi anak-anak sekolah. Usia Boscha mungkin sudah hampir 100 tahun, tapi gedungnya masih sama dan antic. Tempat ini seharusnya mendapatkan perhatian layak dunia ilmu pengetahuan karena bisa menjembatani keterangan mengenai ilmu astronomi dan astrofisika.

Keluarga kami mengunjungi Boscha July 2005 yang lalu.

KLINIK ORANGUTAN DI PASIR PANJANG

Bersalaman dengan orangutan semoga cepat sehat dan bisa masuk hutan. Foto: Dila Maula Hafsah





Setelah hampir lima tahun tidak mengunjungi Pasir Panjang, Pangkalan Bun Kalimantan Tengah. Ternyata kota ini benar-benar berubah. Pasir Panjang yang tadinya terletak ditengah-tengah antara Kumai dan Pangkalan Bun, kini sudah menjadi satu dan terasa sangat dekat. Kondisi kota Kumai (kota kelahiranku) biasa: masih berpasir dan kering kala musim panas. Tapi angin masih sepoi sepoi karena kota ini sangat dekat dengan teluk Kumai yang tidak terlalu jauh dari laut.

Pasir panjang adalah 10 km dari Kumai. Dulu ditempuh dengan kendaraan terasa jauh aku pernah bersepeda di kawasan ini, melewati Batu Balaman yang penuh rawa hampir dua kilometer. Juntrungannya, gantian: sepeda kita bopong, untuk menyebrangi jembatan kayu balok masih dikelilingi rawa dan masuk hutan. Di Pasir Panjang masih banyak buah duku, durian dan rambutan yang ditanam penduduk aslinya orang dayak.

18 tahun yang lalu Birute Galdikas pernah mengatakan keberatannya tentang pembukaan jalan dikampung ini kepada saya. Tetapi orang dayak di kampungnya itu menyatakan senang sekali dengan dibukanya jalan sebagai tanda ada kemajuan.

Sekitar bulan November 2004, saya mengunjungi Pasir Panjang yang kini berubah. Jangan Tanya tentang hutan yang lebat 20 tahun yang lalu. Kini sudah musnah. Kawasan yang masih utuh adalah kompleks tempat nursery orangutan rehabilitasi milik Yayasan Orangutan yang memelihara khusus merawat orangutan baik sitaan maupan yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.

Ada puluhan anak-anak orangutan disini yang perlu ketelatenan, diberikan susu, buah-buahan, dan pengobatan. Beberapa petugas secara bergantian memberikan pelatihan dan menunggu orangutan dibawah pohon, mengembalikannya kenal alam mereka. Memanjat dan memakan daun-daunan.

Betapa sulitnya mengembalikan orangutan ke alam. Mungkin jutaan dollar harus diinvestasikan untuk mengupayakan mereka kembali ke hutan. Saya dijelaskan ada orangutan yang kemudian stroke, dan lumpuh karena diperlakukan semena-mena oleh manusia, ketika ada pembukaan kebun sawit. Orangutan terdesak dan harus tergusur tidak tahu harus pulang kemana, karena hutan sudah tiada.

Saya sangat khawatir, kalau hutan masih terus dikapling dan dirambah, orangutan yang ada di klinik ini tidak akan bisa kembali ke hutan, karena hutan sebagai rumah dan tempat mereka hidup dan mencari makan, sudah hilang!

Saturday, May 06, 2006

Festival Bunga Sakura di Washington DC


Udara terasa menusuk kulit. Bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan iklim tropis, kondisi ini tentu saja agak mengagetkan karena diluar ruangan, masih terasa sejuk seperti ber AC. Suhu 10-15 derajad selsius di musim semi (spring) di Ibu kota Amerika, Washington DC ini memang dingin, tetapi masih bisa ditolerir oleh kulit coklat orang melayu seperti saya.

Pemandangan yang menjadi daya tarik yang indah tentunya di musim semi adalah bunga sakura bermekaran (cherry blossom). Bagi warga Washington saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengadakan even yang besar seperti festival bunga sakura atau cherry blossom festival. Banyak warga di luar Washington kemudian berlibur untuk melihat peristiwa ini. Oleh sebab itu, bulan April merupakan ‘peak season’ turis domestic AS datang ke DC yang kemudian memenuhi kamar hotel. Karena itulah saya tidak kebagian kamar hotel di sekitar Washington. Sebab di sekitar Washington, hotel telah di book oleh para tamu yang akan menyaksikan Cherry Blossom Festival dalam minggu-minggu awal hingga pertengahan bulan April.

Dalam sejarahnya bunga sakura yang kini jumlahnya 3,700 pohon mengelilingi Washington merupakan hadiah dari Kaisar Jepang Teno Heika tahun 1912. Sakura dikirimkan sebagai tanda persahabatan antara pemerintah Jepang dan AS, sehingga menjadi tradisi setelah berpuluh tahun kemugian kemudian bunga pohon sakura ini mekar pada saat musim semi dan menjadi daya tarik tersendiri bagi warga di Amerika.

Oleh karena itu, setiap tahun ketika mekarnya bunga sakura kota Washington menjadi ‘ajang pamer persahabatan dan festival antar bangsa. Dalam festival kali ini, Indonesia turut mengambil bagian dengan menampiklan parade kesenian tradisional, yakni Reog Ponorogo, Pencak Silat, dan Tabuik yang di bawa dari Padang, Sumatera Barat.

Dalam parade festival yang diikuti oleh Negara-negara di seluruh dunia ini, menurut Duta Besarnya yang baru Sudjadnan Parnohadiningrat, Indonesia ingin menyampaikan penghargaan kepada AS atas bantuan saat Indonesia mengalami masa-masa kesedihan, ketika terjadi Tsunami di Indonesia (Kompas 6/4).

