Saturday, December 12, 2009

Kita Diatas Kapal yang Sama


Wawancara dengan Al Jazeera

Sembari menghadiri acara penanaman pohon yang dilaksanakan di Puncak Gunung Salak Sabtu (12/12), diatas ketinggian sekitar 800meter dari permukaan laut. Saya diwawancara oleh Televisi Al Jazeera, wartawannya, Sahaib Jassim memberikan hanya dua pertanyaan terkait dunia Islam dan Perubahan Iklim:

Al- Jazeera: Mengapa umat Islam di dunia harus perduli dengan perubahan iklim?

FM: Dunia Islam merupakan bagian dari masyarakat bumi dan dua pertiga Muslim dari 1.6 miliar ummat Islam di muka bumi berada di Asia Selatan: Bangladesh Sri Langka, India, Indonesia dan bebarapa di Kepulauan Pasifik. Mereka yang sekarang ini—seperti di Indonesia—merasakan dampak perubahan iklim—jadi Umat Islam harus ikut terlibat dalam penanggulangan perubahan iklim. Kedua, umat Islam disuruh untuk memelihara bumi dan tidak boleh membuat kerusakan dimuka bumi:..wala tufsyidu fil arldi ba’da islahiha.., janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya”. Kemudian, memelihara bumi merupakan tugas kekhalifahan seorang muslim. Terlepas dari adanya perubahan iklim, seorang Muslim mempunyai kewajiban dan perduli terhadap kelangsungan hidup dan perbaikan dimuka bumi, ini tugas kekhalifahan selaku Muslim yang mengembang amanah.

Bagaimana dengan pendapat orang yang mengatakan, negara lain tidak perlu membantu karena yang membuat kerusakan adalah mereka sendiri?

Dalam planet yang hanya satu ini, anda tidak bisa menghidar dari perbuatan satu masyarakat, karena semua saling kait mengkait. Bumi ini hanya mempunyai sedikit ekosistem yang baik dan produktif untuk keseimbangan belahan bumi yang lain. Misalnya, negara maju seperti Jepang, memang mampu mempertahankan hutannya. Sekarang mereka mempunyai 69-70 persen hutan alam yang masih bertahan (utuh). Namun, sejak tahun tujuh puluhan negara ini mengimpor kayu dan menebang kayu-kayu di hutan Tropis di Indonesia. Apa yang terjadi kini? Negara itu pun tidak bisa menghindar dari terjadinya perubahan iklim (curah hujan bertambah tinggi di Jepang). Curah hujan bertambah tinggi di negara maju, walaupun mempunyai sistem drainase yang baik tetap akan terjadi banjir. Tahun tujuh puluhan –saya ingat—kapal kapal Jepang membawa gelondongan kayu beratus meter kubik sehari dari Kalimantan. Berpuluh tahun kemudian terjadi pemanasan global, karena ekosistem dan keseimbangan bumi terganggu. Untuk hal seperti ini, anda seharusnya tidak bisa tidur tenang...ini bukan hanya masalah sekarang, juga anak cucu kita yang tidak mempunyai harapan dimasa yang akan datang.


Saya ingin mengingatkan pada sebuah hadist Nabi Muhammad saw. Tentang semua orang yang berada dalam satu kapal. Sebagai sebuah kapal yang mempunyai penumpang dengan berkelas dan bertingkat. Orang yang di dek bagian atas memiliki air dan kemampuan untuk mengatur orang yang ada dibawah. Suatu ketika orang dibawah perahu itu memerlukan air, dan mereka yang dibawah tidak dibantu oleh orang yang mempunyai air diatasnya. Lalu mereka yang dibawah, merasa mempunyai hak dan tidak sabar berupaya melobangi perahu tersebut untuk mendapatkan air.

Apa yang akan terjadi bila orang dibawah perahu membuat lobang dibawah perahu itu? Kapal akan tenggalam. Penumpang kapal mendapat bercana bahkan mati bersama! Kejadian itulah yang sekarang terjadi negara berkembang. Mereka perlu ”air”, ekonomi dan kebutuhan untuk hidup, kami menebangi hutan untuk keperluan hidup. Namun anda tidak mau membantu, mereka untuk menahan laju kerusakan hutan yang sedang dilakukan. Padahal analoginya sama dengan perahu yang dilobangi. Apapun upaya anda sangat terkait dengan kegiatan yang kami lakukan di negara berkembang, kita hanya mempunyai satu planet yang layak untuk dihuni yaitu bumi.


  • Foto-foto kegiatan penanaman pohon di Gn Salak


Tulisan terkait:

Saturday, December 05, 2009

Peresmian Greenfest Bersepeda Ramai ramai

Sabtu pagi (5/12), sudah ramai di Komplek Perumahan Menteri Widya Chandra IV, terutama di rumah Menteri LH yang baru Dr Gusti M Hatta. Aku buru buru dari rumah maksudnya takut ketinggalan, eh rupanya acaranya jam 7.30. Aku jam setengah enam sudah berangkat dari rumah. Gusti Hatta, orangnya sederhana. Pagi pagi beliau keluar dengan celana olahraga dan mencoba dulu salah satu sepeda yang bersusun di depan rumah beliau. " Cuba dulu, sudah lama tidak pakai sepeda," katanya dengan aksen Banjarmasin yang kental.

Saya bawa sepeda sendiri dari rumah. KLH menyediakan sepeda pinjaman dari salah satu merek sepeda terkenal yang menjadi sponsor. Greenfest diselenggarakan untuk membuat kesadaran lingkungan. Display yang dibuat sangat bagus dengan berbagai zona lingkungan yang dapat dipelajari masyarakat awam. Akan sangat sayang bila stand ini dikunjungi dalam dua hari.

Grup Sepeda Ontel berkumpul didepan rumah Mentri LH (kanan)


Apalagi musim hujan begini, pasti banyak peminat yang tadinya mau hadir dan batal. Sayang sekali kalau hanya dua hari. Sedemikian besar tenaga dan ongkos yang dibuang untuk kegiatan besar seperti ini.

Kegiatan ini bekerjasama dengan The Climate Project Indonesia.

Berkunjunglah, setidaknya anda bisa belajar dan sadar lingkungan dengan cara yang fun dan mudah:

Berita terkait:

Sunday, November 08, 2009

Musim Gugur di Calke Abbey


Setelah presentasi di London, saya diboyong teman teman ke Burton Upon

tRENTiga jam perjalanan dari London. Tinggal di kompleks perumahan yang sangat asri dengan lahan yang cukup luas. Dibelakang rumah ada cemetery atau kompleks perkuburan, yang masih jarang penghuninya. Ditumbuhi pepohonan besar, dan menurut Ayyub King, merupakan salah satu kompleks yang dimiliki oleh real estate.

Calke Abbey Park (www.nationaltrust.org.uk/calke), jaraknya hanya 20 menit drive dari rumah kami. Kawasan ini merupakan National Nature Reserve, luasnya hanya 600 acre. Di Indonesia mungkin padanannya bisa berupa Taman Hutan Raya yang fungsinya tidak hanya sebagai paru paru kota, tetapi terbuka untuk umum setiap hari. Bedanya, ada kawasan ini benar benar penuh manfaat. Ada peternakan biri biri yang memang sengaja dibawa oleh pemilik awal kawasan ini sejak abad 18. Bulunya diolah dengan tangan, merupakan produksi khas, ada kandang rusa merah dan fallow deer.

Taman dan kawasan ini tadinya merupakan milik para aristokrat (orang ningrat) inggris yang berkuasa dan berjaya di zaman kolonial. Mereka adalah tuan tanah (landlord), raja raja kecil di negara bagian, dan para gubernur kolonial yang membawa kemakmuran dan kekayaan dari tanah jajahan mereka. Ketika zaman berubah, keturunannya tidak lagi dapat merawat kawasan yang besar ini lalu diserahkan pada lembaga yang namanya ’National Trust’ semacam lembaga khusus yang diberikan kepercayaan oleh mereka yang mempunyai untuk kemudian digunakan oleh kepentingan publik.
”Zaman berubah, semua orang akan dipergilirkan, kini kami bisa menikmati kawasan ini yang tadinya orang dilarang masuk” kata Saba Khalid, istri Fazlun Khalid mengenang.

Ketempat ini, anda bisa mengajak teman, sekedar berjalan jalan melihat dan menikmati pergantian musim. Musim gugur merupakan salah satu musim favorit, ketika suhu berkisar antara 11-13. Sejuk udara, mendukung anda untuk berjalan jauh tanpa mendapat keringat.

Autum atau musim gugur, merupakan musim peralihan yang indah, dimana daun daunan rontok berguguran. Lapangan terhampar luas dengan parkir yang memadai, dilengkapi juga dengan tempat bermain anak anak. Tua muda menikmati musim kesini untuk menghabiskan akhir minggu. Makan di restoran dengen menu khas buatan tangan (hand made), yang disediakan di kompleks tersebut. Tentu saja kalau tidak tahan dingin ruangan ini akan menghangatkan sambil menikmati menu makan siang atau minum teh hangat di sore hari (yang merupakan tradisi Inggris).

Kami berjalan menuju aliran sungai yang ternyata menjadi reservoar kota, menuruni bantaran kali dan berjalan dipinggiran sungai. Disini memang telah tersedia jalan jalan setapak, yang menyediakan kesempatan kemanapun anda bisa mengekplorasi kawasan. Melihat rumah para ningrat (mansion house), termasuk gereja keluarga, tempat merumput biri biri yang tersebar dimana mana. ”Itu pohon oak, yang umurnya bisa ratusan tahun,” kata Fazlun menjelaskan. Sayapun manggut manggunt dan buru buru saya ambil kamera untuk memontret. Pohon ini tidak telalu besar tetapi rindang, dengan percabangan mekar seperti beringin.

Menjelang musim gugur hingga musim dingin, taman yang ada rumah ningrat itu sementara tidak dibuka karena dalam pemulihan dan perawatan.

