Sunday, March 27, 2011

Warisan Islam dan Soal Bahasa di Kano, Nigeria

Sudah dua minggu meninggalkan Kano, Afrika, tapi ingatan saya masih melekat. Daripada lupa lalu hilang, akan saya ceritakan dalam blog ini. Hari kedua setelah workshop saya mengikuti International Conference on Contribution of the Islamic World to Education, 16-17 Maret 2011, di sebuah kompleks pertemuan Aminu Kano Centre for Democratic Research and Training, Mambayya House, Kano. Acara ini pun di support oleh British Council, Kano yang bekerjasama dengan Bayero University.

Syaykh Qaribullahi di sebelah kanan saya dan Fazlun Khalid dan Hayatu Ibrahim, Managing Director Madinah Farm Ltd

Acara ini dihadiri oleh ratusan intelektual muslim Afrika, terutama di bagian Barat Afrika. Tidak ada yang diluar kecuali saya dari Indonesia dan Fazlun Khalid (yang menjadi pembicara) dari UK. Mayoritas participant adalah akademisi dan semua makalah disampaikan dalam bahasa Inggris dan Arab. Mereka konon berasal dari berbagai pelosok terutama yang berasal dari beberapa negara bagian di Utara Nigeria, seperti: Sokoto, Abuja, Kano, Lagos, Dala, Waje dst.

Selama dua hari ini, diskusi di konferensi kelihatannya berupaya menemukan akar atas krisis pendidikan Islam dan gap yang terjadi dalam menghadapi tanggungjawab sebagai negara ditengah arus modern dengan tetap berupaya berpijak pada akarnya. Nigeria bagian utara adalah mayoritas Muslim dengan tradisi Islam yang ketat, seperti halnya di Indonesia, banyak warga nahdliyyin dan pengikut tariqah Qadariyyah yang taat sangat menghormati guru.

Dilema antara warisan khalifah Islam Sokoto dan kemudian bekas koloni Inggris, membuat bangsa ini agak limbung menemukan jati diri. Bahasa sehari-hari pemerintahan adalah Inggris, sementara penduduk banyak yang masih belum bisa bahasa Inggris, dan mereka memakai bahasa Ibu Hausa. Sesaat koloni Perancis datang, mereka ingin bahasa Perancis dipelajari di sekolah, tetapi tidak diserap dan hanya dipelajari sebagai teori. Semantara itu madrasah yang masih memegang tinggi disiplin pendidikan Islam menggunakan bahasa Arab. Dan karena konferensi ini dihadiri oleh banyak ulama lokal, mereka mengharapkan bahasa Arab dapat diakui secara resmi, tinimbang mengajarkan bahasa Perancis, karena Arab akan dipakai sehari-hari dan menjadi bahasa International di Afrika lainnnya (Mesir, Libia, Sudan dll).

Sulitnya, Nigeria terdiri dari 200 lebih etnis, dan masing-masing mempunyai bahasa. Tidak ada bahasa yang mampu mempersatukan seperti halnya kita bahasa Melayu. Gap terjadi setelah merdeka tahun 60an, ketika resmi Inggris menjadi bahasa nasional, tetapi tidak diserap seluruhnya oleh warga di pelosok negeri. Bedanya kita di Indonesia, dimana orang semua, di pelosok mana pun-- bisa bahasa Indonesia, minimal untuk yang mereka mengecap bangku sekolah.

Hausa hanya diterima di bagian utara dengan mayoritas Muslim, sementara di selatan mereka menggunakan dialek yang berbeda. Bahasa, menjadi perbincangan panjang dalam konferensi, saya kira ini memang penting.

Menemukan jati diri, pembukaan konferensi dijembatani dengan pemutaran film 1001 invention yang selama ini beredar untuk menyadarkan masyarakat dunia tentang kontribusi muslim dalam bidang pengetahuan. Menceritakan penemuan ilmuwan muslim abad pertengahan, jauh sebelum renaesanse dan jasa mereka yang telah 10 abad bertahan menjembatani ilmuwan Eropa dengan pengetahuan Yunani.

Malam terakhir dari konferensi, saya berkesempatan bertemu dengan Syaykh Qaribullah Syaikh Nasir Kabara, pemimpin spiritual Sufi Qadariyya yang sangat berpengaruh di Afrika Barat. Mengenal beliau saya ingat Syaikh Tuan Guru Zaini Ghani, yang selalu dielu-elukan ditunggu pembacaan salawatnya dan pengajiannya diikuti oleh ratusan ribu orang.

Jadi tidak di Banjarmasin maupun Afrika, pemimpin spiritual menjadi magnet untuk masyarakat yang merindukan ketulusan kepemimpinan dan keselamatan dunia dan akhirat.

tabik!

Link terkait:

Ulama Nigeria


Sekumpul Banjarmasin: Ziarah ke Tanah Leluhur