Oleh
Fachruddin M. Mangunjaya
Betapa khawatirnya kita dengan banjir yang terjadi setiap tahun, tetapi banjir air tidak sekejam banjir lumpur Sidoarjo yang kini bertambah luas. Jika banjir air, akibat luapan curah hujan berlebih, manusia masih bisa berharap untuk kembali kerumah mereka dalam waktu tertentu, mungkin paling lama satu atau dua minggu. Tetapi lumpur Sidoarjo, telah membanjiri dan menenggelamkan rumah penduduk, jalan, sawah, serta pabrik tempat mereka bekerja hingga sekarang--menjalani waktu lebih 2 bulan-- belum juga berhenti. Lumpur Sidoarjo menurut laporan terakhir harian ini (7/8) telah menggenangi lahan seluas 168 hektare atau seluas lebih dari 220 lapangan sepak bola. Sedangkan tinggi genangan di pusat semburan mencapai 10 meter.
Dr. Edy Sunardi Ketua Departemen Pengembangan Ikatan Ahli Geologi Indonesia mengatakan bahwa ini jenis lumpur ini adalah merupakan lumpur gunung (mud volcano), sama seperti lumpur yang keluar di Bleduk Kuwu di Purwodadi, dan Sangiran di Jawa Tengah yang terus keluar hingga sekarang. Ahli geologi ini mencatat bahwa dibawah bumi Porong hingga Gunung Anyar ada semacam tanki berisi lumpur yang membentuk semacam gorong-gorong yang luasnya 200 km persegi dengan ketebalan 4-5 km.
Kalau memang benar ini adalah mud volcano atau lumpur gunung, maka harapan untuk menghentikan luapannya memang semakin sulit. Bahkan dapat diramalkan, simpanan lumpur gunung ini sewaktu-waktu berpotensi pula dapat terjadi di kawasan yang lain yang berada di sekitar radius gorong-gorong. Pengalaman lumpur gunung ini merupakan masalah yang sangat jarang kecuali merupakan fenomena alam yang hingga kini masih menjadi perdebatan tentang muasal terjadinya.
Di luar Indonesia, catatan tentang lumpur gunung—yang hingga sekarang masih aktif – adalah dijumpai di Ajerbaijan, kawasan Asia Tengah. Lumpur gunung pada dasarnya merupakan pelepasan dari saluran akibat adanya tekanan energi gas yang ada dibawah permukaan bumi. Bahan yang terbawa tidak hanya gas, tetapi bercampur dengan air, juga sedikit bercampur dengan minyak yang sumber kedalamannya dapat mencapai hingga 812 km dibawah bumi. Tekanan ini dapat mengakibatkan lumpur melompat tinggi berkisar dari 5 hingga 500 meter. Di Sidoarjo, dicatat pusat ketinggian Lumpur yang melompat dari dalam tanah mencapai ketinggian 10 meter.
Menurut laporan Ronie Gallangher>> KORAN TEMPO
Saturday, September 30, 2006
Friday, September 08, 2006
Alhamdulillah Selesai Juga!
Apa yang dirasakan setelah selesai kuliah? Tidak ada rasa apa-apa. Yang jelas tugas sebagai hamba yang mencintai ilmu dan ingin berbuat lebih banyak untuk bumi dan kemanusiaan harus membekali diri dengan keahlian yang tangguh. Tentu saja saya harus bersyukur (Thanks GOD). Karena itu saya mengambil Conservation Biology di Universitas Indonesia dalam rangka meningkatkan kapasitas diri dan ilmu yang mumpuni.
Terimakasih kepada anak dan istri (dila taya dan lulu serta ara). Teman teman ‘supporter’ sekeliling dan sahabat saya. Orang tua di kampung. Prince Bernhard Scholarship WWF International yang memberi saya beasiswa.
Thanks GOD I'm Done
Menjaga Satwa Langka dari Bengkulu Hingga Lampung
Tim CI Kamboja di Bukit Kaba, berkabut asap kebakaran hutan
Tulang badak yang disita Rhino Protection Unit sebagai barang bukti.