Kami berbelok kekiri menyebrang bendungan kecil reservoar air yang mengalir ke arah selatan kawasan. Disini dijumpai danau, dan air mengalir ke kawasan lembah yang kemudian mengaliri Stauntin Harold Reservoir. Disitu ada rusa yang dipagar dan kelihatannya tidak terlalu jinak dengan manusia, karena mereka berupaya menjauhi para pengunjung.

Disini tempat yang memand dibiarkan alami, dimana studi ilmiah dapat dilakukan. Juga anda terkadang menemui bebarapa jenis hidupan liar sepanjang tahun. Saya melihat burung crane dan itik liar yang cukup jinak, karena pengunjung tampak bisa memberi makanan pada hewan itu dan mereka berebut makan.

Kami pulang menuju rumah setelah kelelahan berjalan beberapa kilometer, lalu menikmati ’english tea’ yang hangat disore hari.

Tabik!

Charity Dinner yang Meriah

Tidak terbayangkan sebelumnya betapa antusiasnya ternyata warga Muslim di London dengan Charity Dinner yang diadakan oleh IFEES Jumat (6/11) lalu. Walaupun kami datang terlambat karena berputar putar belum mengetahui tempat. Ditambah hujan gerimis mengguyur kota London, sehabit maghrib dengan cuaca dan suhu yang sejuk di musim gugur: peserta perlahan berdatangan sehingga sekitar 90 kursi yang disediakan panitia penuh terisi. Sebagian malah ada yang berdiri. Yang hadir saya lihat 50:50 antara wanita dan pria dari berbagai bangsa yang sangat beragam di London, ada pula non muslim yang tertarik.

Menuju Toynbee Hall ditengah kota London, saya diantar mobil kedutaan RI, bersama Pak Herry Sudrajat Kepala Penerangan KBRI, yang mewakili Dubes HE Yuri Thamrin yang berhalangan hadir.

Sebagai salah satu pembicara, saya menyiapkan presentasi dengan serius. Mengecek bahasa Inggris dengan baik, sampai larut malam dengan bentual Waraqah Andrew William, saya minginap dirumahnya semalam. Karena ini merupakan presentasi adopsi pohon pertama yang saya lakukan di luar negeri. Disamping itu ada juga pembicara lain yaitu Syeikh Hakim Murad, Guru besar teologi dari Islamic Studies di Universitas Cambrigde yang secara sangat baik menerangkan aspek pohon dalam Islam. Ternyata Islam sangat kaya dengan kata yang menyentuh tentang pohon. Salah satunya diceritakan ketika ketika seorang biksu meramalkan, nasib seorang anak yang duduk dibawah pohon padahal usianya baru 12 tahun, ”Tidak ada yang duduk dibawah pohon itu, kecuali dia adalah seorang nabi,” lalu beberapa tahun kemudian perkataan itu terbukti, dialah Nabi Muhammad saw. Dan tentu saja kita mengerti persoalan skandal pohon di sorga yang didekati Adam dan menurunkannya ke bumi.
Sangat menyentuh ketika beliau mengulang ayat, bahwa tujuh lapis langit dan bumi serta apa yang ada diantara keduanya adalah bertasbih kepada Allah, termasuk pohon pohon dan semua ciptaanNYA.

Lalu Ayman Ahwal, presentasi tentang proyek sungai (up river stream) yang dia kerjakan di Aceh termasuk juga dalam penanaman pohon.

Sehabis presentasi banyak brother dan sister yang datang menemui saya, bertukar kartu nama, dan baru saya sadar bahwa mereka adalah dari berbagai bangsa. Termasuk dua putri manis manis dari Saudi Arabia, yang memperkenalkan diri dan sangat tertarik dengan presentasi dan menjanjikan kontak untuk hubungan lanjut dalam kerjasama arsitektur hijau, karena saya ceritakan tentang M7YAP tentang Green Hajj dan Muslim Green Cities yang sebentar lagi kita gagas sebagai inisiatif baru kontribusi muslim dalam memulai hidup selaras dengan lingkungan.

Foto bersama Dubes RI di London HE.Yuri Thamrin

Suhu dingin 13 derajat diluar Toynbee Hall, ternyata belum mampu membekukan persahabatan, kehangatan dan antusiasme peserta sesama muslim. Sambil menikmati masakan Indonesia: satu persatu saya tanya, dari manakah mereka? Lebanon, Saudi Arabia, Sri Langka, Bangladesh, Nigeria, Libia, Australia, Jepang, Brunai….London. Keperdulian lingkungan ternyata mempersatukan kami.

Subhanallah...

Link Foto-foto kegiatan ada di Eco Muslim

Windsor Celebration

Bersama Prof Dr Talip Alp, Rector Fatih University Istanbul.
Planet bumi dihuni oleh 80 persen manusia yang percaya pada adanya Tuhan. Dan krisis lingkungan termasuk perubahan iklim dan dampak dari peradaban manusia yang mengancam membuat orang kembali merenungi akan makna kehidupan dan melihat kembali ajaran agama. Di kompleks Kastil Windsor (Windsor Castle), 2-4 November berkumpul tokoh agama dan lingkungan di seluruh dunia. Saya melihat beberapa tokoh kunci agama agama-agama, baik dari akademisi hingga praktisi, dari pejabat walikota hingga masyarakat grass root. Para pemuka agama yang hadir antara lain dari 9 agama: Bahai’s, Buddhis, Kristiani, Tao, Hindu, Yahudi, Muslim, Sinto dan Sikh. Ada pemuka agama Tao seperti Master Xing Zhi Ren, Frather Michael Holman, Jesuit, Archbishop Mokiwa Valentine, President of all Africa Conference of Churches. Bishop Walter S Thomas Snr, New Palmist Baptist Church, Baltimore. Kusum Vyas, Hindu Activist, Rt Revenern Richard Chartres, Bishop of London, Syeikh Ali Gomma, Mufti Agung Mesir, Tahiri Naylor, Baha’I, Rabbi Zalman Shachter-Sholomi.


Ini merupakan follow up dari kegiatan yang dilakukan di masing masing komunitas agama untuk berkomitmen menaggulangi fenomena perubahan iklim dengan membuat rencana-rancana jangka menengah (5-10 tahun) yang difasilitasi oleh UNDP dan ARC.
Bertempat di Harte Garter, beberapa kegiatan dan pertemuan mulai dilakukan. Dari mumulai dari berbagi pendapat tentang , mengapa agama agama peduli (Why we do care? Inspirational Stories from the faiths about protecting the environmet), yang membagi cerita para tokoh agama tentang lingkungan dan keprihatinan mereka.



Mokiwa, misalnya mengemukakan selama 10 bulan, hingga sekarang anak yang baru lahir belum kenal adanya hujan. Kekeringan melanda beberapa kawasan di Tanzania sehingga ternak penduduk banyak mati. Sementara di kawasan Mozambiuque di saat yang sama terjadi banjir besar.

Mastern Xing Zhi Ren, mengemukakan tentang pentingnya kheidupan yang harmonis dengan alam dan lingkungan. Sedangkan Dekila Chugyalpa, dari WWF mempresentasikan kerjanya bersama para bikso di Himalaya dalam bergiat melestarikan lingkungan, menanam pohon dan seterusnya.

Mufti Agung Mesir Syekh Ali Jomaa, mengemukanan—yang diterjemahkan dalambahasa Arab—pesan Al Qur an supaya manusia tidak berbuat kerusakan dimuka bumi setelah Allah memperbaikinya. ”Polusi dan pemanasan global memegang peran bahkan lebih mengancam dibandingkan perang dan menyelamatkan lingkungan merupakan upaya positif agar umat manusia dapat bersatu untuk menghadapinya.

Dipandu Jumoke Fasola
Saya berkesempatan untuk tampil pada hari kedua atas semua aktifitas terkait inisiatif agama dan lingkungan di Indonesia. Ternyata kalau dirunut dan dituturkan tidak cukup juga waktu lima belas menit. Menariknya, presentasi dilakukan dengan sistem wawancara ala celebrity, ditanya langsung diatas stage lalu menceritakan tentang apa mengapa dan bagaimana pekerjaan lingkungan dilakukan di Indonesia. Pemandu wawancaranya adalah Jumoke Fasola, broadcaster BBC London dan juga penyanyi Jazz.

Puncak acara adalah ketika jam 11, semua dialog selesai dan peserta dengan pakaian tradisional masing masing agama, menyebrang dari Hotel Harte &Garter menuju Winsdsor Casstle. Saya sebagai satu satunya ’manusia langka dari Indonesia’ karena Dr Hidayat Nurwahid dan Duta Besar RI tidak bisa hadir, berupaya mewakili wajah Indonesia dengan pakai batik dan peci, walaupun suhu diluar 12 derajat dan berangin ditambah gerimis tentu pakai batik.....hehe tambah dingin aja. Arak arakan di pandu oleh panji panji masing masing agama, alam lomba MTQ di kampung saya..menuju Istana Windsor yang usianya sudah lebih dari 900 tahun. Aroma kerajaan sangat teras ketika memasuki Istana dan balroom Chamber of Watherloo, tempat acara. Segala ornamen klasik, dari perisai yang dingantung didinding hingga memenuhi langit langit, sampai tombak pedang, senapan locok, dan baju perang masih ada terpampang. Sayang tidak boleh memontret ditempat ini. Sedangkan fotographer resmi disediakan.

Acara puncak dihadiri oleh Mr Ban Ki Moon, dan Pangeran Philip yang memberikan sertifikat kepada seluruh pemuka agama untuk upaya mereka membuat perubahan dan perbedaan dalam menghadapi perubahan iklim dengan membuat rencana aksi jangka panjang. Setelah itu perjamuan makan siang dilakukan dengan menu vegetarian yang nikmat.

Wassalam,

Foto-foto resmi Windsor ada di: www.windsor2009.org
Foto-foto kegiatan di Windor dari Facebook

Berita Terkait: The Guardian



Friday, October 23, 2009

350 Berani di UIN Jakarta


Saya melakukan poresentasi pertama kali setelah ikut Training --The Climate Project (TCP) di Mexico kemarin --adalah di Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Jakarta (Jum’at 23 Oktober 2009). Presentasi TCP merupakan sarana penyadaran tentang terjadinya perubahan iklim yang harus diketahui oleh semua orang, tak terkecuali mahasiswa sampai masyarakat awam. Sekitar 200 mahasiswa mengikuti dengan tekun presentasi ini. Terima kasih!