Bila berkeliling Washington, musim semi. Anda akan melihat ‘Jepang’ di Washington karena bunga sakura bermekaran di berbagai sudut perkantoran, di bagian Timur Potomac Park , sekitar Monumen Washington. dan juga di sekitar Jefferson Memorial./Fachruddin Mangunjaya.

Tentang KH. Husein Muhammad

Ketika melihat wawancara Husein Muhammad hari ini di KOMPAS Minggu (7 Mei 2005), saya jadi ingat perjalanan bersama beliau ke Buton Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Kami mengadakan perjalanan yang kami sebut dengan Da’wah Konservasi. Perjalanan tersebut sungguh mengesankan dan singkat. kami mengumpulkan jamaah di dua masjid di Wanci, Kaledupa, sebuah Kabupaten Baru yang semula merupakan Taman Nasional Wakatobi.

Keprihatinan saya pada kawasan ini adalah seluruh kawasan konservasi –memang didalamnya merupakan kecamatan dan banya penduduk—yang menjadi enclave, menjadi sebuah kabupaten baru. Artinya, kawasan konservasi yang mempunyai potensi besar untuk kesejahteraan, bila salah urus, akan mengakibatkan kesakan karena tekanan ekploitasi yang lebih intensif guna mangejar pendapatan daerah.

Pemboman ikan dan penangkapan ikan dengan menggunakan potassium cukup marak di kawasan ini, juga penggalian batu karang yang kemudian dibuat jembatan dan rumah sehingga bisa membendung pulau menjadi perkampungan. Penduduk muslim disini sangat responsip dengan da’wah Islam. . Mereka spontan datang ke masjid ketika diadakan pengumuman. Ki Husein memberikan kuliah dia masjid dalam satu malam Setelah shalat Magrib dan Isya. Salah satunya di Kampung Bajao.

Kunjungan singkat kami memang tidak akan banyak membawa makna tanpa ada tindak lanjut. Tetapi silaturahmi kami telah membawa bekal, dari Worksop para ulama tentang Fikih Lingkungan (Fiqh-al Biah) dan sosialiasi pentingnya ummat memelihara dan ramah terhadap lingkungan. Dunia Islam terlalu tertinggal dengan ajaran dan praktik ini.

Ki Husein berdialog tentang keprihatinannya terhadap penafsiran yang tekstual terhadap al-Quran dan kitab klasik. Oleh karena itu beliau menyambut baik kitab yang saya tulis tentang Konservasi Alam dalam Islam. Walaupun beliau mengkritik otoritas saya –yang bukan orang pesantren—bisa bisanya menulis tentang Islam. Saya katakan, sebagai muslim saya ingin beribadah dan perlu landasan spiritual dalam saya bekerja sebagai konservasionis. Adalah yang saya kerjakan ini mempunyai kekuatan dalam Islam.

Saya berhujjah, ini adalah permulaan dan harus dimulai, daripada tidak ada. Kini buku tersebut—saya dengar-- mendapatkan sambutan di berbagai fakultas Islam di tanah air. Termasuk Prof. Richard Foltz, yang sekarang secara intensif mengkaji tentang ajaran lingkungan (Islamic environmentalism) di dunia Islam. Saya berharap kajian itu bisa memancing kajian lanjutan peran Islam dalam menyelematkan alam dan lingkungan.

Wednesday, May 03, 2006

Foto-foto Peluncuran H2DA

Peserta peluncuran buku H2DA, paling depan kiri Prof. Indrawati Ganjar

Saat diskusi tentang lingkungan dan konservasi alam Indonesia (tengah Dr.Ani Mardiastuti)

Peluncuran Buku: Hidup Harmonis Dengan Alam (H2DA)

Foto: Aku bersama anak-anak dan istri bersama Kartini Nurdin CEO YOI, usai peluncuran buku H2DA

Hari ini buku Hidup Harmonis Dengan Alam (H2DA) diluncurkan ditempat yang bersahaja di Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Dihadiri oleh beberapa aktifis lingkungan dari ICEL, Environmental Movement Indonesia, Pak Djuni P. yang menjadi moderator milist lingkungan yang beranggotakan 1200 member, juga teman teman dari Conservation International Indonesia Iwan Wijayanto (Dir CSD CI Indonesia) dll. Hadir pula Prof Indrawati Ganjar, guru besar mikrobiologi UI dan Prof Ani Mardiastuti yang bertindak sebagai pembanding untuk bedah buku tersebut.

Sungguh tidak disangka, buku itu mendapatkan penghargaan yang layak dari kalangan pencinta lingkungan. Ibu Ani tertarik dengan artikel “Kembali Pada Lintah” yang saya tulis pada pertengahan tahun 1990an. Dia bilang sampai membacanya dua kali.
Diskursus lingkungan tentu saja bergulir disini. Diskusi soal keprihatinan terhadap rusaknya lingkungan dan tumbuhnya kesadaran baru terhadap pentingnya hutan.
Namun dilain pihak, dikatakan kepentingan lingkungan sering kalah dengan persoalan ekonomi. Sesuatu yang klasik!

Lalu. Buku ini saya argumentasikan sebagai upaya memberikan pencerahan dan dalam rangka mengingatkan kembali pentingnya memelihara alam dan trend bersikap terhadap lingkungan sehari-hari yang kita jumpai. Sederhana saja sebetulnya. Mari berbuat… daripada tidur! Berdiam diri ataupun bekerja toh umur kita jalan terus kan.