Menjaga aset bangsa berupa satwa liar di taman nasional yang ada di Indonesia sangatlah sulit. Mereka terancam nyawa bila tidak dijaga ketat. Selain habita mereka yang terus tergusur, juga terkadang satwa ini, terpaksi ‘jadi maling’ mencuri ternak penduduk karena tidak ada lagi makanan di hutan. Aktifitas inilah yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang ada di Kabupaten Curuk Bengkulu untuk menjaga: ‘raja hutan’ dan spesies lain yang dilindungi di taman nasional tersebut agar tidak terbunuh oleh pemburu atau dikeroyok penduduk. Bersama Fauna Flora International (FFI), sebagai mitra TNKS, ratusan ribu dollar dikeluarkan untuk menjaga satwa-satwa langka ini. Rangkaian perjalanan inilah yang saya lakukan dari tanggal 23-30 Agustus 2006. Saya menjadi interpreter untuk para ‘ranger’ asal Kamboja yang difasilitasi oleh CI Kamboja –yang ternyata mempunyai problem yang sama—dalam rangka melindungi satwa harimau Kamboja yang tersisa beberapa gelintir saja.
Pengetatan serupa dilakukan di TN Bukit Barisan Selatan untuk menjaga kelestarian Badak Sumatera. Satuan mereka disebut Rhino Protection Unit (RPU). Kami menyusur Kota Agung Lampung, melihat dari dekat kawasan KM 24 TNBBS, beristirahat di tengah hutan dan makan siang di pinggir sungai. Asyik. Kesan saya, TNBBS mirip sekali dengan kondisi di Taman Negara Malaysia atau Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara. Pasukan penjaga satwa di Lampung lebih karena difasilitasi empat mobil ranger (4 wheel drive). Baru kali inilah karena penjagaan yang ketat, sehingga perburuan terhadap badak jadi menurun. Bahkan ada Badak yang bernama ‘Rosa’ yang kemudian terbiasa dengan para pasukan RPU, dan terpaksa dipindahkan karena –anehnya— mau dekat dan bermain dengan manusia.
Tulang badak yang disita Rhino Protection Unit sebagai barang bukti.
Menjaga aset bangsa berupa satwa liar di taman nasional yang ada di Indonesia sangatlah sulit. Mereka terancam nyawa bila tidak dijaga ketat. Selain habita mereka yang terus tergusur, juga terkadang satwa ini, terpaksi ‘jadi maling’ mencuri ternak penduduk karena tidak ada lagi makanan di hutan. Aktifitas inilah yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang ada di Kabupaten Curuk Bengkulu untuk menjaga: ‘raja hutan’ dan spesies lain yang dilindungi di taman nasional tersebut agar tidak terbunuh oleh pemburu atau dikeroyok penduduk. Bersama Fauna Flora International (FFI), sebagai mitra TNKS, ratusan ribu dollar dikeluarkan untuk menjaga satwa-satwa langka ini. Rangkaian perjalanan inilah yang saya lakukan dari tanggal 23-30 Agustus 2006. Saya menjadi interpreter untuk para ‘ranger’ asal Kamboja yang difasilitasi oleh CI Kamboja –yang ternyata mempunyai problem yang sama—dalam rangka melindungi satwa harimau Kamboja yang tersisa beberapa gelintir saja.
Pengetatan serupa dilakukan di TN Bukit Barisan Selatan untuk menjaga kelestarian Badak Sumatera. Satuan mereka disebut Rhino Protection Unit (RPU). Kami menyusur Kota Agung Lampung, melihat dari dekat kawasan KM 24 TNBBS, beristirahat di tengah hutan dan makan siang di pinggir sungai. Asyik. Kesan saya, TNBBS mirip sekali dengan kondisi di Taman Negara Malaysia atau Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara. Pasukan penjaga satwa di Lampung lebih karena difasilitasi empat mobil ranger (4 wheel drive). Baru kali inilah karena penjagaan yang ketat, sehingga perburuan terhadap badak jadi menurun. Bahkan ada Badak yang bernama ‘Rosa’ yang kemudian terbiasa dengan para pasukan RPU, dan terpaksa dipindahkan karena –anehnya— mau dekat dan bermain dengan manusia.
