Thursday, October 23, 2008

Presentation at CASAW University of Edinburgh



To me its a previlage to deliver a presentation about Islam and Environmental movement in Indonesia at the Centre of Advance Study for Arab World or Al Markaz al Dirasah Al Mukadamiyah li Alam al Arabiy (CASAW) at the University of Edinburgh. Even thoungh quite few people coming (around only 10) but proudly the study was thanks me regarding they are hosting for the first time on this kind of topic.

There must be a conciousness of Indonesia, because the country is very important in term of the largest population of embranched muslim in the world as well as there a growing attention to the environmental problems in the country. I believe , there is rather an un explored dicipline to understand Islamic Ethic for the environment, as it being undestood by many Islamic schoolars at the academic levels. But unfortunately, environment need a real praxis actions in the field, theory is not enough of course in respond the current exacerbated situation of greedy behaviour of capitalism economy.


What I am doing in partnering with ulama' in Indonesia, being honest, is only a first start and suppose to be a scaling up to this new invention of approach for the environment. I believe one time, there will be a 'change' if there are, collective conciousness about the Islamic teaching in environment and the growth spiritual intention that as human being, a Muslim not only bestowed by the wise environmental Islamic teaching, but also their piety will growingly if Muslim understand that whole creation is praise to GOD!

Wednesday, October 22, 2008

Benarkah Islam Akan Bangkit dari Eropa?



Ketika tiba di Birmingham hari Senin dan Selasa (20-21 October) saya merasa surprise sebagai seorang muslim. Negeri ini dihuni oleh 50% muslim, dan pagi-pagi ketika Daud mengantar saya ke kantor IFEES saya menyaksikan banyak sekali masjid yang ada di Birmingham. Walaupun banyak pendatang, mayoritas kegiatan disini dilalukan seperti suasana yang Islami, seperti restoran Islam dan banyak wanita-wanita yang berjilbab bahkan pakai cadr di jalan raya. Datang agak malam di Birmingham, dinginnya mungkin sekitar 10 derajat, ini menjelang autum atau musim gugur di UK. Jaket kulit yang kukenakan terasa tidak cukup, bahkan pakai sarung tangan, yang biasa kupakai untuk naik motor--dari kulit--dingin masih masuk juga, dan terpaksa dimasukkan lagi ke kantor baju kulit, ditambah topi kupluk warna coklat pembelian dari istri di Jakarta!



Rupanya teman-teman Muslim di Birmingham sudah kenal saya dari pembicaraan tentang pekerjaan saya dengan Islam dan Lingkungan di Indonesia. "Fachrudd...in, nama yang tidak asing, dan selalu kami dengar dari Sidi Fazlun," kata Shabas Mughal yang menjemput saya. Shabas dengan mobil Audinya meluncur dengan kencangnya. Dia generasi kedua di Inggris, bapak Ibunya hijrah ke tempat ini tahun 50an dan sudah menjadi warga negara Inggris. Mughal berasal dari Kasmir, India. Memperhatikan Shabas, mengingatkan pada penguasa Sultah Shah Jahan, penguasa Mughal India yang mendirikan Taj Mahal, karena tirus muka, tipe jambang dan hidung mancungnya itu mengingatkan saya pada wajah raja paling romantis didunia itu. Anda tahu, Shah Jahan mendirikan Taj Mahal untuk mengenang istrinya yang meninggal ketika melahirkan, saking cintanya: maka didirikanlah museleum (kuburan) Taj Mahal yang cantik dan merupakan salah satu keajaiban dunia.




India menjadi penduduk muslim kedua terbesar setelah Indonesia, tetapi negeri itu tidak menjanjikan untuk sebagian orang hidup lebih baik, dan kebanyakan mereka pergi ke Eropa dan Amerika, dan sebagian lagi tentu menjadi warganegara Inggris dan menetap di Birmingham.

Saya kemudian diajak melihat sekolah Islam paling maju di Birmingham "Al Hijrah Islamic School" yang didirikan oleh ...Syakieb. yang semula hanya mempunya delapan murid pada tahun 80an kini menampung 1200 anak setiap minggu untuk bersekolah.

Kurikulumnya pun terintegrasi, kurikulum inggris dan Islam, bahkan ditambah kunjungan ke negara-negara Islam terdekat serta situs bersejarah semacam Masjis al Aqsa dan ke Spanyol untuk melihat Granada, Sevilla dan Istana Al Hambra penginggalan dinasti Umayyah di Spayol. Pengkondisian seperti ini membuat saya merasa generasi muda muslim disini lebih beruntung dibandingkan dengan di negeri muslim yang lain, karena pendidikan yang sangat menjanjikan.




Saya dikasih waktu untuk ceramah selama 7 menit ala kultum, dan memperkenalkan diri serta memotivasi tentang Islam dan Lingkungan di ruang aula pada sekitar 100 siswa dan siswi al hijrah. Mereka tentu saja sangat antusias. Merekalah masa depan Islam di Eropa ini dan mereka merupakan generasi Islam harapan yang terpelajar memberikan bentuk Islam yang rahmatan lil alamin. Di bidang lingkungan tentunya diharapkan ada kesadaran yang lebih tinggi untuk generasi muda ini karena masa depan ditangan mereka.