Tabik..

Sunday, April 30, 2006

Buku Anak anak: KANCIL MILENIUM


Buku: Kancil Milenium
Fachruddin Mangunjaya, CI Indonesia, IUCN dan Yayasan Gajah Sumatera
viii+103 halaman, 21x 15 cm
ISBN: 979-99273-2-3


Kutipan Pengantar Buku Anak-anak:

Dr. Jatna Supriatna
Regional Vice President CI Indonesia

Satwa atau hidupan liar (wildlife) mempunyai peranan penting dalam ikut menyeimbangkan ekosistem. Makhluk-makluk tersebut mempunyai fungsi besar menjaga alam supaya tetap lestari, misalnya berbagai jenis burung rangkong berperan dalam menyebarkan biji-biji tanaman yang mereka makan di hutan. Dengan demikian manusia terbantu secara alamiah menanam biji-biji tersebut di berbagai kawasan dimana burung tersebut menjatuhkan biji sisa makanan mereka. Begitu pula kelelawar, selain sebagai penyebar biji namun juga sebagai penyerbuk. Berbagai jenis buah-buahan di hutan termasuk durian penyerbukannya dibantu oleh kelelawar buah yang seringkali kita anggap sebagai hama.

Tumbuhan dan satwa liar di hutan mempunyai peranan masing-masing, oleh karena itu perlu bahasa yang sederhana untuk mengajarkan pengetahuan itu kepada pelajar dan anak-anak kita pada tingkat tertentu. Cerita Kancil Milenium ini merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan pelajaran terhadap perilaku binatang (animal behavior) yang hidup di hutan tempat mereka tinggal. Cerita disini dibuat sebagai fiksi tetapi berlandaskan penelitian ilmiah yang telah dibuktikan. Jadi,sayang sekali satwa-satwa yang kita miliki—yang merupakan makhluk Tuhan juga—apabila kemudian menjadi punah tanpa diketahui apa peranan mereka dan bagaimana kehidupan mereka sebenarnya dalam membantu kehidupan manusia.

Selamat membaca.

Buku: HIDUP HARMONIS DENGAN ALAM


Judul Buku: Hidup Harmonis Dengan Alam
Esai-esai Pembangunan Lingkungan, Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia/
Fachruddin Mangunjaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2006
xxii+302 hlm;14,5 x 21 cm
ISBN 979-461-525-0

Sebuah buku yang menjadi cermin perilaku bangsa Indonesia terhadap lingkungan dan alamnya.

Setelah bencana tsunami 26 Desember 2004, banyak pakar menyadari betapa penting hidup harmonis dengan alam. Sandi-sandi alam sebelum tsunami: burung yang terbang berbalik arah, dan serangga yang memanjat keatas gedung bertingkat, menjadi indikator alami akan terjadi bencana besar. Banyak orang lalu menyesal mengapa hutan bakau telah tiada, padahal vegetasi ini mampu turut menghambat—setidaknya mengurangi—gelombang tsunami yang dahsyat. Kita hidup dalam sebuah ciptaan Tuhan yang lebih besar yaitu alam semesta, dan manusia adalah salah satu ciptaaNya yang kecil. Lalu mengapa alam menjadi rusak? Seharusnya manusia mampu hidup harmonis dengan alam. Lalu, apakah selama lima belas tahun terakhir lingkungan hidup dan konservasi alam Indonesia mengalami kemajuan?Mengapa hampir setiap tahun negeri ini dirundung bencana lingkungan: kekeringan, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan? Apakah bangsa Indonesia termasuk yang tidak perduli terhadap lingkungannya?Mungkinkah bangsa ini akan collapse, karena sumber daya alamnya habis dan lingkungannya rusak tercabik-cabik. Buku ini mencatat track record peristiwa-peristiwa lingkungan bangsa Indonesia dan bagaimana seharusnya sikap kita.


“Buku ini bagus dibaca oleh seluruh komponen, yang cinta pelestarian satwa langka yang hampir punah. Bencana lingkungan yang menimpa Indonesia dapat dicegah bila banyak insan mau peduli dengan masalah lingkungan. Fachruddin Mangunjaya adalah sedikit dari penulis yang hadir menggugah masyarakat dengan karyanya menuntun kita untuk peduli pada lingkungan hidup.”
---Angelina Sondakh, Anggota DPR-RI, Ambassador Orangutan OUREI (Orangutan Republic Education Inivitative).


“HIDUP HARMONIS DENGAN ALAM merupakan referensi penting bagi Bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai musibah banjir, tanah longsor bahkan tsunami.”
---Prof. Dr. Ir Hadi S.Alikodra,
Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

“…buku ini merupakan sumbangan yang baik bagi mereka yang kurang peduli untuk menjadi sadar tentang persoalan lingkungan. “
---Dr. Tony Whitten
Senior Biodiversity Specialist
The World Bank


“Sebuah buku yang mengupas masalah lingkungan hidup Indonesia secara lengkap. Pembagian bab memudahkan pembaca. Bahasanya mudah dimengerti.”
---Diah Purnomowati,
Redaktur Eksekutif KORAN TEMPO

“Buku ini berisi ulasan mengenai hal-hal yang sangat relevan dan dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tidak banyak penulis yang mampu menterjemahkan pengetahuan ilmiah kedalam tulisan yang ringan dan enak dibaca. Masalah lingkungan dan keanekaragaman hayati yang rumit menjadi mudah difahami melalui tulisan Sdr. Fachruddin Mangunjaya ini.”
---Prof. Ani Mardiastuti, PhD.
Guru Besar IPB dan Staff Ahli Yayasan Kehati, Jakarta