Banda Aceh Hingga Medan
Wawancara dengan SWR Swedia
dan Mangrove ditanam setelah
stunami, di Gronggrong, Aceh.
Tidak banyak yang dapat disumbangkan untuk Aceh kecuali memulihkan semangat dan kebangkitan pemduduknya untuk kembali sadar dan beraktifitas seperti sedia kala. Inilah realitas dan kehebatan orang-orang Aceh yang senantiasa sabar dan tabah lalu bangkit kembali. Tanggal 13-16 Agustus, saya ikut bergiat memberikan pelatihan dan penyadaran lingkungan dengan modul Islami. Beberapa materi diambil dari IFEES, Al-Quran dan Ciptaan dan
Konservasi yang diterjemahkan oleh CI. Pelatihan ini bekerjasama dengan WWF untuk mengundang guru-guru sains dan ustadz di beberapa pesantren.
Peninjauan lapangan dilakukan di daerah Gronggrong, Pidie untuk melihat pertumbuhan bakau yang kembali ditanam di Pantai Barat Aceh itu.
Pendekatan agama dalam melestarikan lingkungan ternyata menarik SWR dari Swedia untuk mengadakan wawancara. Saya katakan, tidak ada yang lebih tepat untuk pendekatan kesadaran di Aceh kecuali melalui ajaran Islam, karena Aceh memang menginginkan berlakunya perilaku Islami dalam tatanan masyarakatnya.
Tuesday, September 05, 2006
Cerpen: PROVOKATOR
Oleh Fachma al-Kumayi
Hari menjelang pagi. Angin laut menerpa, menghempas dack kapal Binaiya. Sebuah kapal penumpang dengan kapasitas 3000 orang. Kapal bertingkat tiga ini dengan tenang membelah laut. Tiupan angin dan gelombang beralur sedang sejak tadi malam tidak sedikitpun menggoyang tubuh kapal besi ini. Setelah shalat subuh. Udara dingin sekali, tapi awan diatas cerah sehingga matahari fajar yang menyingsing di ufuk timur sangat indah untuk dinikmati. Kapal yang kutumpangi ini adalah jurusan Semarang ke pelabuhan Kumai, Kalimantan Tengah.
Kapal ini cukup penuh dengan penumpang, ma’lum saja banyak sekali para penumpang adalah mereka yang pulang berlibur dari Jawa. Ada pula yang mencoba mengadu nasib mencari penghidupan di Kalimantan. Beberapa diantaranya kukenali sejak dari pelabuhan, mereka adalah bocah-bocah dengan pendidikan rendah di Jawa dan Sumatera yang sedang direkrut oleh cukong penebang kayu untuk membabat kayu yang masih tersisa di Kalimantan.
Pulau Kalimantan bagi beberapa orang memang bukan lagi tempat yang seram, tetapi adalah pulau dengan kekayaan alam yang melimpah dan menghasilkan uang. Pulau ini juga sebuah pulau tempat menyimpan harapan, keberuntungan banyak diperoleh dengan cara menguras sumber daya alamnya yang masih kaya.
Aku menikmati angin yang berhembus diatas dack kapal. Melihat lajunya perjalanan, menjelang pagi. Sudah kucoba menebak. Kapal dengan cat kuning gading ini sekarang memasuki kuala Tanjung Puting. Sebuah titik yang dituju setiap kapal yang ingin masuk ke teluk Kumai ataupun Kuala Kotawaringin. Ingatanku mulai berputar, betapa gembiranya berjumpa lagi dengan orang tua dan adik-adik. Sudah lima tahun aku dirantau dan tidak pernah pulang. Kupastikan akan menikmati mandi di sungai belakang rumah yang terus mengalir dan bersih. Kubayangkan aku melihat ramainya mata yang akan memperhatikan dan menyambut kepulanganku karena mereka ingin melihat apa perubahan apa yang ada pada diriku. Juga yang penting oleh-oleh buat mereka.