Saya sesungguhnya sangat iri dengan pendirikan yang mereka peroleh dan tipikal ini bisa di bawa untuk madrasah atau sekolah Islam lainnya di Indonesia. Melihat kota Birmingham, saya jadi ingat wacana tahun 80an tentang kebangkitan Islam, tapi sekarang wacana itu tenggelam dan tidak terdengar lagi. London, dan Birmingham merupakan dua tempat dengan Islamic Banking yang kuat. Setelah Lehman Brother bankrut dengan ekonomi kapitalistiknya, dan Ekonomi Islam sudah mulai dipertimbangkan sebagai alternatif, maka teman-teman saya mengatakan, mungkinkan Islam akan bangkit dari Eropa?

Video menarik tentang Demography Islam di Eropa

Tuesday, October 21, 2008

Islam and Environment, Simposium di Oxford Center for Islamic Studies


Simposium di Lybrari Ditchley Park



Dr Farhan Nizami,Director Oxford Centre for Islamis Studies



Bismillahirahmanirrahiem,

Tiga puluh lima ilmuwan dan pengambil kebijakan dan aktifis dari mulai jurist Bangladesh Mustafa Kamal hingga Dr K S Jomo Assistant Secretary-General for Economic Development, UN, berkumpul bersama di Ditchley Park, UK sebuah mansion house bergaya klasik Eropa yang sangat asri dan merupakan salah satu rumah kebanggaan 'great house of england'.


Sedangkan orang penting lainnya yaitu antara lain: Dr Khalid M Al-Mathkoor Chairman, The Higher Committee for Shariah, Kuwait (penasihat sultan), Shaikh Khalid A Alireza Executive Director, Xenel Industries, Kingdom of Saudi Arabia,HE Dr Abdulaziz Dr Mahmoud Akef, Earth Mates, Professor Rais Akhtar Jawaharlal Nehru University, India Professor Rafid Al Khaddar Faculty of Technology and Environment, Liverpool John Moores University, HE Dr Abdul Rahman Al-Awadi Executive Secretary, ROPME, Professor Osman bin Bakar Centre for Civilization Dialogue, University of Malaya Mr Richard Beeston The Times HE Mohammed Ahmed Al Bowardi Managing Director, Abu Dhabi Environment Agency, HE Sayyid Hamoud bin Faisal Al Busaidi Minister of Environment and Climate Affairs, Oman, Mr Bruce Clark, The Economist, Professor Mike Edmunds School of Geography, Oxford, Dr Abdul Karim El-Eryani, Political Advisor of the President, Yemen Arab Republic, Dr Shahridan Faiez The World Bank, Dr Manar Fayyad Director, Water and Environment Research and Study Center, University of Jordan, HE Shaikh Dr Ali Gomaa Mufti of Egypt, Dr Safei-Eldin Hamed Texas Tech University, USA, HE Sayed Ali Al-Hashimi Advisor to the President of the UAE, Professor Salim Al-Hassani,Foundation for Science Technology and Civilisation, UK, Professor Mohamed Hyder Emeritus Professor, University of Nairobi, Mr Othman Abd-ar Rahman Llewellyn-National Commission for Wildlife Conservation and Development, Kingdom of Saudi Arabia, Mr Fachruddin Mangunjaya Environmentalist, Jakarta, Indonesia, HE Mr Majed Al Mansouri, Secretary-General, Environment Agency of Abu Dhabi Mr Michael McCarthy The Independent, Dr Basil Mustafa, Nelson Mandela Fellow, Oxford Centre for Islamic Studies Dr Mohammad Akram Nadwi, Research Fellow, Oxford Centre for Islamic Studies, Professor Ibrahim Saleh Al-Naimi Chairman, Doha International Center for Interfaith Dialogue, Mr Martin Palmer Secretary-General, Alliance of Religions and Conservation, UK, Dr Ali Al Qaradaghi University of Qatar, Sir Crispin Tickell, Director, Policy Foresight Programme, James Martin Institute for Science and Civilization, Oxford University, Dr Mahmood Yousif Director of Research, Kuwait Foundation for the Advancement of Science Dr M Anas Zarka The International Investor, Kuwait, dan ada beberapa lagi yang enggak tercatat.


Dari kiri Dr. Mahmood Yoseef Ali dan Dubes Yaman untuk Inggris, HE Mr. Mehmet Yigit Alpogan



Selama dua hari simposium untuk mendapatkan masukan tentang issue lingkungan dan dunia Islam dalam soal lingkungan. Kelompok dibagi tiga: Islamic Ethic and Environment, Social, Culture and Environment dan Technology, Economy and Environment.

Banyak isue mendasar di dunia muslim yang menjadi pembicaraan, diantarnya kesenjangan gap antara negara kaya dan miskin, seperti Bangladesh yang sangat menderita karena alamnya yang rentan dengan perubahan, banjir lumpur, dan badai. Hal mendasar seperti ini memerlukan tanggapan yang seharusnya sangat cepat dengan birokrasi yang tidak bertele-tele, orang harus makan setiap harinya dan disuplai ketika terjadi bencana. Fenomena itu dikemukakan oleh Jurist Bangladesh Mustafa Kamal.


Isu lingkungan di dunia muslim bukan saja soal lingkungan saja, yang sangat memalukan adalah soal bantuan-bantuan yang dikorupsi oleh pemerintah di negara-negara tersebut, jadi banyak bantuan yang tidak sampai kebawah karena bantuan itu adalah G to G. Maka, sekarang para pemberi bantuan sudah mengetahui untuk segera membantu kepada yang memerlukan melaui NGO yang langsung bekerja di lapangan.