Friday, April 28, 2006

BUKU ORANGUTAN PESTA BUAH DURIAN

Peluncuran Sempena Pekan Peduli Orangutan bersama MS Kaban, Menteri Kehutanan RI


Book Launching Buku Pengetahuan Populer Anak

ORANGUTAN PESTA BUAH DURIAN’

Wahyu Media, Jakarta
Cetakan Pertama Oktober, 2005


“Asyik..., aku mau menanam biji durian,” gumam Pong-pong.
“Ibu, kak Pigmi, lihat ini!” teriak Pong pong meminta perhatian sambil melempar biji-biji durian yang daging buahnya telah habis dilumat.
“Pong-pong mau mananam durian!”
“Aku juga ingin menanam!” sahut Pigmi sambil melempar biji durian dan kulitnya ke tanah. (hal 23)

Banyak orang yang belum menyadari pentingnya peranan ekologis hewan terancam punah: orangutan. Padahal keberadaan primata besar yang hanya ada di Indonesia dan Malaysia ini sangat berjasa dalam menjaga dan merawat ekosistem termasuk sebagai penyebar biji-bijian kayu-kayu bernilai ekonomi penting di belantara hutan tropis. Beberapa spesies kayu meranti (Dipterocarpaceae) yang menjadi bahan baku bangunan, mempunyai buah-buahan dan bijinya ditebarkan orangutan sehingga pepohonan tersebut menjadi terdistribusi dengan baik dan tumbuh subur.

Cerita ilmiah inilah yang ingin disampaikan oleh penulis buku ini. “Ini merupakan cara perkenalan dan pendidikan dini untuk memahami kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia,” kata Fachruddin Mangunjaya , penulis yang juga bekerja di lembaga internasional konservasi alam, Conservation International Indonesia. Jadi buku cerita ini dibuat dengan gaya tutur sederhana, dalam bentuk fabel ilmiah dibuat berdasarkan fakta-fakta sains yang dijumpai oleh para peneliti di lapangan.

Dr. Seto Mulyadi (Kak, Seto) Ketua Komnas Perlindungan Anak, menyambut baik terbitnya buku yang memberikan pendidikan tentang kekayaan satwa Indonesia ini: “Anak-anak memiliki naluri belajar yang sangat tinggi, sejauh kegiatan belajar itu dilakukan dalam suasana bermain dan menyenangkan,” ujar Kak Seto. Oleh karena itu buku ini selain memuat cerita fiksi ilmiah, juga menyediakan halaman interaktif seperti mewarnai, latihan berhitung dan melatih motorik anak untuk menjawab bebarapa pertanyaan tentang satwa yang diceritakan. “Buku ini mengajak anak-anak untuk lebih memahami kehidupan orangutan di alam bebas, menghargai binatang langka ini, dan akhirnya ikut melestarikan kehidupannya agar tidak punah dimasa yang akan datang.” kata Kak Seto.


Buku ini merupakan serial popular anak anak tentang hewan langka buku yang telah pernah terbit adalah: Keluarga Gajah (Maret 20005), dan menyusul akan terbit berjudul: ‘Harimau-Harimau Terakhir’, Owa Jawa yang Setia dan ‘Badak Tidak Kembali’.

Komentar: Komentar lain dalam pernyataan pers hari ini:

"Kehadiran Buku ini merupakan sebuah angin segar bagi dunia pendidikan anak-anak kita, karena akan memberi wawasan yang lebih komprehensif pada anak-anak, khisinya pemahaman dan pengetahuan tentang keberadaan orangutan sebagai primata yang harus kita lindungi bersama (Angelina Sondakh, Ambassador Orangutan Republik, Anggota DPR RI)

" Kami senang membaca buku seperti ini yang menjelaskan orangutan dan keadaannya kepada anak-anak di Indoensia agar mereka mengerti dan peduli terhadap Kera Besar ini." (Gary Saphiro,PhD. Chairman, Orangutan Republik Education Initiative)

Monday, April 24, 2006

My New Books

I am glad to announce that I just published two tittles of Books:

1. Kancil Millenium (Conservation International Indonesia and YaGaSu, April2006) 108 pages.

2. Hidup Harmonis Dengan Alam(Yayasan Obor Indonesia, March 2006) 301 pages.

The first book is published co sponsored by CI in collaboration with YaGaSu for the Awareness of Children in Nangroe Aceh Darussalam (NSD), (You can get it free in CI Office Jl. Pejaten Barat 16 A, Jakarta Selatan.)

The book Hidup Harmonis still not available for free, but you can get at the close book store in Jakarta. But if you wish to have a copy you may attend to the book launching(date and place will be announce soon) at the May 3 2006.

Please contact:

Yayasan Obor Indonesia
yayasan_obor@cbn.net.id
www.obor.or.id

Saturday, April 22, 2006

Hari Bumi 2006, Mari Menanam Pohon

Untuk pertama kalinya Hari Bumi Internasional diperingati di Indonesia dihadiri Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menhut dan Menteri KLH. Diselenggarakan disebuah lapangan Golf Kota Baru Kemayoran yang asik tempatnya. Ada ribuan orang yang hadir untuk sekaligus mencanangkan Gerakan Indonesia Menanam yang diselenggarakan oleh Dephut, dengan menghadirkan vokalis terkenal Iwan Fals. Semua orang merasa terhibur.