Pemahaman harus dilakukan karena menyangkut persoalan masa depan peradaban manusia yang terancam eksistensinya. Penebalan dinding atmosfer terus berjalan dan terekskalasi. Konsentrasi CO2 di atmonsfer telah mencapai 386 ppmv, sedangkan titik aman ambang batas konsentrasi adalah 350ppm. lihat: www.350.org

Maka tema untuk presentasi ini adalah 350ppm. Kampanye ini dilakukan secara global dan hari ini (24 october 2009) adalah Hari PBB untuk Climate Action, ada berbagai rangkaian acara yang digelar di seluruh dunia.

Presenter dan relawan TCP Indonesia menggelar presentasi di 40 Universitas di tanah air. Saya kebagian di UIN. Senang sekali berbagi pengetahuan bersama mahasiswa, mereka bisa memahami perubahan iklim dan diharapkan dapat merubah perilaku dan kearifan terhadap lingkungan, dari mulai diri sendiri hingga pada tataran mereka sebagai mahasiswa di perguruan tinggi, lalu cita cita dan karir mereka di lingkungan.

Doa saya semoga presentasi ini bermanfaat untuk teman teman ini!
Jangan lupa, kalau mau gabung jadi supporter The Climate Project Indonesia cari di Facebook dan juga twitter.


Wassalam,

BERITA TERKAIT


Sunday, October 18, 2009

Melepas Echi dan Septa

Echi dan Septa adalah dua owa jawa yang beruntung. Setelah lama disekap oleh manusia dan tak tahu nasib induknya, Jumat lalu (16/10), mereka dilepaskan ke alam. Ditengah hutan Patiwel yang berdampingan dengan hutan lebat Gunung Gede Pangrango.

Begitulah nasib owa yang populasinya tinggal 4000 di seluruh P Jawa. Jumlah ini tidaklah banyak jika dibanding hanya dengan satu kelurahan di sebuah desa di Jawa. Semakin terdesak mereka, karena ketiadaan tempat tinggal. Saya sampai bingung, manusia telah berada disegala pelosok dari laut hingga gunung yang tinggi.

Seringkali saya heran membayangkan kalau berjalan ke pelosok pelosok nun jauh di pedalaman, kok bisa manusia sampai kesana. Sama halnya kesan heran saya ketika mengunjungi desa Muslim di Papua, beberapa waktu yang lalu.

Ke Bodogol ini bersama Team Miss Earth 2009, setelah memfasilitasi mereka sehari sebelumnya di kantor CII dengan berbagai uraian kompleks seputar lingkungan yang diberikan oleh teman teman di CI.

Berita tentang Pelepasan OWA JAWA:

Thursday, October 08, 2009

Forum Agama Agama dan Perubahan Iklim

Kemarin menghadiri 'Forum Agama Agama dan Perubahan Iklim' di Aula Lt IV Kampus Universitas Sanatha Dharma, Jogjakarta. Beberapa orang yang hadir antara lain Dr Sony Keraf, mantan anggota DPR dan menteri Lingkungan Hidup RI, Pendeta Robert Borrong, Romo Andang, Uskup Agung Semarang, Rektor UIN Sunan Kalijaga, St Sularto Kompas dan beberapa tokoh penting di Jogjakarta dll.

Ini adalah diskusi kalangan terbatas tentang apa yang bisa dilakukan oleh Agama Agama untuk perubahan iklim sekaligus diharapkan bisa dibuahkan sebuah aksi baik dalam tingkatan teologis maupun praksis dalam memberikan response terhadap perubahan iklim.

Selain berbagi pengalaman best praktis tentang banyak hal yang telah dilakukan untuk lingkungan atas landasan iman baik di kalangan kristiani maupun muslim, pertemuan ini menjadi sebuah langkah awal dialog agama-agama dalam membawa pada pencerahan pengikutnya tentang kenyataan bahwa iklim global yang berubah juga merupakan tantangan bersama manusia, tidak terkecuali semua agama.


Dari kiri kekanan, Fachruddin Mangunjaya, St Sularto, Romo Gardjito dan Romo Andang.


Tidak dari Nol
Sepakat tidak mulai dari nol, menggabungkan yang sudah pernah dilakukan, berbagi pengalaman dan aksi yang bisa saling dipelajari antar agama. Romo Andang, misalnya berfokus pada pengelolaan sampah Jakarta yang sangat akut. Langkah kontrit baik kecil maupun besar terus dilakukan, di kalangan gereja maupun di sekolah sekolah Katolik, suatu yang patut dicontoh oleh agama lain untuk menggunakan jaringan keimanan ini.



Saya kira tidak kalah penting adalah eco- pesantren pun demikian. Perlu di sharing dalam forum seperti ini. Banyak kegiatan dan hal yang unik dilakukan untuk perubahan iklim yang dilandasi oleh iman belum didata dengan baik sehingga kelak ini bisa menjadi suatu sinergi bahwa kita telah berbuat. Namun....perbuatan itu adalah masih kurang, terbukti kerusakan lingkungan bertambah parah!

Wallahu a'lam.

LINK TERKAIT AGAMA DAN PERUBAHAN IKLIM:

Saturday, October 03, 2009

The Climate Project Latin America di Mexico

Mucos Gracias! Terima Kasih, saya bisa ada di Mexico, baca mehiko. Sebuah negara kota dengan sisa peradaban tua: Bangsa Maya—Olmecs, Teoticuacan dan Aztecs--yang pernah saya kutip dalam sebuah essay tentang bangsa yang Collapse –mengutip Jared Diamond, karena dilanda krisis lingkungan.

Selama empat malam dan lima hari saya berada di bawah nenaungan gedung gedung menjulang tinggi gaya Spayol di tengah Centro Historico, downtownnya Mexico City yang dipadati oleh 25 juta penduduk. Saya disini untuk pertemuan The Climate Project (TCP). Alhamdulillah, terima kasih atas undangan dan kepercayaan para senior –terutama untuk Dr Amanda Katili-- dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang baik hati untuk kesempatan dilatih sebagai relawan presenter tentang perubahan iklim langsung oleh Honorabel Al Gore, bekas Wapres Amerika Serikat, pemenang nobel perdamaian.

Grup kuning TCP Amerika Latin berfoto bersama
TCP dibuat untuk menyakinkan komunitas masing masing tentang perubahan iklim. Ini merupakan pertemuan kesekian kalinya di seluruh dunia. Pertemuan kali ini diadalah untuk Amerika Latin dan sekitarnya. Sudah ada 3000 presenter yang dilatih ‘First Hand’ oleh Al Gore atas komitmennya untuk meyakinkan public tentang perlunya perubahan dalam menyikapi terhadap perubahan iklim.


Dari Indonesia, sebenarnya sudah ada 50 kader yang telah mengikuti pelatihan serupa ini. Mereka telah mengikuti pelatihan di Australia bulan Juli lalu dalam Asia Pasific Summit TCP. Adapun saya, adalah susulan yang disisipkan dalam acara TCP untuk Amerika latin. Untuk menjadi presenter ini juga diseleksi sangat ketat. Mereka adalah hasil penjaringan dari ribuan pendaftar. Kegiatan ini adalah voluntary dalam upaya fighting the climate change. Oleh sebab itu, maaf, materi presentasi tidak bisa disebarluaskan begitu saja, karena merupakan copyright, dan eklusif para presenter harus dilatih langsung oleh Al Gore dan mendapat sertifikat beliau. Pelatihan di Amerika Latin diikuti oleh perwakilan dari 20 negara, dari Indonesia hadir dua orang saya dan Dr Amanda Katili Niode (Mentor TCP). Disamping Al Gore, untuk memahami konteks regional, presentari dilakukan oleh para ilmuwan kelas dunia seperti Dr. Exequiel Ezcurra Real de Azua on “Climate Change Affectations on Biodiversity in Mexico and the Region , Dr. Carlos Mena, Executive Director of Mario Molina Center, Scientific Advances on the “Fight against Climate Change in Mexico and the Region“ . Mario Molina adalah a Mexican born American chemist, one of the most prominent precursors to the discovering of the Antartic Ozone Hole that earned him a Nobel Prize. Molina adalah seorang yang dipilih oleh U.S. President Barack Obama untuk membentuk transisi dalam mengatasi persoalan lingkungan di AS. Setelah itu barulah kita mendengarkan Presentasi Al Gore yang sangat memukau, tidak ada satu pesertapun bergerak. Gedung Banamex penuh dan tepuk tangan ‘standing opation’ lama…

Deklarasi dan foto bersama dengan panitia dari Pro-Natura Mexico


Kawan. Maka saya sekarang bisa menawarkan diri (voluntary) kalau ingin melihat presentasi Al Gore bisa mengundang gratis (tidak dipungut bayaran), hanya kalau jauh tolong ganti ongkos bensin (hehe), atau naik pesawat tolong ganti tiket saya. Program ini pada dasarnya adalah awareness, diminta pada fellow presenter untuk melakukan presentasi sebanyak2nya. Sepuluh kali sebelum Copenhagen (kalau bisa). Kewajiban saya adalah terutama menjelaskan—mempresentasikan tentang perubahan iklim-- pada komunitas Muslim, pesantren, madrasah, masjid, lembaga pengajian bahkan bisa juga majlis ta’lim ibu ibu yang ingin mengundang.

FOTO FOTO MEXICO
  • Hubungi saya melalui e-mail: fmangunjaya@yahoo.com . Insya Allah saya atau fellow yang lain bisa mengatur waktu presentasi.

Salam Hangat!

Thursday, September 17, 2009

Safari Ramadhan Kaimana, Ditantang Ombak Besar


KAIMANA, PAPUA--Kegiatan safari ramadhan dilakukan berkat kerjasama antara Majelis Muslim Papua (MMP) dan Conservation International International (10-14 September 2009), tujuannya adalah untuk mendekatkan diri pada masyarakat, terutama di perkampungan Muslim di Kaimana. “Safari’ diambil dari istilah safar, yaitu perjalanan, kata ini ada dalam bahasa al Qur’an (arab), aw alaa safarin…dan kalau kamu dalam perjalanan.