Kiranya sudah jelas, ajaran Islam tentang lingkungan dan tidak perlu diperdebatkan hanya perlu pendalaman dan memberikan perbaikan atas pikiran mendasar yang bisa diterima dalam tingkat praktis. Di bagian etika Islam menganjurkan untuk memperbanyak sosialisasi berupa publikasi tentang Islam dan lingkungan serta pada tingkat praktis dalam soal perawatan lingkungan. "Islam adalah agama environmentalist," kata Iman Ahwal praktisi lingkungan UK dan produser film yang melanglang buana dari tinggal di Maroko, Malaysia dan sekarang di Aceh beliau menurut saya adalah seorang Muslim yang taat. Bukankah Muslim sebagai khalifah disuruh untuk berbuat kebaikan dan ishlah dimuka bumi agar dapat mengabdi kepada Allah swt secara sempurna?


Alhamdulillahirabbil 'alamin

Saturday, October 18, 2008

Perubahan Paradigma di Oxford Centre for Islamic Studies


Lantai dua bangunan OCIS

Bismillahirahmanirrahim

Jam tiga sore, (17/10), rombongan pergi melihat OCIS (Oxford Centre for Islamic Studies), yang merupakan Islamic Foundation pertaman di Oxford yang berdiri secara independent tetapi secara akademik berafiliasi di Oxford. Gedung ini baru dibangun, dan dalam tahap penyelesaian interiornya. Mungkin baru 60 persen. Kami diajak bekeliling ke kompleks dalam gedung yang akan dibuat sangat integrative dengan kegiatan akademis sebuah pusat pengkajian, misalnya ruang perpustakaan, ruang tempat tinggal scholars atau fellow, berdiskusi atau mengadakan workshop hingga masjid yang akan terbuka untuk umum berkapasitas sekitar 700 jamaah.

Bila menengok pada menara anda akan ingat dengan gaya Andalusia, karena memang dibuat mirip, sedangkan kubah masjid disebelahnya dibuat mirip dengan kubah Masjid Madinah.
Dr Basil Mustafa, yang menjadi fellow di OCIS memberikan penjelasan kepada kami, bahwa pusat studi ini sekarang memang telah berubah dari sebelumnya, lebih independen dan dikelola oleh banyak muslim dan mereka bebas mengembangkan khazanah Islam untuk berkontribusi kepada kemanusiaan dan dunia.

Sebelumnya memang Islamic studies dibuat sebagai bagian dari studi orientalisme untuk memahami ketimuran yang didirikan oleh para akademisi dan kemudian menjadikan mereka ahli-ahli di Barat. Abad dua puluh satu ini dimana interdependensi dan dialog peradaban semakin bekembang, fenomena ini kemudian dirubah dengan sebuah pertanyaan:’Bagaimana bisa sebuah pusat pengkajian Islam diisi oleh orang-orang yang hanya memahami Islam untuk pengetahuan saja, tanpa melibatkan Muslim –untuk berkontribusi sebagai seorang Muslim yang memahami bagaimana bersikap--dengan kontribusi mereka untuk bersama membangun peradaban dunia?’

Pintu Timur OCIS, lihat kubah Nabawi dan Menara Andalusia itu!

Memang tadinya ada kekhawatiran tentang keterlibatan secara jauh Muslim di Oxford yang tadinya mempunyai cikal bakal sebagai sekolah teologi atau seminari. Tapi kemudian, mereka tersadar, bukankah Oxford yang tua 900 tahun ini, telah banyak belajar tentang pendirian universitas mereka dari peradaban Islam di abad pertengahan? Sejarah mencatat Francis Bacon pernah sekolah di Sevilla, Cordoba dan kemudian menjadi pionir dari Oxford dan peradaban ratusan tahun di UK (baru seingat saya, tolong cek lagi ini benar engga).

Perlahan-lahan, konsep-konsep Islam seperti shariah, mulai diterima karena secara terbuka menjadi diskursus dan dialog dalam menterjemahkannya menjadi sebuah jawaban bagi peradaban manusia secara keseluruhan. Hal ini terbukti dengan konsep bank Islam (islamic banking) yang kini digunakan dan telah diterima di berbagai tempat. Walaupun ada kritik dimana-mana tentang bias konsep ini digunakan oleh bank konvensional karena adanya kapital dan potensi finansial yang besar dari 1.8 miliar umat Islam, tetapi minimal dalam konsep ini, ada suatu penerimaan global yang –hemat saya—tidak perlu diperdebatkan lagi.

Malaysia sebagai negara persemakmuran, bekas koloni Inggris, sungguh sangat beruntung atas keterbukaan ini. Komitmen inggris untuk membuka jalan atas generasi negara persemakmuran menjadikan negara ini melaju pesat tanpa meninggalkan kekayaan Melayu Islam mereka dan mampu berkembang sebagai negara Muslim (secara substansial) yang paling maju di Asia. Tidak berhenti dari sebuah keterbukaan, sesungguhnya pemimpin Malaysia seperti Mahatir Muhammad atau Tun Razak sebelumnya sadar betul tentang pentingnya pendidikan, sehingga ata puluhan ribu graduate dan post graduate program yang datang menuntut ilmu ke negeri ini setiap tahun. Dengan adanya teknologi, dan standar bahasa Inggris yang telah setara, maka kemajuan Britania Raya menjadi setara di Malaysia, dan banyak murid-murid belajar saja di negerinya tanpa harus ke luar negeri.