“Kalau melihat ini, saya sedih,” kata Ibu Ani Mardiastuti, mengingat bahwa lapangan golf ini, tadinya merupakan hutan mangrove yang dikonversi. Ibu Ani Mardiastuti, kini seorang guru besar IPB, yang bercerita bahwa, dia pernah ‘kalah’ memperjuangkan sisa mangrove yang ada di pinggiran Jakarta ini, karena beliau menjadi peneliti dikala itu.
Ironinya, beberapa tahun kemudian bangsa ini mencanangkan penanaman pohon dikawasan yang telah ditebas hutan alamnya, dibawah langit mendung polusi Jakarta.

Saya melihat masih ada burung-burung yang kembali ke kawasan ini untuk tetap mencari makan, karena kawasan ini sangat dekat dengan teluk Jakarta. Entah makanan mereka enak atau tidak ya, sebab Kota Kemayoran tampaknya tidak menyisakan habitat untuk mereka. Karena tempat itu kini telah menjadi lapangan golf.

Saya bertemu Erna Witoelar yang bercerita tentang what next dengan Piagam Bumi. Katanya pantasnya piagam bumi bisa diadopsi sebagai dasar kerangka untuk membuat PERDA, Corporate Responsibility Statement, Visi NGOs, Sekolah yang diharapkan bisa mempengaruhi sikap dalam praktik sehari-hari dalam berorganisasi. Sebuah dokumen yang dibuat dalam dua belas tahun menyertakan konsultasi public yang panjang, sayang sekali jika tidak dihargai.

Wednesday, April 19, 2006

Berperahu Menyusuri Santa Fe River

Santa Fe River merupakan tempat keindahan alam yang mengesankan, di Kawasan Utara Florida. Tempat ini mempunyai mata air yang terus mengalir dari ke mengaliri kawasan lainnya.

Setelah penat selama tiga hari mengadakan sebuah konferensi akademik di kampus University of Florida Gainesville, sasaran terakhir prosesi penutupan adalah jalan-jalan di alam: acara berperahu menyusuri Santa Fe River.
Florida merupakan salah satu Negara bagian AS yang mempunyai banyak sumber mata air (springs). Sumber mata air ini menjadi bagian yang menciptakan air bagi anak-anak sungai yang mengalir ke beberapa bagian Negara itu. Karena sumber mata air yang besar, terkadang mata air yang jernih ini menyembul keluar menimbulkan arus pusaran air yang cukup kuat dan mengalir mengairi sungai. Mata air ini terdapat di dataran rendah dan mengalir tidak terlalu deras. Dari kawasan seperti inilah didapat sumber air bersih (water spring) yang mempunyai kandungan mineral yang menyehatkan.
Berperahu di tempat ini hanya menuruti arus yang tenang sambil menikmati alam sekitar. Berbeda dengan apabila kita berperahu di kawasan pegunungan yang terkadang membahayakan dan harus berpelampung, di Sungai Santa Fe relatif datar dan arusnya pun tidak berbahaya, sehingga berperahu santai dapat dilakukan sepanjang sungai.

Kampus University of Florida, Gainesville
Santa Fe River, tidak jauh dari keramaian kota. Tiga puluh lima menit dengan kendaraan (mobil) dari kampus University of Florida. Sebagaimana kehidupan Negara-negara maju lainnya di berbagai perkotaan di Amerika, Santa Fe merupakan salah satu tujuan wisata yang unik karena kota ini selain mempunyai alam yang masih terpelihara dengan baik, juga hutan yang dan tata kota yang tertata rapi. Santa Fe merupakah daerah pertanian dengan pemandangan pertanian yang cukup luas.
Sepanjang jalan bisa menikmati pemandangan ranch peternakan sapi dan kuda ala Amerika. Juga pemandangan hunian perumahan yang rata-rata mempunyai halaman sangat luas dan tidak berpagar.

Kampus Universiti of Florida yang luasnya kurang lebih empat kali tiga kilometer dengan bercampur dengan kota kecil, Gainesville. Ada 52 ribu mahasiswa dari tingkat sarjana muda hingga doktoral yang belajar di University of Florida. Belum termasuk dengan staff civitas akademis University of Florida. “Ini merupakan salah satu dari top 50 besar kampus yang ada di Amerika,” kata Kris McCormick yang membawa saya berkeliling melewati kampus yang luasnya sama dengan satu kecamatan ini.

Jadi kota Gainesville memang merupakan kota universitas dan berpenduduk jarang. Keseluruhan penduduknya hanya 250 ribu orang. Tidak heran kalau anda berjalan kaki di kompleks universitas hanya bisa menemukan ada satu dua orang dijalan. Tentu saja mereka dengan kesibukan masing-masing yang kadangkala ‘ogah’ ditanya karena terburu-buru waktu. Tetapi tidak jarang pula banyak yang bisa melayani pertanyaan dengan ramah, apabila mereka cukup mempunyai waktu.

Menyusuri Santa Fe River
Kami menggunakan jasa Santa Fe River Canoe Outpost of High Srpings, Inc. Disini telah tersedia puluhan perahu yang terbuat dari aluminium yang dirancang khusus untuk menyusuri sungai. Grup kami terdiri dari dua puluh orang dan menyewa perahu itu seharga 20 dollar untuk satu orang. Perjalanan terlebih dahulu mendapatkan pengarahan, sambil masin-masing kelompok kendapatkan ‘plastic bag’ untuk menampung sampah, supaya tidak membuangnya disembarang tempat di sungai. Masing-masing individu yang tertarik bisa mengambil fotokopi peta yang tersedia di meja tour guide sebagai pedoman menyusuri sungai. Tour guide tidak lupa memberikan nasihat untuk menggunakan pelampung bagi masing-masing pendayung. Walaupun tidak terlalu ditekankan karena sungai mengalir dengan perlahan dan cukup dangkal. Tetapi pemilik tempat piknik ini tetap menyediakan pelampung penyelamat dan menyarankan kepada masing-masing peserta piknik untuk menggunakan pelampung.