Ini sebenarnya merupakan cara lain dari menyambung silaturahim sesama muslim. Karena bulan ramadhan diajurkan berbuat kebaikan termasuk melakukan silaturahim.

Beberapa distrik yang kami kunjungi merupakan distrik berpengaruh di Kaimana. Misalnya pada hari pertama kami mengunjungi Kampung Kambala, Distrik Buruwai bersama Mohammad Lakotani, SH Ketua Umum MMP Kaimana yang juga Camat Buruwai dan Dian Wasaraka staff CI Kaimana Program.

Kami tinggal di tempat pak camat orang Papua memanggilnya Kepala Distrik, beliau adalah camat ke lima di Buruai dan putra asli daerah tersebut. Naik speed boat dari Kaimana ke Distrik Kambala memakan waktu sekitar tiga jam, menyebrang teluk dengan ombak yang lumayan besar dan ganas. Desa Kambala merupakan salah satu dari tiga desa di Distrik Buruai mempuynai sekitar 900 kk merupakan distrik baru. Kampung muslim yang harmonis. Semua orang kenal dan saling sapa menyapa satu dengan yang lain.

Pantai desa ini sangat panjang pasirnya, sehingga ketika kami berlabuh, sedangkan air surut, kami harus berjalan kaki sekitar dua ratus meter menuju muara.
Ceramah dihadiri oleh camat dan kapolsek sambil menyerakan jam kegan kenangna dari CI Indonesia.


Bersama anak anak Kaimana di Kampung Seram

Naik speed boot dengan kakuatan 230 tenaga kuda, kampung Kabala yang ditempuh 7 jam hanya dapar dicapai dua jam dari Kaimana. Rupanya gelombang cukup besar sehingga membuat nyali menjadi ciut ketika dihempas ombak. Ayunan ombak menghempas-hempas speed boat warna merah yang melaju di tengah laut yang tak bertepi.


Selamatkan Kapolsek
Hari kedua Jum’at, Kaimana Arguni atas (Arguni Tua), Ibukota Kec Arguni, bertemu masyarakat. Sebuah kampung yang luar biasa jauh dari keramaian, Bufwer namanya, hampir saja kami tidak batal ketempat ini karena siang sebagaimana rencana akan berangkat setelah Jumat, tetapi speed boat ternyata digunakan dulu untuk mencari ‘Kapolsek’ yang hilang memancing…Angin dan gelombang sangat besar kemarin, membuat speedboat warna merah dengan mesin ganda itu terkadang terhuyung huyun dihempas gelombang.

Pak distrik mendadak mendapat telpon memohon pertolongan untuk mencari pen roda speed boat kapolsek yang patah. Kami di drop duluan ke Kaimana, dan aku sempat shalat Jumat disebuah masjid jami tidak jauh dari pantai. Setelah mandi dan bersiap kami kembali menuju pelabuhan untuk berangkat ke Arguni Atas. Ternyata keberangkatan ditunda sampai jam empat, setelah pencarian kapolsek yang untungnya ketemu setelah beberapa jam hanyut.

“Angin timur ini memang cukup besar dan kadang gelombang tidak pasti,” kata Om Ibrahim yang mencoba meramal tentang kondisi cuaca. Kami bercengkrama bersama masyarakat sambil menunggu kedarangan speed boat, termasuk aku berkenalan dengan Thaha al Hamid salah satu tokoh yang disegani di Papua.

Rombongan ke Arguni menjelang sore, tanpa Pak Kepala Distrik Buruwai tapi katanya di Bafwer, desa yang kami akan singgahi sudah ada Pak Jaffar Worfete, sekretaris Majelis Muslim Papua (MMP), KUA, Wakadis Buruai Arsyad Lakotani ? Kami mulus berangkat. Menikmati pemandangan, menyebrang teluk dan menikmati kesegaran udara laut yang tidak ada duanya. Masuk ke Teluk Arguni, saya diceritakan tentang Gunung Genova, yang penuh misteri tempat para raja memperoleh kesaktian. Mereka –konon—memperoleh keris dan kesaktian dari tempat ini adalah: Soekarno Presiden RI pertama, Raja Ternate, Raja Namatota, Raja Buton, dan Raja Maluku. Ada juga legenda Gunung Nabi yang sangat misterius, konon, puing bekas pahatan kapal Nabi Nuh ada di atas gunung ini. Mendaki atau mengunjungi kawasan ini bisa menyebabkan kematian.

Bufwer merupakan adalah salah satu desa kecil dari tiga desa dengan jumlah hanya ratusan kepala keluarga. Disini komunitas muslim tumbuh harmonis dengan toleransi yang tinggi dengan agama Kristiani. Mereka saling tolong menolong bahkan untuk berburu, mereka meminjam anjing dari umat nasrani tetangganya. Pak Abdullah bercerita kepada saya, setiap ada acara di kampung Bufwer, mereka menjamu dan menghormati tamu dan seringkali untuk menyiapkan perjamuan mereka harus mencari daging rusa atau kasowari. (catatan: Kasowari adalah binatang yang dilindungi. Masyarakat tidak banyak tahu tentang ini rupanya!)

FOTO-FOTO Perjalanan di KAIMANA

Kalau yang pinjam anjing mereka adalah untuk menjamu seorang muslim, maka anjing-anjing ini tidak mau menggigit mangsanya. “Saya juga heran, setiap orang muslim yang pinjam anjing orang nasrani, lalu anjing itu berburu. Mereka cukup hanya mengepung mangsa tersebut, menyalak dan menunggu kita,” tutur Abdullah. Seolah anjing tahu bahwa Muslim diharamkan untuk memakan buruan yang digigit anjing dan kemudian mati. Berlainan kalau tuannya yang melepas untuk keperluannya. Mereka akan langsung menggigit mangsa tersebut.

Di kampung Bufwer, kami disambut dengan rebana dan gendering terbang oleh anak anak dan pemuda desa. Saya tidak menyangka mereka menghormati sedemikian ramah. Mereka mengalu-alukan kami, menggiring kami ditengah hujan gerimis ke sebuah tenda yang tampaknya dipersiapkan dengan janur dan umbul umbul.

Gagal ke Namatota
Sayang sekali rencana kunjungan ke Namatota gagal total, karena kami terhambat dengan kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Nakhoda speed boat tampaknya tidak mau mengambil resiko setelah melihat angin rebut dan gelombang besar minggu siang. Saya pun tinggal di mess dan memanfaatkan waktu dengan sebaiknya membuat laporan ini. Tabik!

Wednesday, September 02, 2009

Green Lifestyle Kelestarian Lingkungan Bagian dari Iman

Ditengah Pulau Sipora nan jauh, di tengah mulai Bulan Puasa, saya mendapat SMS untuk menjadi narasumber di Metro TV dalam acara Green Lifestyle yang difasilitasi KLH, bertema "Kelestarian Lingkungan Bagian dari Iman" bersama Dr Henry Bastaman, Deputy Menteri Lingkungan Hidup.

Ini adalah talkshow pertama kali di sebuah TV swasta yang saya anggap merupakan kehormatan yang diberikan karena konsentrasi aktifitas saya pada Islam dan Lingkungan yang saya tekuni akhir akhir ini. Sejak awal saya berkeyakinan, topik agama dan lingkungan akan menjadi avant garde dalam pembicaraan solusi lingkungan hidup kedepan. Persoalan lingkungan kita adalah persoalan bagaimana bisa mengubah perilaku yang business as usual menjagi yang lebih ektrim dan pro lingkungan. Agama adalah faktor yang bisa mendorong ke arah itu tanpa banyak menghabiskan energi karena ruh internal yang dimilikinya.



88% persen penduduk dunia ini percaya akan agama. Artinya lebih dari tiga perempat penduduk bumi ini bisa diyakinkan atas ajakan kebaikan memelihara bumi, dampaknya luar biasa. Muslim di bumi jumlahnya 1.6 milyar, mengajak umat Islam untuk sadar lingkungan dengan menggali kembali khazanah kearifan yang kita miliki, ini menjadi satu satunya mobilisasi luar biasa dalam menyikapi persoalan lingkungan.

Sebab itulah keyakinan agama menjadi penting. Pembukaan dialog saya buka dengan: "Siapa kampainer pertama dalam bertanggungjawab melestarikan kehidupan di bumi," jawabnya 'Agama agama dunia' tidak terkecuali agama manapun.

Agama mempunyai modal 5 R, a. Re reference, yaitu modal berupa rujukan akan keyakinan yang diperoleh dari kitab-kitab suci—text-- yang dimiliki oleh pemeluk agama-agama; kedua,
b. respect, atau saling menghormati yang menjadi dasar untuk menghargai semua makhluk hidup; ketiga,
c. restrain, yaitu kemampuan untuk mengontrol sesuatu supaya penggunaan sesuatu agar tidak mubazir; dan keempat,
d. redistribution, kemampuan untuk membagikan kebahagiaan atau harta dalam bentuk amal, misalnya di dalam Islam dikenal dengan infak dan shadaqah; dan
e. kelima responsibility, sikap bertanggungjawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam.


Muslim mempunyai pegangan sakral dengan teks Al Qur'an yang rahmatan lil alamin, juga muslim mempunyai alat yang sangat banyak dalam mengajarkan manusia untuk bertindak rakus dan terlalu digdaya di bumi.

Jauh sebelum al Gore mengkampanyekan perubahan iklim dan perubahan gaya hidup 14 abad silam Rasullullah saw menyuruh kita supaya mensyukuri karunia Allah, tidak membuang sumberdaya dengan sia sia (mubazir), bahkan ketika berwudhu pun kita disuruh berhemat air. Dalam sebuah hadis diriwayatkan sahabat Nabi Saad, telah ditegur karena wudhunya telalu banyak menghabiskan air.
”Ya inikan untuk wudhu,” ya Rasullullah”
”Tidak boleh memboroskan air. Bahkan jika kamu berada di air mengalir sekalipun.”
Jadi kita disuruh untuk berhemat.