Tidak heran Malaysia mempunyai andil juga dalam pembangunan Islamic Centre ini, di wing Barat bangunan OCIS yang bertingkat tiga ini, ada bilik atau ruangan Malaysia, kayu-kayu berukiran melayu telah pun dikirim untuk dipasang. Saya lihat ini kayu yang digunakan adalah kayu bengkirai yang merupakan kayu berkualitas tinggi dari hutan tropika. Saya ingat kayu ini juga digunakan untuk membangun rumah keluarga kami di Kumai, karena memang bisa bertahan lama.

Saya melihat ukiran bilik lengkung bunga-bunga seperti rumah Malaysia. Tapi rekan saya Nalla, dari Malaysia yakin, kayu ini tidak dibuat dari Malaysia, mungkin outsorching dari Indonesia. Saya tambahkan setidaknya kalau pun dibuat di Malaysia, pasti tukangnya orang Indonesia. Jadi orang Indonesia juga berkontribusi atas bagian dari bilik ini. Tapi bagian pekerja yang diupah oleh Malaysia, seperti biasa memang negara kita belum mampu mengekspor otak, tetapi baru mampu ekspor otot!


Bersama dengan Othman Llwelyn perencana konservasi dari Saudi Arabia.

Prince of Wales, atau Pangeran Charles yang menjadi patron atas organisasi ini sangat terobsesi dengan peradaban Islam, sehingga di bagian belakang dari bangunana akan dibuat taman Islam yang nantinya mirip taman di Andalusia, Sevilla atau Cordoba sebagaiman beliau terkesan dengan taman-taman Islam yang masih bertahan hingga kini dari abad pertengahan.
Alhamdulilahirabbil 'alamin

Friday, October 17, 2008

Orang Udik ada di Oxford


Kapan Sungai Arut, Kumai atau Ciliwung bisa begini ya?






The Thames River




Ditcley Park dari ruang sayap kanan tempat saya menginap.

Mimpi jadi kenyataan. Inilah hari pertama suatu pagi di Oxford, diluar cuaca cerah sekali, walaupun, matahari mulai menyinari cerobong-cerobong asap rumah-rumah tua di Oxford. Putih awan mulai kelihatan, dan bayangan pagi terlukis lembut karana matahari tidak bersinar terik, sinar agak redup itu terlihat menyembunyikan banyangan cerobong menjadi semacam lukisan yang diarsir saja.

Hotel Victoria House tempat aku tinggal rupanya hotel kecil yang asri dan apik, penginapan dengan brand bertuliskan putih berwarna biru ini terletak di tengah kota. Jadi aku bisa gampang untuk melihat kehidupan di kota pelajar ini. Tidak banyak yang diterima di hotel ini, rupayanya mereka hanya memiliki 14 kamar saja. Bayarannya £85, untung saja Shita Puspitasari, mahasiswa PhD dan sekarang bekerja di Departemen Lingkungan di Oxford, secara sukarela membookingkan hotel saya dengan menjaminkan kartu kreditnya.

Tidak banyak warga negara Indonesia yang beruntung seperti Shinta, bisa bersekolah di luar negeri dengan beasiswa ’Chivening Award’. Di Oxford pun tidak banyak pula mereka yang sekolah cerita Shinta, hanya ada 11 orang dan tiga diantanya mahasiswa PhD. Saya pikir orang seperti Shinta harus menggunakan waktunya sebaik-baiknya kesempatan ini dan menimba ilmu lalu pulang ke negerinya dan ikut membangun negeri. Indonesia perlu orang pintar dan jujur lebih banyak. Dalam hitungan jari, negeri ini baru memiliki 6700 doktor menurut direktori doktor Indonesia (http://www.directoridoktor.net/), dibandingkan dengan penduduknya yang 283 juta jiwa sekarang, hanya berarti 0.00028 hampir tidak kelihatan dalam angka matematika dan bisa dianggap tidak ada!

Setelah bangun pagi dan beberapa kali tadi malam night mare, karena mesti beradaptasi, enam jam lebih lambat dari tanah air. Jadi waktu tidur saya seharusnya digunakan untuk bangun. Sedangkan waktu bangun digunakan untuk tidur, jam 3, bangun pagi---karena tidak bisa tidur lagi-- di Oxford, akus shalat tahajud. Kulihat, ini sama dengan jam 9 pagi di Indonesia, waktu aku sering mengejakan Shalat Dluha.
Pagi ini lari sebentar dari keluar hotel, pasang jaket kulit, celana blue jeans dan sarung tangan ala tukang ojek Indonesia—baju dan sarung tangan yang sama ketika dipakai naik motor menuju kantor-- jalan lurus tanpa peta ketemu Christ Church (http://www.chch.ox.ac.uk/) yang merupakan gereja tua dengan tanah yang luas, merupakan salah satu college dari 40 Institusi perguruan tinggi yang ada adi Oxford University. Gereja ini didirikan oleh Raja…. Pada abad 15, ditengah turbulensi kejayaan kerajaan Inggris. Tidak sempat masuk, karena masih harus bayar £4,9 untuk yang dewasa dan £ 3 untuk anak-anak atau £9 untuk yang membawa rombongan. Enggak keburu juga.