Perjalanan dimulai dengan mendayung ke hilir mengikuti arus. Perjalanan akan have fun selama 3 jam dengan tujuan terakhir di Rum Island yang berjarak sekitar 7 mil. Kondisi Santa Fe River memang unik, warna airnya bening tetapi karena telah banyak zat organik lain, sungai menjadi agak coklat seperti kopi. Satwa yang pertama kami temukan adalah kura-kura Amerika yang bentuknya sama dengan kura-kura di Kalimantan tetapi mempunyai tiga garis-garis hijau di pipi. Sungguh unik-kura-kura disini, tidak terlihat takut dengan kami yang berdayung. Mereka nangkring diatas dahan-dahan mati yang menyembul ditengah sungai.“Lihat itu, satu, dua..14,17,21…banyak sekali,” kata Karsten Otto (11 tahun) yang menjadi pendayung saya di bagian depan.

Saya memang ingin menikmati keadaan sambil memotret, jadi hanya mengikuti keluarga Staphen Otto (43 th), yang ikut mendayung dibelakang saya. Staphen mengerti kalau saya adalah pendatang yang jauh dari Indonesia dan ingin mengabadikan foto-foto. Jadi setiap ada pemandangan menarik dimana kemera dibidikkan, dia akan menahan laju perahu. “Jangan lupa kirim foto-kura-kura itu lewat e-mail,” katanya mengingatkan.

Kami mendayung kehilir, tetapi Staphen ternyata belum terbiasa mengemudi, sehingga perahu kandas di bagian sungai yang dangkal. “Hoi, kandas,” Karsten berteriak. Beberapa menit kami herus berhenti sehingga tidak bisa bergerak dan mencoba menggoyang perahu dari aluminium itu karena tersangkut batu cadas di bagian sungai yang dangkal.
Air sungai yang dingin mengalir di Santa Fe ini menjadi daya tarik keluarga di kawasan selatan Amerika untuk pergi berlibur. Kawasan High Spring, sebagiannya memang menjadi milik pribadi. Tetapi di bebarapa bagian memang merupakan kawasan lindung (protected zone) yang dijaga oleh pemerintah Negara bagian. Tentu saja tidak ada kawasan pertanian di pinggiran sungai. Jadi semata-mata hutan sangat terpelihara sebagai sumber air. Selain bisa mandi sumber air sungai, di jarak tertentu juga siapkan tempat pemberhentian, untuk menikmati makan bekal makan siang.

Menariknya sepanjang sungai kami menemui berbagai jenis hidupan liar yang berkeliaran. Antara lain seekor alligator alias buaya, sepasang burung merak America (turkey), bangau biru (blue heron), burung elang, raja udang dan burung hantu yang nangkring dengan tenangnya di pinggiran sungai tanpa merasa terganggu. Kalau melihat dinamika flora-fauna yang ada memang mirip dengan bila kita menyusuri kawasan hutan bakau (mangrove). Tetapi hutan yang kami telusuri merupakan hutan sub tropis Amerika yang jumlah spesiesnya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan beberapa kawasan tropis.


Lily Spring
Perjalanan berperahu, dan rombongan yang berjumlah delapan perahu singgah sebentar di Lily Spring. Sebuah lokasi membentuk teluk (simpangan) mata air yang kemudian mengalir menjadi anak sungai. Disini kita bisa leluasa menceburkan diri untuk mandi air bersih dan menyegarkan. Tempat ini memang disapkan untuk piknik, ada toilet, beberapa shelter untuk istirahat bersama keluarga, juga disediakan tempat barbeque untuk membuat daging panggang atau sate. (bersambung ah.. soalnya sedang dikirim ke KORAN belum dimuat nanti di post lagi ya)