Aku turun mengundaki tangga ke bawah, menuju ke tempat tidur. Sebentar, terlelap beberapa waktu. Tiba-tiba aku terjaga, kulempar pandangan keluar jendela. Dan melihat ujung Tanjung Puting yang harusnya di tuju tidak juga di lewati. Anehnya kemudian haluan kapal berputar balik 180 derajad dan kembali ke arah semula. Ada apa gerangan?
Tiba-tiba dari lambung paling atas, tempat nakoda mengendalikan kemudi, kami mendengar pengumuman. “Kapal ini, atas permohonan “pihak berwenang”, akan kami alihkan menuju Sampit. Karena kami mendapat kabar, bahwa Kota Kumai sedang dilanda kerusuhan...!” kata suara tersebut dengan nada datar berulang-ulang memberitahukan kepada penumpang.
Aku terperangah tidak percaya. Apa benar, kampungku yang sangat asri dan indah itu sedang kerusuhan? Tidak mungkin. Tempat itu sangat aman dan damai. Orang-orangnya penuh toleransi, suka menolong dan ramah. Lagi pula apa iya kota kecamatan sekecil itu ikut-ikut trend kota besar seperti Jakarta yang penduduknya padat dan tidak lagi berbudaya? Hatiku berkecamuk.
“Wan, tahu tak, kapal ini sekarang berbalik haluan 180 derajat,” aku menanyakan kepada seorang kepada Irwan, yang masih duduk sambil memegangi koran di atas dipannya.
“Hah? Masa, aku dari tadi di kamar terus, sebenarnya apa yang terjadi?” Irwan mulai bereaksi dan beranjak dari tempat duduknya. Kemudian dia melongok ke jendela kapal di sebelah kirinya. “Heh, bener Nang*), Kapal ini putar haluan, kalau begitu kita mesti tahu apa sebenarnya yang terjadi. Masak, kampung kita yang aman-aman saja itu dibilang ada kerusuhan, tidak mungkin, mana bisa, kita mau kerusuhan sama siapa? Semuanya isinya saudara-saudara semua!”
Pikiran Irwan, sersis sama dengan apa yang kupikirkan di benakku. Sebuah ketidak percayaan. Mustahil dan muskil. Aku kemudian termenung dan berunding dengan Ikhwan. Kebetulan Dia adalah salah seorang anggota DPRD yang mewakili kecamatanku. Kami bertukar fikiran, tidak lama kemudian beberapa orang datang nimbrung.
“Tidak, bisa... kita harus sampai di Pelabuhan, Kumai. Tidak ada apa-apa disana!” sergah seorang pengusul.
“Tapi itu, tadi kan ada pengumuman, perintah dari Pemda setempat,”
“Ah. Mana ada yang percaya dengan Pemda!. Kita tidak percaya, pokoknya tidak ! enggak rela, enggak rela,” sambut yang lain mulai menghangatkan suasana. Beberapa orang mengusulkan kami mendekati kamar Muallim I untuk meminta keterangan sebenarnya. Setibanya disana, ternyata orang-orang sudah berkumpul dengan penuh emosional.
Perundingan pun mulai emosional. Ada dugaan sementara bahwa ini hanya sebuah permainan para cukong pelabuhan yang barangnya tidak terangkut. Ada juga dugaan bahwa ini skenario yang disengaja, agar kami lebih lama di laut, dengan demikian barang-barang di Kapal akan laku.
“Iya, tapi jangan mengorbankan orang kecil, dong. Uang ku kan sudah habis, tidak lagi bisa makan di restoran, atau cukup hanya bisa beli dua bungkus mie isnstant,” teriak Zudin, berbantah dengan teman yang ada disebelahnya.
“Pokoknya, kapal ini harus kembali ke Pelabuhan yang menjadi tujuan semula, kalau tidak kami akan berontak,” kata salah seorang penumpang dengan nada tinggi dan marah. “Tong, tong, ting tong...”Ah, salah seorang penumpang nampaknya terlalu emosi sehingga memuku-mukul tangga dan bodi kapal. Ada ratusan orang berkumpul didepan kamar muallim. Wah, runyam.