Setelah itu saya lari ke ujung jalan, melihat Sungai Thames yang terkenal itu, saya menukik kekiri masuk di pintu gergam Head of River sebelum menuju jembatan penyebrangan Folly Bridge. Subhanallah! Inilah bukti mimpi saya saat masih SMP. Waktu itu saya menceritakan pada ayah, bahwa, saya akan pergi melihat negeri Britania Raya (Inggris) dan melihat Jembatan Sungai Thames ini. Bayangan mimpi itu masih saya simpan setelah hampir 30 tahun, di usia saya yang mendekat 44 tahun inilah mimpi itu rupanya diwujudkan oleh Tuhan. Ini bukan mimpi cita-cita ala Laskar Pelangi, tapi mimpi benar!

Di bagian kiri, sebelah jalan Abingdon Road --sebelum menaiki jembatan---inilah ada restoran pinggir kali beruliskan kapital berwarna emas Head of River yang kursinya mejanya masih kosong, kelihatannya restoran ini belum buka karena terlalu pagi, atau hanya dipakai sore hari, entahlah. Seperti orang sinting—saking udiknya--saya memotret dua dari berbagai arah jembatan sungai bersih ini. Sesekali memencet pemutar otomatis untuk menjebak diri ala camera trap. Saya melihat di tengah kota ada perahu bersusun-susun, mungkin itu untuk disewakan dengan sungai yang tidak ada sampah satu pun, walaupun ada rumah di pinggir kali. Sungai ini telah terawat ratusan tahun, sangat sulit menjumpai kawasan semacam ini di Jakarta.

Mereka sebenarnya menggunakan bantaran kali sebagai tempat yang paling indah dilihat, bukan pembuangan sampah seperti di Jakarta. Aku melihat masih ada hutan sedikit dipinggir kalinya dan menyaksikan bebek beriringan berenang. Aku membayangkan, jika di Jakarta atau daerah lainnya semacam Sungai Martapura yang sehari-hari dipakai untuk kehidupan atau Sungai Arut dan Sungai sampit yang bersih, bukan menjadi TPA penduduknya. Kehidupan akan lebih menyenangkan. Syaratnya, tidak ada orang yang miskin dan bodoh!

Kemiskinan dan kebodohanlah yang menyebabkan—saya kira—penduduk kita tidak mempunyai empati pada lingkungan apalagi masa depan anak cucu.

Dichley Park
Rupanya cek out hotel diharuskan jam 11, hotel sempit ini tidak sepi peminat, selalu penuh. Ketika koper dikeluarkan petugas pembersih kamar langsumg membersihkan kamar. Untung saja saya buru-buru kurang seperempat jam dari jam 12.00 petugas hotel mengingatkan saya harus memindah barang-barang. Tepat pukul 12 satu menit, petugas dari Dicthley park sudah menjemput saya dengan mercedes van yang khusus dikelola oleh The Dictcley Foundation. Jarak tempuh 20 menit tidak terasa karena menikmati pemandangan rumah-rumah ala eropa yang tertata dan asli.

Rumah-rumah batu yang saya lewati sepanjang menuju dictley yaitu ke arah utara menunju Woodstock city, masih berwana putih atau bata merah dan hitam dan massif bisa bertahan mungkin ratusan tahun. Cuaca di kawasan temperate memang tidak seperti di negara tropis yang banyak rayap dan cenderung berdebu karena panas dan melapukkan jendela dan kayu disaat musim bergantian ekstrim.

Saya tidak melihat ada bangunan-bangunan baru yang sedang direhab seperti halnya rumah di Jakarta. Beda sekali kalau saya lewat di perumahan elit dan kelas menengah, di Ibukota, mereka saat ini merubah bagian depan mereka yang tadinya trend 80 dan 90an dengan gaya spayol, lalu dirubah menjadi arsitek minimalis, modern. Bukankah itu ongkos mubajie yang dibuang setiap 20 tahun?

Dicthley Park rupannya sebuah Mansion House, rumah ningrat Inggris yang sengaja dibangun tahu 58 oleh Sir David Wills, untuk tempat perundingan dan pertemuan penting para elit para ilmuwan kelas dunia dan pengambil kebijakan untuk derdiskusi dan berkonferensi memperdebatkan persoalan dari mulai politik, sosial, agama hingga budaya misalnya: the politic of identity and relitiond: must culture clash?

Atau tentang The Future of the United Nation yang diadakan pada 22-24 June, sedangkan sekarang 17-19 October, adalah tentang Islam and Environment: Kali ini lingkungan dan Islam merupakan salah satu topik penting di Inggris, sehingga perhatian dicurahkan juga untuk fenomena lingkungan terutama di Dunia Islam. Ada sekitar 35 orang yang hadir disini rata-rata bergelar PhD dan guru besar.

Dari Indonesia, sayang sekali hanya saya yang diundang, entah mengapa sebabnya (to be honest!), duta besar RI di UK juga diundang, tapi diwakili oleh Mas Herry Sudrajat bagian penerangan, KBRI.
Di ruang perpustakaan, ala Hari Potter ini, berdiskusilah para elit itu, sembil melihat perpustakaan dengan buku dan raknya yang mejulang kelangit. Dr. Farhan Nizami Direktur OCIS mengemukakan diskusi ini memang tertutup dan hanya menjadi catatan pribadi. Jadi saya tidak boleh menuliskan di blog ini, nanti temui saya saja langsung ya! Hehe. Udah ah.

Thursday, October 16, 2008

Oxford!