Persoalan manusia modern sekarang adalah tidak berhemat! Boros sumberdaya. Tidak bisa merubah perilaku yang kemudian berdampak pada ketidak seimbangan di bumi padahal Allah mengatakan innallaha la yuhibbul musrifinnn...allah tidak suka orang yang boros dan membuang-buang sumber daya.

wallahu a'lam

Mencari Paman Joja, Ketemu ‘Teletong’

Sehari sebelum ribut (26 Agustus 2009) tentang penjualan pulau dan cottage di Kepulauan Mentawai, saya pergi ke Pulau Sipora (salah satu pulau besar di Mentawai). Saya sebenarnya berada ditempat ini selama empat hari untuk menyaksikan dari dekat pulau yang sangat unik ini. Saya mengadakan perjalanan jurnalistik, untuk mewawancara Bupati Edison Selalubaja, yang agak sulit ditemui karena sibuknya dan agak orangnya sedikit eksklusif.

Kegembiraan anak Bermanua di depan sekolah mereka yang bersahaja

Semula hampir saja saya batal menuju pulau ini. Karena melihat kondisi gempa yang bertubi tubi di Padang dan Kepulauan Mentawai antara tanggal 21-24. Tapi karena penasaran dan sudah menjadi ‘azam’ saya berangkan juga. Dr Ardinis Arbain, dosen Universitas Andalas memberikan doanya pada saya. “Faija azamta fatawakkal Allaah,” ujarnya. Menuju Pulau Sipora, anda harus ikut pesawat kecil dengan penumpan 14 orang dan mendarat di Pulau Rokot. Sebuah pesawat agak tua dan masih layak terbang dengan pilot dan co-pilot langsung bisa disaksikan ‘menyetir pesawat’ tanpa pembatas. Saya lihat beberapa bule membawa peralatan selancar menghabiskan dua tempat duduk untuk menggotong barang berupa papan sepanjang lebih kurang dua meter itu. Satu satunya penerbangan adalah pesawat ini. Tidak ada alternative, namanya SMAC Sabang Merauke Air …, teman saya Bonie berseloroh bukan itu singkatannya: “Siap Mati Atau Cacat”. Hehe.

Hati saya tadinya ciut, tapi setelah tiba di Bandara Rokot, dengan aman. Barulah saya lega. Deri Rokot kita, belum selesai tujuan. Harus naik Boat sekitar setengah jam menuju Tua Pejat (artinya tempat persinggahan) yang menjadi ibukota Kepulauan Mentawai. Ada empat pulau besar di Mentawai: Siberut, Sipora Pagai Selatan dan Utara. Empat pulau ini merupakan pulau terluar di demarkasi Republik Indonesia dengan gelombang dan galur sebersar bukit dan gunung menerpa pantainya. Sebab itulah tempat ini menjadi tujuan surfer terbaik di dunia.

Bersama penduduk sedang membuat perahu dari pohon meranti.

Pulau Sipora merupakan salah satu pulau dengan keunikan satwa endemic yang terancam punah. Pulau kecil ini tidak lebih luas dari DKI Jakarta. Masih syarat dengan tumbuhan alami dan belum berkembang. Kini menjadi ibukota dengan kesibukan pokok pembangunan jalan dan infrastruktur. Karena di pulau dengan tanah pasir yang labil, jalan dibuat beton, tapi menurut penduduk belum kunjung selesai dan pembangunannya sangat lama. Jelas saja, kendala utamanya semua alat dan barang didatangkan dari Kota Padang, dari mulai batu, pasir hingga semen.

Siteut

Di pulau ini ada satwa sangat khusus pulau kecil ini, tidak ada di pulau manapun di dunia, termasuk di sebelah pulau yang lainnya di Kepulauan Mentawai dia adalah: bilao atau siamang kerdil dan tupai sipora. Karena itu pulau ini masuk arsir merah sebagai yang ditandai oleh AZE (alliance of zero extinction) sebagai bentuk ‘warning’ kepada dunia untuk keperdulian khusus kawasan ini memiliki satwa paling kritis dan terancam keberadaannya.

Saya ingin membuktikan sendiri ketempat ini. Saya pergi ke Desa Berkat (Pecahan Desa Bermanua), sekitar 40 menit dengan perahu tempel dari Tua Pejat. Sebuah desa yang baru dibangun. Penduduknya merupakan eksodus dari Desa Bermanua (artinya tidak berlangit, bahasa Mentawai), sebab dilanda bencana gempa dan tsunami tahun 2007.

Tidak ada listrik disini, ada milik penduduk berupa genset. Tapi ketika saya disana tidak dinyalakan karena penduduk tidak bisa membeli solar. Masyarakatnya masih miskin. Sehari saya datang kesini, saya ikut dijamu dirumah masyarakat, kami makan talas, dan sedikit nasi, dan hanya sekali itu makan. Sehari semalam saya makan cemilan dan indomie yang saya bawa.

Ada sekitar 40 kepala keluarga yang tinggal dikampung ini. Mereka memulai hidup dari nol karena hanya papan rumah sebagian dan nyawa mereka yang bisa diselamatkan dari tsunami yang kejam. “Tidak ada yang tersisa, baju pun hanya yang kami pakai saja,” karena kami semua lari ke bukit, kata Eliakim Sawabalad (45 tahun) getir mengingat. Ditempat beliau inilah saya tinggal. Rumahnya berukuran empat kali enam meter. Terlalu sempit untuk menampung tamu.

Ketemu Teletong Paman Joja
Menjelang sore, kami ke hutan di belakang kebun petani di bagian belakang kompleks perkampungan Berkat. Niatnya mencar Joja, Siteut dan Simakobu atau monyet kerdil Mentawai yang hampir punah itu. Tapi kami berjalan hampir empat jam di belantara. Hanya bertemu suara mereka, dan kotorannya. Kebetulan hujan gerimis, jadi agak sulit mendengarkan suara satwa karena gemercik hujan yang mendera daun. “Musim panas kemarin, mereka banyak mendekat kebun kami. Karena air di hutan tidak ada, juga makanan tidak banyak.” Kata seorang penduduk, menceritakan monyet monyet itu cenderung ke kampung dan minum di sungai dekat perkampungan yang airnya masih tersedia banyak.
“Paman Joja, dimanakah kamu,” kata ku bergumam sambil menenteng kamera. Kami pulang dengan tangan kosong kecuali potret ‘teletong’ atau kotoran alias peces. Hehe lumayan! Ini menunjukkan mereka masih benar benar ada!

Monday, August 17, 2009

Dirgahayu Indonesia Raya!

Kawan! Selamat hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 64. Ditengah arus mabuknya hedonisme dan keluhan para veteran yang kecewa tentang kondiri kita sekarang--seperti yang kudengar di radio-- tentang Indonesia kita ini: kita harus tetap bersyukur. Namun sebagai orang yang bergelut di gelimpangan dan kancah persoalan lingkungan hidup Indonesia, keadaan negeri kita tidak menggembirakan. Sumber daya alam terkuras habis. Daerah-daerah dimekarkan oleh para politisi untuk mengakomodasi --bukannya kepentingan rakyat--tetapi adalah percepatan pengurasan sumber daya alam yang semakin massif.

Ketika pagi aku buka sms tentang ucapan selamat ulang tahun kemerdekaan Indonesia, saya tersenyum kecut mendapatkan sms dari seorang teman dengan pesan yang arif: 'Saatnya bersikap Eigati (ngeman, hati hati, memelihara) terhadap alam Indonesia. Setelah 64 tahun merdeka, karna telah nyata kerusakan (dengan skala dan besaran yang semakin menghawatirkan) pad sumber daya tanah air, laut, hutan dan lahan di Indonesia. Dirgahayu Indonesiaku (Wiratno dan keluarga).

"Terima kasih. Mari bersyukur yang artinya tidak membuat kerusakan." itu jawabku ringkas.

Saat blog ini ditulis saya juga mendapatkan ucapan: "Merdeka! bagaimana kabar Bapak? Di hari peringatan kemerdekaan ini, mari kita isi dengan perencanaan dan kegiatan agar Indonesia benar-benar merdeke. (dari Sevul, Ikatan Mahasiswa Biologi Indonesia, UGM).

Memang sebaiknya kita merenung tentang kemerdekaan ini. Sambil mencari bendera lusuh di dapur yang hanya dipancangkan setahun sekali di depan rumah. itupun hampir tidak ketemu, karena terselip entah dimana. Saya berfikir, bagaimana kalau Lagu Indonesia Raya dilantunkan secara lengkap dalam upacara upacara kenegaraan. Bukan hanya bait pertama saja reff yang dinyanyikan, tetapi semuanya.

Coba Anda dengar reff Indonesia raya yang sangat mulia dan menyentuh (bisa di klick di bloq sebelah ini):

Reff2. Indonesia, tanah yang mulya, tanah kita yang kaya
disanalah aku berdiri untuk selama lamanya..
Hiduplah tanahnya, bangsanya raknyatnya semuanya..
Indonesia tanah pusaka tanah kita semuanya
Marilah kita mendoa

Sadarlah hatinya...hatinya budinya untuk Indonesia raya...

Indonesia tanah berseri tanah yang aku sayangi...
marilah kita berjanji Indonesia abadi..

Slamatlah pulaunya, lautnya.... semuanya..



Renungkanlah!
Apa yang diperoleh setelah 64 tahun? karena Indonesia Raya tidak dinyanyikan lengkap? pulau kita hilang. Pasir kita dijual ke negara tetangga. Tambang kita dikeruk untuk keuntungan asing..., hutan kita ditebang habis dan dibuldoser dan itu tentu tanpa melihat bahwa ini adalah pusaka rakyat Indonesia yang dipertahankan.

Mulai sekarang bernyanyilah dengan lengkap Indonesia Raya. Jangan lagi ada kesalahan...dan penjualan atas apa pun yang ada di negeri ini!