“Kalau tidak kembali, kita sandera saja, nakhodanya!,” ujar salah seorang mengusulkan.
“Bagi kami tidak apa-apa kembali ke Pelabuhan. Hanya kami punya pengalaman ketika berlabuh di Ambon dalam suasana rusuh, semua yang ada di dalam kapal malah tidak bisa pulang dengan aman, bahkan terjadi pembantaian dari orang-orang yang mengejar dari darat. Jelasnya kami sudah berpengalaman soal kerusuhan, jadi jangan paksa kami, kalau memang keadaannya masih rusuh,” ujar Kasidi, penanggung jawab keamanan Kapal.
Tapi perundingan tidak juga berakhir, sampai akhirnya diputuskan, dua orang yang mewakili penumpang yang ada di bawah, maju menghadap nakhoda.
“Teman-teman, nama saya Jumri, dan ini Dulrasid. Atas perundingan tadi kami ingin mewakili teman-taman dan saudara-saudara dan bersepakat menghadap kepada nakhoda dengan satu permohonan: Kita harus menuju Pelabuhan Kumai untuk membuktikan berita yang terjadi. Sehingga kita secara yakin mendapatkan kepastian apa yang terjadi di Kota yang biasanya aman dan damai itu !!,” kata Jumri berpidato. Yang mendengarkan setuju. Sementara haluan kapal terus melaju –dengan arah kembali—menuju pelabuhan Sampit. Applaus diberikan kepada penumpang di geladak untuk kedua orang yang berani menjadi wakil secara spontanitas.
***
Tiba-tiba saja, haluan kapal berputar 180 derajat. Tepuk tangan kegirangan penumpang yang sedang berkumpul di tengah dack kapal memenuhi ruangan..”plok..plok...hore...!!”
Kapal kemudian menuju ke pelabuhan idaman. Dengan kecepatan yang dipacu tinggi meredakan kekisruhan yang ada di kapal yang terlalu sempit itu.
Makan siang tiba. Kami antri untuk mengambil nasi dan jatah makanan. Sementara kapal melaju kencang, Tanjung Puting kelihatan kembali, dan tidak berapa lama kemudian KM. Binaiya menjumpai teluk Kumai.
Aku berdiri diatas dack sayap kiri depan. Wing kiri ini terletak di lantai tiga. Berdekatan dengan kamar operasi nakhoda. Bila menoleh ke kanan, terlihat nakhoda yang sedang sibuk mengendalikan kapal. Dari tempat ini pandanganku terlempar jauh sambil berdebar dengan harapan dan kecemasan. Menatap ke haluan kapal, seketika kami memasuki muara Sungai Kumai, aku melihat beberapa speed boat melaju kencang dan tidak lama telah merapat di lambung kapal. Binaiya kemudian bergerak perlahan.
Dua orang polisi, salah satunya adalah penanggung jawab sektor kepolisian kecamatan. Mereka didampingi dua petugas intelijen. Pak Kapolres mengumumkan kejadian sesungguhnya yang ada di lapangan: “Kumai memang dalam keadaan rusuh. Hingga sekarang telah jatuh beberapa korban. Maka untuk menghindari korban lebih banyak kapal ini kami minta dengan hormat untuk kembali dan mendaratkan penumpangnya di pelabuhan yang aman,” begitu pengumuman Pak Kapolsek.
Tanpa banyak bicara beberapa orang bertampang klimis mencari nama Jumri dan Dulrasid, dua
orang ini ditawarkan untuk diantar ke Pelabuhan Kumai agar dapat sampai menemui keluarganya yang menunggu. Dulrasid dan Jumri diam seribu bahasa, ketika mereka kemudian digiring menuruni geladak kapal menuju speed boat yang siap meluncur. Kami pun diam. Beberapa penumpang merasa pasrah, beberapa menit kemudian kapal berpaling kembali 180 derajad: KM. Binaiya kembali menuju Pelabuhan Sampit.