Ngantar Ibu Irma and Mira didampingi Shinta (paling kanan), ke Train Station Oxford


Didepan sebuth chapel Kampus Oxford University


Makan Malam di Rentoran India, disambut teman Mahasiswa dan staff KBRI yang kebetulan di Oxford

Bus station di Hetrow menuju Oxford
Sambil kecepean, perjalanan 8 jam Dubai-London akhirnya tiba juga. Udara dingin menusuk kulit, ini menjelang musim Autum (musim gugur). Semua orang memakai jaket dan sweater tebal-tabel bersepatu tinggi, dan baju-baju panjang ala Eropa.

Dubai dan TKW Indonesia


Bandara Dubai

Tiba di Dubai perjalanan Sembilan jam Jakarta Bubai, dengan waktu take off dari jakarta menjelang jam satu pagi, tanggal 16/10, berangkat. Tiba di dubai jam 6 pagi ditanggal yang sama, jam saya harus diputar mundur, karena mengulang satu hari.

Alasan saya ikut Emirate Airline, dengan harapan bisa melatih pendengaran bahasa Arab, agar bukan hanya mendengar pas lagi ada orang Azan atau mengaji saja, bisa mendengar bahasa Arab! Benar juga, di berbagai tempat di pesawat hingga duty free dari pesawat hingga petunjuk arah, semua dalam dua bahasa Inggris dan Arab. Ketika saya mau log ini ke blog, enggak bisa log in, karena salah pencet di bagian navigasi, gara-gara blog saya ternyata bahasa Arab semua!

Bagi saya ada yang menarik di Dubai karena ibukota Uni Emitat Arab ini merupakan salah satu negara kaya minyak dengan kemakmuran yang melimpah, pembangunan yang mereka lakukan dinegerinya tidak tanggung, memakai investor kelas dunia dengan arsitektur yang canggih. Sebab itu, saya melewati bandara ini, isamping itu penasaran ingin melihat Palm al Jumeriah, pembangunan Dubai yang menyedot perhatian banyak orang dan ahli lingkungan karena negeri teluk ini merekayasa kawasan elit mengakomodasi kemewahan dengan investasi milyaran dollar.

Al Jumerian merupakan salah satu kebanggaan Dubai dengan kompleks real estate terlengkap dari mall hingga lapangan golf berkelas dunia.

Pesawat Boeing 777-300, Emirat lebih nyaman dibanding penerbangan luar negeri yang pernah saya naiki, selain agak longgar—karena penumpangnya tidak penuh, fitur teknologi yang mereka miliki juga lumayan canggih. Personal video interaktif, hingga e-mail pribadi dan sms bisa dilakukan dari tempat duduk kita.

Pramugarinya berwajah Indonesia, tapi ternyata ketika saya tanya dia apakah dia orang Malaysia atau Indonesia, dia bilang orang Philipina. ”Banyak orang Indonesia, berbahasa Indonesia menyapa saya” katanya. Memang warga serumpun melayu, wajahnya masih mirip tetangga saya di Kalimantan.

Tapi pengalaman yang sama saya jumpai di Amerika, ketika orang Filipina yang bekerja di airport San Fransisco, mengejar-ngejar saya berbahasa tagalok, setelah bertemu, dia mendekati saya, dan menyanyakan:”Philipinos?” dia mengira saya orang Filipina. Benar juga kata Tom Friedman, dalam bukunya yang terbaru (Hot, Flat and Crowded, 2008) Indonesia masih belum mampu mengekspor tenaga kerja dengan skill, baru banyak memproduksi babu rumah tangga.

Mereka adalah TKI yang dijadikan pahlawan devisa oleh negara. Disebelah saya dalam perjalanan ke Dubai, duduk seorang wanita berkerudung, orang Indonesia, rupanya dia menjadi pembantu di Saudi Arabia, dalam perjalanan ke Jeddah. Perempuan Majalengka ini sudah dua tahun bekerja di Saudi Arabia, tapi masih belum bisa naik haji, karena jarak tempuh Makkah dengan tempatnya tinggal lebih kurang sepuluh jam perjalanan mobil. ”Saya insya Allah naik haji,” katanya berharap.

Dua tahun bekerja dia mendapatkan kesempatan cuti dua bulan dan bekerja mendapatkan gajih 800 real (Rp2jt). Dan karana gajihnya bersih, dan pulang pergi ditanggung majikan, dia lumayan dia bisa pulang uang sekitar Rp10.000 (Rp20juta) setahun. Kalau bisa berhemat, karena gajih bersih, TKW bisa membangun rumah dikampungnya. Kalau anda mau tahu, gajih sebesar itu juga sama dengan gajih pokok guru besar di Universitas Negeri. Seorang dosen sekarang ini, kalau tidak rajin, ngojek—istilahnya mengajar kesana kemari, tidak cukup hidup, apalagi untuk tinggal di Jakarta. Jadi pahlawan devisa ini sesungguhnya sudah senang sekali, walaupun dia harus meninggalkan dua orang anak dan suaminya yang masih kerja serabutan di kampung halaman.

Bila dilihat secara garis besar kurang beruntungnya bangsa kita karena satu sebab, tidak dipakainya bahasa Inggris sebagai bahasa resmi yang diakui (tertulis) oleh pemerintah. Penguasaan bahasa menjadikan bangsa sangat cepat tertranformasi dan beradaptasi dengan perubahan dan kemajuan. Di era globalisasi sekarang ini, bahasa inggris menjadi bahasa utama dunia. Dua bangsa di Asia tenggara, Malaysia dan Filipina menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris sejak di bangku SD dengan tidak meninggalkan bahasa nasional mereka. Jadilah mereka, setidaknya tamatan SMAnya bisa menjadi pramugari atau pekerja di Airport di Luar Negeri, atau minimal sopir.