Apalagi mencoba untuk melupakan bernyanyi lagu Indonesia Raya dalam acara kenegaraan.. harus ada sangksi keras dari seluruh rakyat Indonesia.

tabik kawan!

Berdiri dan Merdekalah..Indonesia Raya!

Thursday, August 06, 2009

OPINI: Rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim

Fenomena perubahan iklim memang menjadi keperdulian semua pihak tidak terkecuali para pemimpin agama. Kita semua telah tahu, keburukan yang terjadi sehingga bumi menjadi tidak seimbang dan perubahan yang ada di alam dapat mengakibatkan bencana, adalah akibat perilaku manusia.

Jadi untuk mengelola bumi yang sehat dan lebih baik kedepan diperlukan perubahan perilaku manusia dalam mengelola, mengayomi dan melindungi bumi dari kerusakan.

Tanggal 6-7 Juli lalu, di Istanbul, Turki, telah diadakan Konferensi Islam dan Lingkungan dan dilengkapi response negara negara muslim dengan deklarasi rencana aksi Muslim untuk Perubahan Iklim Global selama tujuh tahun (Muslim Seven Year Action Plan (M7YAP) to Deal with Global Climate Change). Selanjutnya >>>>

Album Islam & Environment Conference Istanbul, Turkey

Thursday, July 16, 2009

Dua Peradaban yang Berlanjut

Dua tempat wisata yang jaraknya dapat ditempuh berjalan kaki—karena berdekatan—dan sangat bersejarah selain Masjid Biru di Istanbul, yaitu: Museum Ayasofia dan Istana Topkapi (Topkapi Sarayi). Saya memasuki Ayasofia pada hari kedua, menggunakan kesempatan karena pertemuan konferensi diadakan hanya sampai jam 4 sore. Karena musim panas, jadi matahari terbenam –maghrib—jam 8.30. Jadi empat jam saya gunakan waktu sebaiknya untuk menjiarahi tempat-tempat bersejarah.

Ayasofia. Musium berwarna krem dan megah ini, menjadi tujuan yang menarik karena didalamnya kini adalah museum. Dengan masuk membayar 20 lira (sekitar 150 ribu) kita bisa bebas melihat sepuasnya melihat bangunan yang tadinya adalah merupakan gereja tetapi mirip masjid ini.

CERITA TENTANG SEJARAH HAGIA SOPHIA ada di sini

Hagia Sophia (Ayasofia), yang tadinya merupakan gereja basilica yang dibangun oleh Imperium Bizantium, Romawi Timur merupakan bangunan yang menakjubkan dengan materi-materi kuno berusia 1500 tahun berdiri sangat mengah. Konon, bangunan ini didirikan selama lima tahun melibatkan 1000 ahli dan 10.000 pekerja. Dalam sejarah, Justinian, raja yang mendirikan katedral ini, meresmikan gereja yang megah dan luar biasa ini dan memasukinya sambil bergandengan tangan dengan umatnya. Saking senangnya, Justianus, berujar:”Sulaiman, aku telah mengunggulimu.”Setelah masuk ke ruang, saya bersujud syukur, bisa mengunjugi tempat ini. Betapa tidak saya mempelajari sejarah Islam sejak di sekolah dasar dan membaca perjuangan heroik penaklukan gereja ini dengan semangat jihad yang luar biasa. Padahal penaklukan dilakukan 800 tahun setelah Rasulullah saw wafat.

Karena bangunan ini menjadi museum, jadi beberapa objek memang dilestarikan. Anda bisa melihat mosaic lukisan gereja seperti: gambar Yesus, Bunda Maria dan Raja Konstantin, yang tadinya diplaster setelah gereja ini dijadikan masjid, kini dimunculkan kembali. Bangunan ini masih berdiri sangat kokoh dengan lengkung (arcade) dengan pilar penyangga yang terbuat dari campuran proconessos putih, tesselian hijau, batu emas Libia, pigian berwana pink dan marmer gading cappadosian.Saya mencoba memeluk salah satu pilar ini. Sejuk terasa di kulit, tangan saya hanya bisa menggapai setengah lingkaran tiang itu. Di dalam masjid ini juga dijumpai dua kendi raksasa tinggi sekitar 2 meter dan diameter 1.5 meter yang diboyong dari Pergamon semasa pemerintahan Sultan Murad III (1574-1595). Bangunan ini dirawat dengan sebaik-baiknya secara turun temurun di zaman Dinasti Usmani, menambahkannya dengan berbagai ornamen Islam, seperti tulisan Allah, Muhammad dan empat khalifah (Abubakar, Umar, Utsman dan Ali).

Mihrab merupakan tambahan dengan mengganti altar yang menghadap ke Timur. Mihrab dan Mimbar (tempat khutbah) dibangun belakangan terbuat dari marmer. Di bagian lain terdapat perpustakaan masjid yang dibangun pada jaman Mahmut I. Ruang perpustakaan ini unik berdekorasi dengan lantai Iznik mampu menampun 30.000 judul buku.

Di bagian belakang masjid terdapat lorong dan masih ditemui sebuah cawan besar tempat pembabtisan. Kini tempat ini dijadikan tempat galleri untuk memajang foto-foto bersajarah tentang Ayasofia termasuk kunjungan para petinggi negara yang pernah datang ke tempat ini.



Bagi saya yang mengesankan ketika keluar pintu sebelah utara. Saya memperhatikan daun pintunya raksasa yang sangat kuat dan terbuat seluruhnya dari perunggu. Menarik lagi disebelah pinti itu, ternyata ada sebuah tulisan beraksara arab dan tidak diterjemahkan. Hanya sebagian orang yang berkunjung kesitu, mungkin mengerti maknanya. Saya jadi ingat pelajaran sejarah Islam dan sebuah hadist yang pernah diajarkan oleh Ayah saya dulu. Hadist ini ternyata tertera di Ayasofia. Terjemahnya kira kira demikian: “Konstantinopel akan takluk (difutuhkan). Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”

Sungguh mengesankan. Konstantinopel takluk oleh Sultan Muhammad II Al Fatih, dan sejarah ini tercatat setelah hampir 800 tahun setelah Nabi pernah bersabda di tengah para sahabatnya itu. Subhanallah!

Istana Topkapi
Masuk Istana Topkapi jika musim libur Juni ini, anda harus sanggup mengantri dan berjejal-jejal. Membayar 20 Tl. Setiap hari ada puluhan ribu pengunjung melihat tempat ini. Yang menarik di Topkapi adalah istana dengan peninggalan sejarah kejayaan Islam mengagumkan.

Istana ini dibuka untuk umum dan ruang-ruangnya dipamerkan-- di masing-masing kamar istana,--peninggalan-peninggalan bersejarah dari mulai pakaian prajurit hingga baju kebesaran para Sultan Dinasti Usmani. Karena Dinasti Usmani adalah penguasai kekhalifahan Islam terakhir, maka banyak warisan koleksi suci umat Islam, berada disini misalnya: kunci ka’bah, kasing batu hajar aswad, dan pancuran (talang air) ka’bah yang terbuat dari emas hingga tongkat nabi musa.
Disudut lain juga ada koleksi perhiasan para sultan, pedang yang pernah dipakai para khalifah dan pedang Nabi Muhammad saw.

Istana ini sangat luas sehingga untuk berkeliling dan melihat secara lengkap diperlukan waktu setengah hari atau tiga hingga empat jam. Pengunjung yang ingin mendapatkan penjelasan secara elektronik bisa menyewa alat penjelasan di bagian pelayanan pengunjung dan bisa memutar frekwensi alat sesuai dengan nomor objek yang dikunjungi.



Tempat menarik juga adalah ruang rapat para menteri dan penasehat raja. Ruang ini sangat asri dengan ukiran dan ornament klasik bertatah warna warna keemasan. Tempat favorit lain di kompleks istana yang banyak diminati adalah mengunjungi kamar harem. Kompleks ini terdiri dari 250 kamar, tempat pemandian dan lain lain. Karena tempat yang banyak diminati, anda harus merogoh kocek lagi untuk membayar 15Tl (Rp100 ribu) untuk melihat tempat ini. ***

Sunday, July 12, 2009

Istanbul Aku Datang!

Tiba di Istanbul, tarikh 5 Juli dan mengikuti konferensi Islam and Environment 6-7 Juli 2009. Istanbul, yang dulunya Konstantinopel, adalah sebuah kota peradaban yang sangat tua. Di kota inilah dinasti terakhir Khilafah Islamiah Dinasiti Usmani (Ottoman Empire) berakhir dan meninggalkan peradaban yang masih mengesankan hingga kini.

Saya dan teman teman dari NU, Muhammadiyah, Departemen Kehutanan dan Kementerian Lingkungan hidup diundang untuk menghadiri Konferensi Islam and Environment sekaligus deklarasi Muslim 7 Year Action Plan for Climate Change (M7YAP). Ini merupakan kegiatan lanjutan sejak setelah drafnya dibuat di Kuwait bulan Oktober 2008, dan sekarang adalah deklarasi. Ada sekitar 80 scholar, praktisi, perwakilan pemerintah dan akademisi serta para mufti dari berbagai negara Islam yang hadir ditempat ini. Seperti: India, Emirat, Qatar, Maroko, Kuwai, Saudi Arabia, Senegal, Palestina, Turki, Malaysia, Indonesia, Mesir dll.

Tiba di Istanbul jam tiga sore kami menginap di Hotel Kalyon yang sudah disiapkan oleh panitia. Rasanya tidak sabar untuk melihat Ayasofia dan Blue Mosque yang terkenal itu. Ternyata hotel ini tidak terlalu jauh tempat tempat bersejarah itu. Kalyon terletak di pinggir pantai dan jalan besar dengan dua jalur umum serta berdekatan dengan garis pantai selat Basforus yang menyambung sampai ke Laut Hitam.

Lautan didepan hotel dipenuh dengan kapal kapal dagang dan perahu hilir mudik. Kontur kota Istanbul yang berbukit dan masih asri dengan pemandangan yang terpelihara sangat menyenangkan untuk dilihat. Angin sepoi-sepoi terasa menerpa kulit. Saya keluar kamar dan menggunakan sisa waktu dan berkenalan dengan teman Prof Najib Abdul Wahab Alfili, seorang Guru Besar Syariah dari Uni Emirat Arab yang rupanya satu pesawat dengan saya.