Esok harinya kami sampai di pelabuhan Sampit dengan aman. Aku tiba di rumah dan membaca sebuah harian daerah dengan antusias menulis head line: “Akhirnya berlabuh di Sampit...Kapal Binaiya yang tadinya telah menuju Pelabuhan sesuai dengan permintaan pihak berwenang, hampir saja akan berlabuh di Kumai dalam kondisi tidak aman yang dikhawatirkan akan membawa korban..., petugas telah mengamankan dua orang penumpang yang diduga memprovokasi di kapal tersebut.”
Aku menutup lembaran koran yang kujumpai tiga hari setelah kejadian yang menkhawatirkan itu. Aku berfikir, apakah seenak itu menuduh orang menjadi provokator di negeri ini?***
*) Nang= Anang, panggilan umum untuk pemuda Kalimantan.
Hari menjelang pagi. Angin laut menerpa, menghempas dack kapal Binaiya. Sebuah kapal penumpang dengan kapasitas 3000 orang. Kapal bertingkat tiga ini dengan tenang membelah laut. Tiupan angin dan gelombang beralur sedang sejak tadi malam tidak sedikitpun menggoyang tubuh kapal besi ini. Setelah shalat subuh. Udara dingin sekali, tapi awan diatas cerah sehingga matahari fajar yang menyingsing di ufuk timur sangat indah untuk dinikmati. Kapal yang kutumpangi ini adalah jurusan Semarang ke pelabuhan Kumai, Kalimantan Tengah.
Kapal ini cukup penuh dengan penumpang, ma’lum saja banyak sekali para penumpang adalah mereka yang pulang berlibur dari Jawa. Ada pula yang mencoba mengadu nasib mencari penghidupan di Kalimantan. Beberapa diantaranya kukenali sejak dari pelabuhan, mereka adalah bocah-bocah dengan pendidikan rendah di Jawa dan Sumatera yang sedang direkrut oleh cukong penebang kayu untuk membabat kayu yang masih tersisa di Kalimantan.
Pulau Kalimantan bagi beberapa orang memang bukan lagi tempat yang seram, tetapi adalah pulau dengan kekayaan alam yang melimpah dan menghasilkan uang. Pulau ini juga sebuah pulau tempat menyimpan harapan, keberuntungan banyak diperoleh dengan cara menguras sumber daya alamnya yang masih kaya.
Aku menikmati angin yang berhembus diatas dack kapal. Melihat lajunya perjalanan, menjelang pagi. Sudah kucoba menebak. Kapal dengan cat kuning gading ini sekarang memasuki kuala Tanjung Puting. Sebuah titik yang dituju setiap kapal yang ingin masuk ke teluk Kumai ataupun Kuala Kotawaringin. Ingatanku mulai berputar, betapa gembiranya berjumpa lagi dengan orang tua dan adik-adik. Sudah lima tahun aku dirantau dan tidak pernah pulang. Kupastikan akan menikmati mandi di sungai belakang rumah yang terus mengalir dan bersih. Kubayangkan aku melihat ramainya mata yang akan memperhatikan dan menyambut kepulanganku karena mereka ingin melihat apa perubahan apa yang ada pada diriku. Juga yang penting oleh-oleh buat mereka.
Aku turun mengundaki tangga ke bawah, menuju ke tempat tidur. Sebentar, terlelap beberapa waktu. Tiba-tiba aku terjaga, kulempar pandangan keluar jendela. Dan melihat ujung Tanjung Puting yang harusnya di tuju tidak juga di lewati. Anehnya kemudian haluan kapal berputar balik 180 derajad dan kembali ke arah semula. Ada apa gerangan?
Tiba-tiba dari lambung paling atas, tempat nakoda mengendalikan kemudi, kami mendengar pengumuman. “Kapal ini, atas permohonan “pihak berwenang”, akan kami alihkan menuju Sampit. Karena kami mendapat kabar, bahwa Kota Kumai sedang dilanda kerusuhan...!” kata suara tersebut dengan nada datar berulang-ulang memberitahukan kepada penumpang.