Saya masih ingat ketika Sutan Takdir Alisyahbana menganjurkan bahasa Inggris sebagai bahasa utama di Indonesia. Padahal dia sendiri pengarang buku bahasa Indonesia. Tidak ada masalah... dunia ini semakin mengecil dan menyempit. Aksen inggris pun berkembang, coba anda dengar kalau orang India ngomong, whaa.. lidahnya kelipat lipat sambil goyang goyang, dengan aksen mereka.

Orang Malaysia semua ujungnya ditambah 'kah' dengan 'lah'. ” I can..lah, don’t worry lah...” toh bahasa Inggrisnya bisa dipahami. Karena lidah kita diciptakan Tuhan berbeda-beda, tidak mesti persis seperti orang England. Bahkan tiga bangsa Induk pengguna bahasa Inggris: US, UK dan Australia, semua aksen berbeda, sehingga anda bisa mengenal tuturan kata-kata mereka dari dialek yang mereka miliki. Yang penting standar penulisan saya kira pasti sama.
Udah ah jadi ngelantur!

Saturday, October 11, 2008

Empati dan Dukacita untuk Keluarga Sulaiman

Innalillahi wainnailahi rajiun. Tidak ada yang kekal hidup di muka bumi semua pasti akan kembali kepada Yang Maha Kuasa. Jumat malam lalu saya bersama Dr Sugajito dan Dr Barita Manulang, mengunjungi keluarga H Sulaiman Sumantakusuma, untuk ta’jiah tujuh hari meninggalnya beliau. Meluncur ke jalan Menteng, Jakarta.

Saya melihat banyak sekali orang yang hadir di Jalan Cendana Menteng itu. Jalan Suwiryo sepanjang jalan dipenuhi mobil sampai ke seluruh trotoar. Kami agak keder memilih tempat, Pak Jito menyetir sambil bercerita, betapa Pak Sulaiman memang orang besar dan baik dan mempunyai rasa empati luar biasa untuk berhubungan dengan seseorang. Senang membantu dalam kesulitan, bahkan mendidik siapa saja sehingga menjadi mandiri. Pernah salah satu anak asuhnya yang tidak berkecukupan, kemudian dikursuskannya atau disekolehkannya. Salah satunya saya masih ingat, dia menganjurkan juga kursus untuk pembantunya sehingga bisa mandiri dengan mengambil kursus sederhana sebagai tukuang pijat. Pak Sulaiman juga tidak segan untuk tetap menjalin silaturahim, bahkan Barita bercerita tentang jalinan silaturahim yang hangat selalu beliau pelihara, sehingga beliau sendiri mengantarkan undangan ketika Aishah Nicole Sari, anak beliau menikah. “Ini amanah dari Ibu almarhum”, tutur beliau
Pertemuan terakhir saya dengan Pak Sulaiman adalah akhir tahun 2001, di rumah beliau di Pejaten, itu pun beliau masih menawarkan kalau ada kesulitan dalam kehidupan, supaya mengontak beliau. Beliau masih mempunyai rasa sosial yang luar biasa. Pantas saja derajatnya selalu terangkat sehingga banyak empati ketika orang ta’jiah banyak sekali yang hadir.

Pak Sulaiman adalah suami dari Nina Sulaiman yang juga telah berpulang 17 tahun silam. Nina Sulaimanlah yang banyak menghantar para mahasiswa Fakultas Biologi Unas seperti Barita Manullang, Sugarjito, Jatna Supriatna, Soeharto, Endang Sukara, Jaumat Dulhajah atau bang Jojo, Undang Abdul Halim, Dedi Darnaedy, dll ke station riset penelitian orangutan atas dana dari Belanda van Teienhovven, untuk penelitian primata di Tanjung Putting. Hampir saja Nina menjadi dekan di Fakultas Biologi, karena urusan sesungguhnya yang beliau emban sebagai dosen di Sastra Inggris Unas tetapi banyak kegiatan dan pelibatan aktifitas bergerak di Fakultas Biologi.

Sebelumnya, tentu orang kenal, Birute Galdikas juga dihantar oleh Nina Sulaiman. Birute menjadikan kedua orang ini menjadi ibu dan bapak angkat, sehingga saya masih ingat di Tanjung Putting ada nama orangutan yang ditabalkan oleh Birute sebagai nama: Sulaiman. Ada juga namanya Rini, (nama salah satu orangutan yang mengambil nama anak beliau Rini Sulaiman). Bagi kami orang konservasi, mendapatkan nama untuk ditabalkan pada nama orangutan adalah sebuah penghormatan dan sama sekali bukan pelecehan. Sama dengan trend orang dibarat yang memberi nama artis, seperti misalnya: Britney , Alpacino,Mariah, dll untuk anjing dan kucing mereka.

Semata-mata untuk mengenang atau memudahkan panggilan. Saya masih ingat, ada orangutan yang bernama Soegarjito, anaknya Siswoyo (orangutan betina). Soegajito lucu sekali, bila bemain di pinggir jembatan kalau kita mandi di Ujung Jembatan di TN Tanjung Putting, kupingnya yang kecil itu suka saya tarik dan jewer! (Pak Jito senang sekali dan tertawa ngakak, kalau saya cerita ini), sebab beliau waktu itu adalah dosen perilaku hewan di UNAS.