Keluar dari Kalyon Hotel, yang langsung berhadapan dengan Laut Marmara, saya berjalan hingga menuju tikungan dan berada di ujung jalan dan belok kekiri. Tidak berapa lama berjalan, saya diterperangah dengan bangunan agung berwarna krem kemerahan dangan kubah dan dua menara tepat berada didepan saya. Inilah rupanya Ayasofia yang terkenal itu! Tidak jauh ketika saya menoleh kekiri jalan, saya juga terpana oleh bangunan megah yang lain, dengan kubah berwarna biru. Inilah rupaya masjid besar Blue Mosque yang dibangun oleh Sultan Ahmed.

Ayasofia (Hagia Sophia) yang artinya kearifan yang suci yang semula merupakan Gereja Basilika yang didirikan oleh Konstantinus-- Putra Konstantin yang Agung--- kemudian direbut oleh oleh tentara islam, dan kemudian dijadikan masjid dengan tidak merubah arsitekturnya dan hanya mengganti dan menambah kelengkapan di masjid, misalnya termpat berwudlu, mihrab yang menhadap ke timur dan mimbar untuk khatib berkhutbah.

Menurut sejarah, sejak tahun 1453, sultan menjadikan gereja ini masjid dengan mengganti ornament yang ada tersebut tanpa merusaknya. Syahdan dalam sejarah tercatat, bahwa Sultan Mehmed II, pada suatu hari perebutan dan Konstantinopel jatuh ditangan kaum muslim, beliau turun dari atas kudanya lalu dan sujud syukur.

Peradaban berganti ganti di Istanbul yang nama sebelumnya Konstantinopel, lalu diganti namanya menjadi Istanbul. Istanbul kemudian menjadi pusat perkembangan Kekhalifahan terakhir Islam dengan Dinasti Ottoman yang menjadi negara super power saat itu.

Karena hari Minggu, ternyata Ayasofia pun tutup, saya melangkahkan kaki menuju Masjid Biru yang dibangun berseberangan dengan Ayasofia. Karena sendiri saya mencoba berkenalan dengan para wisatawan yang ada di kiri kanan saya untuk memberikan kamera dan sesekali mengabadikan diri. “Indonesia…” saya tahu anda pasti dari Indonesia, kata Ahmet yang mengajark keluarganya untuk menyaksikan masjid bersejarah itu. “check..check...” “foto..foto”, lalu berikan kamera pada mereka. Ahmet bersama keluarganya terlihat surprise ketika saya kenalkan bahwa saya seorang muslim. “Ah..muslim, good. Ini Mustafa..” katanya memperkenalkan pada saudara disebelahnya sambil mengoceh dalam bahasa Turki yang tidak saya mengerti.






Rupanya bulan Juli ini, adalah musim panas di Turki, sehingga hari menjadi panjang. Saya menyaksikan orang sangat menikmati hari panjang ini dengan duduk-duduk di taman Masjid Biru dan bercengkrama dengan sanak keluarga. Di depan Masjid Biru selain terdapat taman yang luas dan indah, juga disediakan tempat duduk berjajar jajar. Seperti halnya di taman-taman publik di Indonesia, disini juga ada pedagang kaki lima. Ada yang berjualan buah segar yang langsung dikupas digerobaknya. Ada yang berjual jagung bakar dan kue kue khas Turki, minuman turkusu –merah seperti sirop dan terlihat manis—tapi rasanya asam seperti acar!

Anak anak riang bermain ditaman. Apalagi ini hari minggu dan libur. Beberapa wisatawan tentunya banyak yang berasal dari Eropa Timur, termasuk dari Yunani, Spanyol hingga Rusia.

Turki memang unik. Dua benua bertemu disini dan hanya dibelah oleh Selat Balforus. Jadi sebagian wilayan mertropolitan Turki berada di Asia dan Sebagian lagi di benua Eropa. Istanbul menjadi salah satu kota terpadat di Eropa dengan penduduk 15 juta jiwa, lebih padat dari Jakarta, tetapi secara sepintas saya menyaksikan kawasan kota tua ini memang tertata dengan baik sehingga kegiatan wisata maupun kegiatan public yang lain menyebar di beberapa tempat.

Kota Istanbul kini menjadi tujuan wisata yang sangat diminati. Pada musim liburan seperti ini, ada jutaan pengunjung kawasan ini. Saya menyaksikan mobil mobil tour penuh mengantri.



Saya terus melangkah melihat sekeliling Masjid Biru, sebuah masjid dengan dua kubah bertingkat lima—menggambarkan rukun Islam serta jumlah waktu shalat, dan enam menara yang menggambarkan rukun iman dangan jumlah tingkat menara yang berjumlah 16 menggambarkan masjid ini dibangun oleh Sultan ke enam belas dari Dinasti Usmani. Rupanya masjid ini memang dibuka untuk umum dan masih berfungsi dengan baik.

Karena perjalanan sudah sore, saya berminat untuk langsung saja shalat maghrib di masjid ini sebagai awal pengalaman. Saya mencoba bertanya pada salah seorang pengunjung taman, jam berapa biasanya shalat magrib? Dia tersenyum saja. Dan menoleh kepada istrinya, rupanya walaupun muslim, pemuda paruh baya ini juga jarang shalat. “Tanya pada istri saya, jujur saja saya juga jarang shalat,” katanya sambil tertawa mesam. Rupanya shalat maghrib jam 8.30 karena memang matahari sangat panjang bersinar.

Memasuki masjid, saya sangat kagum dengan arsitektur yang begitu agung dan kuat. Pintu pintu masjid ini terbuat dari perunggu, sedangkan hampir seluruh bangunan terbuat dari granit dan batu pualam yang terkadang hampir seluruhnya terlihat utuh tanpa sambungan. Empat tiang penyangga yang menjadi sokoguru masjid ini luar biasa besarnya, sehingga disebut kaki gajah (elephant foot) garis tengahnya kurang lebih tiga meter, murni batu pualam, membuat orang awam seperti saya bingung membayangkan bagaimana cara mendirikan dan membawa batu yang bulat penuh ini ke tempat yang agung ini.
_____
ALBUM:
Menuru Wikipedia, masjid ini dibangun antara tahun 1609dan 1616 atas perintah Sultan Ahmed I, yang kemudian menjadi nama masjid tersebut. Ia dimakamkan di halaman masjid. Masjid ini dikenal dengan nama Masjid Biru karena warna karena dome atau kubahnya yang berwarna biru. Akan tetapi cat biru tersebut bukan merupakan bagian dari dekor asli masjid, maka cat tersebut dihilangkan. Sekarang, interior masjid ini tidak terlihat berwarna biru.

Arsitek Masjid Sultan Ahmed, Sedefhar Mehmet Aga, diberi mandat untuk tidak perlu berhemat biaya dalam penciptaan tempat ibadah umat Islam yang besar dan indah ini. Struktur dasar bangunan ini hampir berbentuk kubus, berukuran 53 kali 51 meter.
Sambil menunggu shalat magrib, saya berkenalah dengan Maksum (53 tahun) yang mengaku pernah menjadi imam di Masjid Venicia, Italia dan kini pensiun dan menjadi pemandu wisata khususnya masjid biru ini.

Dari lelaki berpenampilan parlente ini, saya mendapatkan keterangan cukup banyak tentang masjid biru. Dia mengajak saya berkeliling. Dari beranda depan, bagian utara Masjid dimana pintu masjid berhadapan dengan taman, air mancur dan pintu gerbang masijid. Dari tempat ini masih bisa dilihat kubah Ayasofia yang tidak jauh letaknya.
Maksum menjelaskan bahwa masjid ini, didirikan sebagai pusat kegiatan umat, selain masjid sebagai tempat beribadah, juga ada madrasah, rumah sakit, pasar tidak jauh dari masjid dan disediakan juga dapur tempat memberikan makan bagi mereka yang kelaparan (fakir miskin) sebagai jaminan sosial pemerintah Islam.

Sultan apabila tiba untuk shalat berjamaah, datang dari pintu utara, dimana ada rantai dibentangkan yang menjadi perlambang, siapa saja yang masuk masjid, mereka adalah sama, dan harus tunduk. Tidak ada yang membusungkan dada. “Sultan, rakyat adalah sama dihadapan Allah swt,” kata Maksum menjelaskan. “rantai ini usianya 600 tahun dan masih ada disini.

Dia menunjukkan saya pada balkon disamping taman masjid yang letaknya di lantai dua. “Itu tempat sultan melambaikan tangannya pada umat,” katanya. Sayang sekali, Sultanahmet, sang pendiri masjid terkenal dengan bangunan 21 ribu keramik biru ini, meninggal dalam usia sangat muda. Ketika mendirikan masjid ini berusia 20 tahun, membina pembangunan masjid selama 7 tahun, dan meninggal dunia pada usia ke 27.

Usai shalat magrib, saya masih bisa menikmati malam dengan bulan purnama tersembunyi dibalik kubah masjid biru. Menikmati keindahan dan keagungan kejayaan peradaban Islam yang sangat mengesankan. Turki Usmani dengan khalifah Islam memerintah kawasan ini dengan kekuasaannya yang luas hingga mencapai Iran dan Rusia selama 777 tahun. Sebuah masjid yang mengagumkan!***

Berita Terkait

Monday, June 01, 2009

Eco Pesantren Menggembirakan

Tiga puluh pesantren yang ada di sekitar Lampung datang hadir dalam acara sosialisasi Ecopesantren cluster Lampung (Jum’at,29/5). Eco Pesantren mengalami perkembangan yang menggembirakan. Sebagai salah satu juri saya diundang oleh Deputi VI Kementerian Lingkungan Hidupn (KLH) untuk memberikan materi tentang kemitraan dan membangun jejaring di Lampung, Sumatera Selatan. Satu hal yang penting adalah peran pesantren yang sangat strategis dalam pendidikan ummat sehingga diharapkan dengan program ecopesantren tumbuh inisiatif dan inovasi dari kalangan pesantren untuk mengembangkan diri menjadi pesantren yang ramah lingkungan.