Menjenguk Kerajaan Penyu

OlehFachruddin Mangunjaya

Dikutip dari Sinar Harapan

Udara cerah di Tanjung Redep. Sesaat saja embun pagi yang mengambang di Sungai Segah telah hilang ditelan terik matahari. Saya melangkah ke dalam perahu mesin yang akan membawa ke Pulau Derawan. Perahu ini adalah milik seorang pengusaha kolektor telur penyu “legal” yang diberi izin oleh pemerintah Daerah Kabupaten Berau, untuk panen telur penyu di beberapa kepulauan yang ada di kawasan Berau seperti Pulau Sangalaki, Pulau Semamak dan Maratua.Perahu mesin (kelotok) merupakan sarana paling murah yang bisa ditumpangi orang yang mempunyai kantung pas-pasan. Memang sangat jarang perahu yang datang ke Kepulauan Derawan ini. Sedangkan wisatawan mancanegara –yang biasanya turun dari pesawat di Lapangan Terbang Kalimarau, Tanjung Redep —langsung menuju Pulau Derawan dengan menggunakan speed boat yang telah ditambatkan di pelabuhan khusus. Dengan menggunakan speed boat, ke P. Derawan hanya memakan waktu dua hingga tiga jam. Sedangkan dengan perahu motor, bisa dicapai setelah tujuh jam. Namun, saya tentu saja beruntung, menggunakan perahu motor sekaligus bisa menikmati udara segar dengan perahu yang secara perlahan juga bisa menikmati pemandangan serta flora fauna yang ada di kawasan sungai. Saat perjalanan misalnya, saya bisa sambil mengamati burung-burung raja udang yang bertebangan di pinggiran sungai yang luasnya sekitar satu setengah kilometer hingga dua kilometer itu. Menurut Pak Sofyan, salah seorang tokoh aktivis lingkungan di Kabupaten Berau, disepanjang sungai itu bila beruntung juga ada ditemukan kera berhidung mancung (bekantan). Di Kabupaten Berau, menurut laporan terakhir The Nature Conservancy, ditemukan populasi baru orangutan, yang tadinya diduga telah punah.Tentu saja saya bisa mempunyai catatan tersendiri mengenai perahu yang saya tumpangi. Anda mau tahu? Menurut cerita Amir, perahu yang dikemudikannya itu akan mengangkut sekitar antara 100.000—200.000 telur penyu yang diambil setelah beberapa hari telur itu dikumpulkan di pulau-pulau Maratua, Derawan, Semamak dan Pulau Sangalaki. Pulau pulau kecil di Kabupaten Berau ini surga bagi penyu untuk bertelur. Di Pulau Sangalaki misalnya apabila musim penyu bertelur dapat dijumpai ratusan penyu yang mendarat kemudian bertelur di pulau tersebut. “Sekali bertelur jumlahnya antara 80-200 biji,” kata Amir. Bisa dibanyangkan bila rata-rata ada 50 penyu yang bertelur, maka akan ada 4000 hingga 10.000 telur yang dipanen. Maka kalau satu pekan berarti 70.000 telur yang akan terkumpul. Kalau di Pulau Derawan hanya dua atau tiga ekor penyu yang bertelur setiap malam, tapi di Pulau Sangalaki dijumpai rata-rata 30 ekor penyu yang bertelur setiap malam.Pengumpulan telur itu dilakukan di beberapa pulau setiap malam, langsung setelah sang penye bertelur. Tidak heran Pemerintah Daerah Kabupaten Berau melakukan lelang pada para kolektor telur penyu di pulau ini setiap tahun. Tahun ini dilakukan lelang pulau tempat bertelur penyu tersebut seharga lebih dari satu milyar sebagai sumber pendapatan asli daerah Kabupaten Berau. Di Kalimantan Timur telur penyu sudah menjadi santapan istimewa dalam setiap pesta. Karena telur ini dipercaya mempunyai khasiat sebagai aprodisiac “obat kuat”. Itu sebabnya ketika sebuah kapal penampung telur penyu tiba di pelabuhan kabupaten, para pengecer telah siap menyalurkan telur-telur tersebut ke pasar bebas. Tidak heran kalau berada di sepanjang pinggiran Sungai Mahakam Samarinda, Anda akan menemukan berderet-deret para pengecer telur penyu yang dibawa dari Berau.Pemungutan telur inilah yang menjadi kontroversi di antara para pelestari lingkungan dan pemerintah daerah. Sementara para LSM memprotes pemungutan telur tersebut, karena akan mengganggu kelestarian penyu itu sendiri, sementara Pemerintah Daerah memasukkan kekayaan laut itu sebagai program pendapatan asli daerah yang tidak boleh diabaikan. Namun pemerintah Kabupaten Berau bukan tidak sadar akan hal itu, Pemda mensyaratkan setiap pemanen agar menyisakan telur yang mereka ambil untuk khusus ditetaskan. Yang dipertanyakan adalah, sejauh mana kontrol dilakukan dan keberhasilan penetasan itu bisa berlangsung dengan baik.Kerajaan Penyu dan Ikan KarangSampai di Pulau Derawan sudah menjelang sore. Saya mencari penginapan yang lumayan murah. Di sini memang banyak rumah-rumah yang disiapkan penduduk sebagai “home stay” yang bisa dibayar antara 30-40 ribu rupiah per malam. Mau yang lebih mahal pun ada, bahkan cottage telah tersedia dengan tarip dolar AS. Baru keesokan harinya saya berkesempatan melihat pantai. Air Pulau Derawan memang sangat jernih. Jelas sekali kalau Anda duduk di ujung jembatan yang mengarah ke laut, terlihat penyu berseliweran dengan jinaknya, berenang di seputar jembatan. Bahkan ada yang berkejar-kejaran. Laut yang bening seperti kolam renang yang transparan, memberikan keasyikan pada mata yang memandang.Saya lihat banyak pencinta olahraga selam, terutama berkebangsaan Jepang dan Australia berkunjung ke tempat ini. Pulau-pulau ini terletak di Selat Sulawesi –yang masuk bagian yang masih berdekatan dengan perbatasan Malaysia itu menyimpan keindahan bawah laut yang menakjubkan. Bila Anda sempat menyelam atau mengambang di permukaan pantai yang bersih dengan menggunakan alat “snorkel” terapung di atas terumbu karang Pulau Derawan, Anda pasti dapat menjumpai Penyu yang cukup jinak berkeliaran sekeliling Anda. Di samping itu jika menyelam di laut yang lebih dalam, Anda akan berjumpa dengan ikan barracuda, ikan-ikan hias, dan ribuan ikan terumbu karang beriringan simpang siur di kedalaman laut. Dr. Carden Wallace dari museum tropis Queensland, Australia pernah meneliti kekayaan laut Pulau Derawan dan menjumpai lebih dari 50 jenis Arcropora (hewan laut) dalam satu terumbu karang. Tidak aneh tempat ini sudah dikenal di mancanegara dan cukup popular di kalangan para penyelam profesional maupun yang amatir. Di Pulau Derawan, saya mencoba mengelilingi pulau yang tidak luas itu. Ada suatu yang sangat mengganggu di sini. Salah satunya pendirian landasan helikopter yang dibuat oleh PT Kiani Kertas Pulp and Paper, sejak zaman pemerintahan Soeharto. Landasan itu menutup ratusan meter luas pinggiran pantai yang merupakan habitat penyu bertelur. Helipad ini memang pernah mendapat kritikan dari beberapa LSM karena mengkhawatirkan pembangunan itu akan mengganggu penyu yang ingin bertelur. Tapi nyatanya pagi itu, saya melihat jejak penyu yang melimpasi beton itu, menuju suatu tempat. Mungkin mereka tidak perduli lagi tanah biasanya tempat mereka bertelur telah menjadi keras. Ketika terus saya telusuri, jejak itu malah menuju pada satu tempat persis di sebelah sebuah cottage. Ini artinya penyu sudah tidak lagi perduli –dan merasa tidak terganggu –untuk mencari tempat yang nyaman meletakkan telurnya.Penyu dapat Anda saksikan hampir setiap malam naik ke darat dan bertelur di samping cottage, atau tidak seberapa jauh dari pelabuhan tempat Anda mendarat ketika berkunjung di P. Derawan.Pulau Derawan memang lebih dikenal di luar negeri dibandingkan negerinya sendiri. Betapa tidak? Travel dari Jepang “tembak langsung” dari Tokyo atau Nagoya, lalu ke Singapura atau Sabah, langsung ke Balikpapan dan kemudian ikut pesawat kecil ke Tanjung Redep, yang ada di Kabupaten Berau. Beberapa wisatawan asing memang memanfaatkan khusus untuk hobi menyelam, karena tempat ini merupakan kawasan terbaik untuk olahraga selam. “Pulau ini merupakan tempat hunian penyu terbanyak di dunia,” ujar Mr. Sergei, seorang pensiunan guru bahasa Perancis yang telah beberapa kali datang berlibur ke Pulau Derawan. “Saya baru saja menyelam dan ikut mengiringi seekor penyu pergi ke tengah laut,” kata Ms.Dianne istri Sergei. Dianne adalah seorang instruktur selam, dia mengajarkan selam secara profesional kepada orang atau institusi yang ingin mengajarkan dasar-dasar menyelam. Kedua orang ini secara khusus berlibur karena Pulau Derawan relatif tidak banyak dikenal dan bukan merupakan sasaran wisata yang ramai. “Kami suka di sini, tidak banyak orang,” katanya.Sebagai pulau yang terpencil dan belum banyak dikunjungi wisatawan, keadaan pulau masih sangat nyaman. Beberapa penginapan itu juga mempersiapkan alat untuk penyelam amatir maupun profesional. Untuk yang profesional biasanya dapat menyewa peralatan yang disediakan oleh Derawan Dive Resort dengan tarif yang dapat dinegosiasikan. Sebenarnya kalau di Pulau Derwan saja, drama alam kalau belum puas untuk dinikmati, Anda dapat meninjau juga pulau yang lainnya misalnya: Pulau Sangalaki, Maratua, dan Pulau Kakaban yang mempunyai keunikan tersendiri. Pulau Sangalaki misalnya, mempunyai populasi ikan pari biru (Manta Rays) yang unik, yang lebarnya dapat mencapai 3,5 meter. Kalau Anda beruntung, dapat juga menjumpai Pari Hitam dengan lebar 6 meter. Sedangkan Pulau Kakaban mempunyai keunikan yaitu berupa Danau Prasejarah, yang ada di tengah laut, satu-satunya ada di Asia (lihat boks: “Danau Laut Berusia 21 Ribu Tahun”).***Penulis adalah pencinta lingkungan, mahasiswa Program Pascasarjana UI.