Aku terperangah tidak percaya. Apa benar, kampungku yang sangat asri dan indah itu sedang kerusuhan? Tidak mungkin. Tempat itu sangat aman dan damai. Orang-orangnya penuh toleransi, suka menolong dan ramah. Lagi pula apa iya kota kecamatan sekecil itu ikut-ikut trend kota besar seperti Jakarta yang penduduknya padat dan tidak lagi berbudaya? Hatiku berkecamuk.
“Wan, tahu tak, kapal ini sekarang berbalik haluan 180 derajat,” aku menanyakan kepada seorang kepada Irwan, yang masih duduk sambil memegangi koran di atas dipannya.
“Hah? Masa, aku dari tadi di kamar terus, sebenarnya apa yang terjadi?” Irwan mulai bereaksi dan beranjak dari tempat duduknya. Kemudian dia melongok ke jendela kapal di sebelah kirinya. “Heh, bener Nang*), Kapal ini putar haluan, kalau begitu kita mesti tahu apa sebenarnya yang terjadi. Masak, kampung kita yang aman-aman saja itu dibilang ada kerusuhan, tidak mungkin, mana bisa, kita mau kerusuhan sama siapa? Semuanya isinya saudara-saudara semua!”
Pikiran Irwan, sersis sama dengan apa yang kupikirkan di benakku. Sebuah ketidak percayaan. Mustahil dan muskil. Aku kemudian termenung dan berunding dengan Ikhwan. Kebetulan Dia adalah salah seorang anggota DPRD yang mewakili kecamatanku. Kami bertukar fikiran, tidak lama kemudian beberapa orang datang nimbrung.
“Tidak, bisa... kita harus sampai di Pelabuhan, Kumai. Tidak ada apa-apa disana!” sergah seorang pengusul.
“Tapi itu, tadi kan ada pengumuman, perintah dari Pemda setempat,”
“Ah. Mana ada yang percaya dengan Pemda!. Kita tidak percaya, pokoknya tidak ! enggak rela, enggak rela,” sambut yang lain mulai menghangatkan suasana. Beberapa orang mengusulkan kami mendekati kamar Muallim I untuk meminta keterangan sebenarnya. Setibanya disana, ternyata orang-orang sudah berkumpul dengan penuh emosional.
Perundingan pun mulai emosional. Ada dugaan sementara bahwa ini hanya sebuah permainan para cukong pelabuhan yang barangnya tidak terangkut. Ada juga dugaan bahwa ini skenario yang disengaja, agar kami lebih lama di laut, dengan demikian barang-barang di Kapal akan laku.
“Iya, tapi jangan mengorbankan orang kecil, dong. Uang ku kan sudah habis, tidak lagi bisa makan di restoran, atau cukup hanya bisa beli dua bungkus mie isnstant,” teriak Zudin, berbantah dengan teman yang ada disebelahnya.
“Pokoknya, kapal ini harus kembali ke Pelabuhan yang menjadi tujuan semula, kalau tidak kami akan berontak,” kata salah seorang penumpang dengan nada tinggi dan marah. “Tong, tong, ting tong...”Ah, salah seorang penumpang nampaknya terlalu emosi sehingga memuku-mukul tangga dan bodi kapal. Ada ratusan orang berkumpul didepan kamar muallim. Wah, runyam.
“Kalau tidak kembali, kita sandera saja, nakhodanya!,” ujar salah seorang mengusulkan.
“Bagi kami tidak apa-apa kembali ke Pelabuhan. Hanya kami punya pengalaman ketika berlabuh di Ambon dalam suasana rusuh, semua yang ada di dalam kapal malah tidak bisa pulang dengan aman, bahkan terjadi pembantaian dari orang-orang yang mengejar dari darat. Jelasnya kami sudah berpengalaman soal kerusuhan, jadi jangan paksa kami, kalau memang keadaannya masih rusuh,” ujar Kasidi, penanggung jawab keamanan Kapal.
Tapi perundingan tidak juga berakhir, sampai akhirnya diputuskan, dua orang yang mewakili penumpang yang ada di bawah, maju menghadap nakhoda.