Ada 15.000 pondok pesantren di Indonesia dengan jumlah murid sekitar 2 (versi EMIS 2001) dan 4 juta menurut Dirjen Depag terakhir 2008. Pesantren tetap menjadi daya dorong kuat pembangunan akhlak masyarakat dari bawah. Namun banyak pesantren yang dikelola secara sangat tertutup jauh dari management modern, pemiliknya individu bahkan ketika diminta rekening pesantren masih milik kiyai pengasuhnya.



Ecopesantren, menurut LH menghendaki pesantren dapat menjadi pendorong masyarakat agar ramah lingkungan. Agama menganjurkan hal itu, tapi memang harus dimulai dari pesantren. Telah ada pesantren pelopor yang patut dicontoh, misalnya Al Ittifaqiah Ciwidey yang mengelola pesantren dengan support pertanian organic, mengolah sampah untuk kompos kebunnya dan membuat biogas untuk santri memasak.

Menurut cerita, Wartim Sumana, kepala bidang Permukiman Masyarakat KLH, kemajuan pesantren ini dikarenakan kiyainya KH…membuka pintu pesantren untuk bekerjasama. Beliau berteman dengan seorang ahli dari sebuah universitas di Bandung, untuk memajukan dan belajar teknik pertanian dan peternakan yang baik, walaupun temannya itu adalah seorang yang beragama Nasrani. Sejauh yang tidak berkait dengan akidah hanya masalah duniawi (muamalah) hal ini tentu diperbolehkan.

Saya sendiri berharap, pesantren dapat berkembang sesuai dengan independensinya dan mempunyai inovasi yang luas di bidang lingkungan. Untuk itulah kemitraan dan saling relajar sangat penting dilakukan. Bukankah Rasulullah saw dalam mendapatkan pengetahuan bisa belajar dari mana saja. Nabi memerintahkan sahabat belajar dengan tawanan perang (yang beragama Nasrani) untuk mempelajari tulis menulis sebagai tebusan. Beliau juga mengirim sahabat-sahabatnya untuk belajar ilmu ketabiban (kedokteran) di negeri-negeri lain yang kala itu beragama Nasrani.

Wallahu ‘alam.

Tuesday, May 26, 2009

Ziarah ke Tanah Leluhur

Cuti selama empat hari ditambah libur dan week end, Mei-17 sd 24, bersama keluarga terbang ke Kalimantan. Karena Ibunda (Uma) mengajak ziarah ke Martapura untuk melihat paman dan acil serta keluarga dari sebelah Ayah. Walaupun perjalanan cukup melelahkan dari Kalimantan Tengah ke Selatan, hampir satu hari satu malam, saya ikut menyetir mobil kijang yang kami sewa. Senang sajalah, soalnya ini adalah pengalaman pertama membawa mobil menelusuri hutan Kalimantan (Eh memang ada hutan?) Jujur, sudah tidak ada hutan lagi, yang ada adalah semak dan kebun sawit. Jalan sudah lumayan bagus. Jembatan panjang-panjang untuk mengatasi aliran rawa-rawa Kalimantan yang luas.



Di Martapura Kalimantan Selatan, disinilah ayah saya dilahirkan. Dari keluarga santri ortodoks golongan salafi yang menghormati Tuan Guru dan para ulama. Dua puluh tahun yang lalu saya ke daerah ini, masih teringat saya suara Tuan Guru Zaini Ghani yang merdu mengelus telinga membaca burdah dan shalawat. Kini beliau telah tiada dan saya bersama keluarga hanya mengunjugi nisannya didalam Kubah Kampung Sekumpul Martapura sambil memanjatkan doa. Kubur beliau berada di sebelah Mushalla Al Raudhah yang dibangunnya bersama ummat yang mengagungkan shalawat kepada Nabi Sallalahu alaihi wassalam.



Perubahan terjadi sangat drastis, seperti tempat lainnya di Kalimantan. Sekumpul yang tadinya hutan belantara menjadi kompleks yang hidup dan membawa dampak bagi masyarakat sekitar. Ekonomi masyarakat hidup, karena tempat ini menjadi daya tarik wisata religious di Kalimantan. Hampir setiap rumah di Kalimantan (utamannya di kalangan muslim) Banjarmasin, memajang foto Tuan Guru Syaykh Zaini Ghani keturunan ke tujuh Datu Kelampaian atau Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Sebelum ke Sekumpul kami mengunjungi kompleks Mangunjaya, tempat pemakaman keluarga dan disana disemayamkan Patih Mangunjaya. Ziarah kuburan Nenek dan Kakek kami, juga paman yang dulu ku kenal sangat baik dan pemurah, telah mendahului kami.


Di Alkah ini juga, dimakamkan al Mukharram Abdul Ghani, ayahanda Tuan Guru Zaini Ghani dan saudarinya Zaleha (bibik sepupu saya). Sungguh khusuk kami mendoakan kedua orang tua ini.

Sehabis dari situ barulah kami melanjutkan perjalanan ke Kelampaian yang jaraknya 35 km dari Martapura. Saya masih ingat, dulu rasanya jauh sekali ke tempat ini. Tapi sekarang terasa dekat, apakah karena faktor transportasi yang mudah atau jalan yang bagus, atau memang pesaraan saja. Seperti cerita ayah, tahun 60an ke tempat ini orang bisa berhari-hari lamanya bahkan memasak di perahu karena harus melalui sungai.

Thursday, May 14, 2009

Konferensi Kelautan Dunia

MANADO 12-14 Mei saya mengikuti Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) di Manado, Sulawesi Utara. Kota Manado, menjadi ramai dengan pengunjung para peserta konferensi dari hampir 80 negara. Beberapa tempat penginapan dan hotel fully box dan banyak peserta tidak kebagian tempat tingal sehingga rumah masyarakat di sekitar tempat diadakan konferensi dijadikan tempat yang bisa disewa oleh para peserta. Meskipun menurut saya Kota Manado merupakan salah satu kota yang cukup pesat pembangunannya dengan beberapa hotel berbintang, tapi ternyata ketika menyelenggarakan event berkelas dunia, semuanya jadi serba sempit.

Jalan di Manado seperti daerah-daerah lain di Indonesia –diluar jalan protokol—adalah bukan jalan yang ditata menjadi dua jalur, hanya dapat dilalui oleh dua atau tiga mobil. Lalu pemerintah kota Manado menghimbau masyarakat yang mempunyai mobil pribadi dan angkot untuk keluar jalan raya sesuai dengan tanggal: ganjil atau genap dengan mencocokkan nomor seri belakang mobil. Bila seri belakang ganjil, boleh keluar pada tanggal ganjil, lalu kalau genap bisa keluar pada tanggal genap.

Simposium
Sebagaimana konferensi International yang lain, kegiatan ini tentunya yang paling menarik diisi dengan simposium atau pertemuan para ahli kelautan dalam mempresentasikan hasil penelitian baik sains, teknologi, maupun kebijakan di bidang kelautan. Ada ratusan topik diskusi yang digelar dan tentu tidak dapat diikuti semua. Aku mengikuti dua sesi pertama tentang coral triangle (segitiga terumbu karang) yang membahas tentang jalur hubungan genetik ikan dari kawasan Laut Indonesia timur hinggá ke barat.

Kedua tentang pentingnya Kawasan Konservasi Laut yang dipresentasikan oleh Dr Alan White, seorang marine biologist kawakan dunia. Menarik apa yang dikatakan Alan, bahwa adanya kawasan konservasi laut ternyata menambah peningkatan produktivitas ikan, karena ternyata kawasan-kawasan yang dilindungi ini terlepas apakah dikelola dengan baik atau tidak mempunyai sisi positif bagi pelestarian terumbu karang. Di kawasan coral triangle telah terbentuk lebih dari 1500 MPA network yang menjadi basis konservasi kelautan di kawasan ini. Ikan di kawasan yang dilindungi meningkat hampir 900 persen dibandingkan dengan ikan tangkap yang berada di luar kawasan konservasi yang hanya meningkat 300 persen.


Bersama Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Timor Leste,
Mariano Assanami Sabino (37 tahun), mantan aktifis Unibrawijaya zaman reformasi.


Ini merupakan hasil survey di enam kawasan konservasi laut (MPA): Berau, Tubbataha, Wakatobi, Kimbe Bay, Karimunjawa dan Cebu. Pengamatan saya atas usaha utama pemerintah untuk melindungi kawasan laut memang begitu serius. Sangat disayangkan bila Indonesia hanya menjadi daya tarik luar biasa para peneliti asing dan banyak peneliti berdatangan kesini. Arena WOC ternyata tidak banyak ditangkap manfaatnya oleh bangsa di negeri sendiri.

Satu hal kecil saya perhatikan, di ruangan tempat saya duduk –dari ratusan orang--tidak ada satu pun wajah mahasiswa Indonesia mengikuti simposium penting itu, minimal untuk ikut relajar. Secara sepihak kulihat wajah-wajah graduate student asing berumur sekitar 20an dengan tekun bisa mengikuti acara ini. Kemana mereka?

Prof Hasym Jalal, ahli hukum tata laut Nusantara

Apakah tidak ada mahasiswa di Indonesia yang bisa ikut dengan biaya subsidi untuk belajar ‘Marine Life’ di negara yang 2/3 kawasan teritorialnya merupakan lautan raya? Ketika duduk bersama dengan seorang ibu dosen perikanan dari Universitas Samratulangi, mereka bilang hal ini memang terlepas dari pikiran mereka: “Yang ada ialah, bagaima para dosen bisa ikut arena ini lebih dahulu, bukan buat mahasiswa,” katanya. Saya pun manggut-manggut, tapi ibu ini memahami pentingnya menyertakan mahasiswa S1 atau S2 dalam arena seperti ini supaya keahlian mereka menjadi terasah dan focus mereka tentang laut Indonesia menjadi lebih baik.
Tabik!