My Profile



Fachruddin M Mangunjaya
fmangunjaya@yahoo.com





Environmentalist and Independent consultant.Lecturer at Universitas Nasional, Fellow The Climate Project Presenter. Graduated with a bachelor’s degree from the Faculty of Biology at the National University (UNAS) in Jakarta, and master degree in conservation biology at the University of Indonesia, and PhDfrom Post Graduate Program Environmental Management and Natural Resouces (PSL), Bogor Agricultural University. He is very interested in bringing religion to bear to help conservation goals. One leading eco-activist in the Muslim world and elected as one of four Muslim Eco-Warrior. A member of the Forum on Religion and Ecology and International Society for the Study of Religion Nature and Culture (ISSRNC), environmental journalist and columnist. Treasurer Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin). Adisory and Founder of Borneo Lestari Foundation, Central Kalimantan. He also serves as executive editor of Conservation International Indonesia’s TROPIKA Indonesia Magazine. Editor and Author of several books: Konservasi Alam Dalam Islam -Nature Conservation in Islam (YOI, 2005), Hidup Harmonis Dengan Alam (Living Harmoniously with Nature), -YOI 2006, Menanam Sebelum Kiamat (co Editor), -(YOI 2007), Editor Fiqh al Biah (Fikih Lingkungan), (INFORM 2005) Bertahan Di Bumi: Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim (YOI 2008) and several children books: Keluarga Gajah, Orangutan Pesta Buah Durian dan Kancil Millenium. Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi (YOI 2009), Islam Peduli Lingkungan, Suplemen Modul untuk SMK/SMK/Aliyah, ditulis bersama Agus Rahmah, Asep Hilman Yahya dan M Abdullah Darrasz (Ed)(Ma'arif Institute Jakarta). He has authored more than 200 articles for popular science on environment and conservation in the national Indonesia media.


Media coverage:
Features, Cerita Perjalanan:

PROJECT:


LECTURES:


PUBLICATIONS:

  • Books
  • Journal
  • Popular articles
  • Paper
  • Presentation  check here
VIDEO CHANNEL