Nina Sulaiman, adalah keturunan Belanda yang mempunyai empati sosial luar biasa. Semua mahasiswa yang dekat dengan beliau dibantu, hingga saya pun, sebagai mahasiswa kampung yang kemudian diperkenalkan dengan berbekal sepucuk surat dari Birute Galdikas, menjadi ‘pasien’ beliau kalau terlambat membayar uang kuliah. Saya masih ingat ketika kiriman dari orang tua tidak datang, hampir saja tidak bisa ikut ujian di fakultas. Beliau menarik tangan saya ke bagian kasir pembayaran gajih dosen dan memberi kan seluru uang gajihnya untuk melunasi tagihan yang saya harus bayar. Sehingga saya tamat, dan menyelesaikan kuliah, saya menuliskan ucapan terima kasih di tesis yang saya tulis untuk keluarga ini.

Di pertemuan yang khusuk di ruangan ber AC dan dingin rumah yang indah itu, saya ketemu dengan Dr Idris Sulaiman yang rupanya terpanggil untuk berkarya di bidang pembangunan lingkungan dan upaya mitigasi terhadap perubahan iklim. Beliau menjadi CEO di Computers Off Autralia (www.computersoff.org , a green IT initiative yang memberikan sertifikasi pada kelayakan go green pada suatu lembaga. Tidak sempat banyak berdialog dengan beliau karena tamu begitu banyak. Upaya ini tentu saja sangat menarik, katanya Australia mempunyai pemerintahan yang telah berubah dan akan lebih banyak berhubungan dengan negara-negara tropis tetangganya dalam upaya menyelamatkan lingkungan.

Tabik!

Wednesday, October 08, 2008

Laskar Pelangi, Mengingat Lagi Masa Kecil

Siapapun orang kampung seperti saya, kalau menonton Laskar Pelangi pasti akan terharu. Hari Sabtu (4/10), saya mengajak anak dan istri untuk mengisi liburan mereka dengan menyaksikan film fenomenal ini. Datang ke bioskopnya sih hari Jum'at, tapi udah kehabisan tiket, wah! Penontonnya membeludak, terpaksa beli sekarang nontonya besok.

Tapi inilah uniknya, memang aku tidak selesai membaca Novel Laskar Pelangi, lagi jenuh membaca karena harus membaca yang lain, maka nonton filmnya saja jadilah. Bagi saya, menonton laskar pelangi memang menjadi kenangan tahun 70an, dimana kita masih pakai sendal jepit atau nyeker (pakai telapak adam) ke sekolah. Menghitung pakai lidi.

SD saya tidak jauh beda dengan SD Muhammadiyah, tapi mungkin lebih beruntung karena masuk SD Negeri. Sebelum SDN 2 di Kumai, gedung itu malah meminjam tanah wakaf dari Pengurus Babussalam. Gedung sekolahnya sama, kayu. Ditambal sana sini, tapi kayu di Ulin di Kalimantan--waktu itu masih banyak. Maka sekolah itu dibuat seperti rumah panggung, bertiang tinggi sehingga kita bisa bermain dibawahnya. Dibawah sekolah yang berpasir itu, rasanya dingin. Ditanah pasir yang dingin itulah kami suka memancing undur-undur, dan mendengarkan dongeng teman-teman yang suka 'membual' gaya si Mahar itu. Dongeng yang aku paling suka kalau temanku Anang Odon bercerita tentang hantu gergasi. Wah rasanya seram sekali, pintar sekali dia bercerita. Seolah semuanya hidup dan sampai terbawa-bawa mimpi.

Pelepah pinang yang ditarik itu juga sering jadi permainan. Selain itu banyak permainan lain: beasinan, batewah, main balangan, songketan, gasing, layangan, wah banyak. Saya yakin anak sekarang pada enggak ngerti, karena orang tuanya sibuk menyuruh mereka kursus ini dan itu. Sebenarnya pelajaran di alam yang membuat kami berani dan bersemangat. Dengan lingkungan yang masih bersih dan alami permainan apa pun ada dan jadi tidak harus membeli.

Tanpa terasa air mata ku meleleh, istriku yang duduk disampingku pun demikian pula. Film ini sangat indah. Sejak aku melihat si Mahar dengan radionya yang tengil, airmataku tak terbendung, menangis sambil tertawa. This is the best film I ever seen. Biasanya kalau film apapun ditengah-tengahnya ada penyakit kambuhan aku: mengantuk! Biarpun film The Earth yang katanya terbaik untuk bidang lingkungan, penyakit ku tidak bisa sembuh, ditengah-tengah mengantuk...di akhir film istriku meledek: "Baru sekarang aku lihat kamu menangis" katanya. Pasalnya memang yang paling sering ku ledek adalah dia, setiap menonton sinetron sedikit saja langsung menangis. Kini gantian ya.

Jadi anak-anakku, lihatlah kami 30-40 tahun yang lalu dengan sekolah yang seadanya tetapi semuanya berhasil dengan memancang mimpi! Orang yang terdidik sekarang harus berefleksi dengan melihat film ini, betapa pendidikan itu penting tapi yang lebih penting lagi adalah semangat, ketulusan dan cinta pada anak-anak didik. Terima kasih Andrea Hirata, luar biasa! Anda bisa membangkitkan gairah baru pendidikan di negeri tercinta kita ini. Anda telah memberi pengaruh untuk anak-anak kita bermimpi dengan kejayaan Indonesia yang akan datang.