“Teman-teman, nama saya Jumri, dan ini Dulrasid. Atas perundingan tadi kami ingin mewakili teman-taman dan saudara-saudara dan bersepakat menghadap kepada nakhoda dengan satu permohonan: Kita harus menuju Pelabuhan Kumai untuk membuktikan berita yang terjadi. Sehingga kita secara yakin mendapatkan kepastian apa yang terjadi di Kota yang biasanya aman dan damai itu !!,” kata Jumri berpidato. Yang mendengarkan setuju. Sementara haluan kapal terus melaju –dengan arah kembali—menuju pelabuhan Sampit. Applaus diberikan kepada penumpang di geladak untuk kedua orang yang berani menjadi wakil secara spontanitas.
***
Tiba-tiba saja, haluan kapal berputar 180 derajat. Tepuk tangan kegirangan penumpang yang sedang berkumpul di tengah dack kapal memenuhi ruangan..”plok..plok...hore...!!”
Kapal kemudian menuju ke pelabuhan idaman. Dengan kecepatan yang dipacu tinggi meredakan kekisruhan yang ada di kapal yang terlalu sempit itu.
Makan siang tiba. Kami antri untuk mengambil nasi dan jatah makanan. Sementara kapal melaju kencang, Tanjung Puting kelihatan kembali, dan tidak berapa lama kemudian KM. Binaiya menjumpai teluk Kumai.
Aku berdiri diatas dack sayap kiri depan. Wing kiri ini terletak di lantai tiga. Berdekatan dengan kamar operasi nakhoda. Bila menoleh ke kanan, terlihat nakhoda yang sedang sibuk mengendalikan kapal. Dari tempat ini pandanganku terlempar jauh sambil berdebar dengan harapan dan kecemasan. Menatap ke haluan kapal, seketika kami memasuki muara Sungai Kumai, aku melihat beberapa speed boat melaju kencang dan tidak lama telah merapat di lambung kapal. Binaiya kemudian bergerak perlahan.
Dua orang polisi, salah satunya adalah penanggung jawab sektor kepolisian kecamatan. Mereka didampingi dua petugas intelijen. Pak Kapolres mengumumkan kejadian sesungguhnya yang ada di lapangan: “Kumai memang dalam keadaan rusuh. Hingga sekarang telah jatuh beberapa korban. Maka untuk menghindari korban lebih banyak kapal ini kami minta dengan hormat untuk kembali dan mendaratkan penumpangnya di pelabuhan yang aman,” begitu pengumuman Pak Kapolsek.
Tanpa banyak bicara beberapa orang bertampang klimis mencari nama Jumri dan Dulrasid, dua
orang ini ditawarkan untuk diantar ke Pelabuhan Kumai agar dapat sampai menemui keluarganya yang menunggu. Dulrasid dan Jumri diam seribu bahasa, ketika mereka kemudian digiring menuruni geladak kapal menuju speed boat yang siap meluncur. Kami pun diam. Beberapa penumpang merasa pasrah, beberapa menit kemudian kapal berpaling kembali 180 derajad: KM. Binaiya kembali menuju Pelabuhan Sampit.
Esok harinya kami sampai di pelabuhan Sampit dengan aman. Aku tiba di rumah dan membaca sebuah harian daerah dengan antusias menulis head line: “Akhirnya berlabuh di Sampit...Kapal Binaiya yang tadinya telah menuju Pelabuhan sesuai dengan permintaan pihak berwenang, hampir saja akan berlabuh di Kumai dalam kondisi tidak aman yang dikhawatirkan akan membawa korban..., petugas telah mengamankan dua orang penumpang yang diduga memprovokasi di kapal tersebut.”
Aku menutup lembaran koran yang kujumpai tiga hari setelah kejadian yang menkhawatirkan itu. Aku berfikir, apakah seenak itu menuduh orang menjadi provokator di negeri ini?***
*) Nang= Anang, panggilan umum untuk pemuda Kalimantan.
Subscribe to:
Posts (Atom)