Banyak teman-teman bertanya kepada saya bagaimana caranya agar bisa menulis dengan baik. Menemukan ide untuk penulisan dan kiat-kiat apa yang tepat untuk dilakukan dalam menulis. Saya sendiri menganggap, saya adalah orang yang masih kalah produktif dengan mereka yang lebih produktif dalam menulis.
Saya ingin berbagi pengalaman mengenai ‘rahasia’ bagaimana bisa menemukan ide dalam penulisan. Tentu saya juga belajar dari bebarapa pakar yang produktif menulis di berbagai media dan bahkan menulis untuk buku-buku teks yang tebal.
Beberapa langkah yang saya lakukan biasanya:
Menghayal atau bermimpi (dalam arti berangan-angan positif), bisa menulis suatu topik.
Mencatat topik yang mau saya bahas kedalam buku blok notes saya ketika terlintas ide atau gagasan mengenai sesuatu yang muncul, baik ide tulisan, atau ide yang lain terkait dengan bisnis dan persoalan pribadi.
Saya mulai menulis sesuatu apa saja yang terkait dengan topik yang saya pikirkan. Disini memang terkadang buntu harus menulis apa? banyak orang berkata: ketika bercita-cita bisa, tetapi ketika menuliskan menjadi suatu kalimat yang baik dan mudah dicerna, kok tidak bisa. Jadi tulis saja apa yang keluar dari benak anda walaupun anda anggap buntu, tetapi tolong paksakan dan teruskan. Atau,berhenti kalau sedang tidak konsentrasi.
Cari sumber-sumber yang relevan dengan topik yang akan ditulis. Abad teknologi sekarang ini sangat memudahkan dengan mengakses sumber-sumber dengan topik yang mirip dengan hanya klik: Googgle atau Yahoo pakai search engine. Apabila bisa berbahasa inggris, sangat memudahkan, tinggal entri saja kata-kata penting yang akan dibahas.
Tulislah draft anda sedapatnya, dan endapkan. Kalau sudah cukup beberapa halaman, lalu print dan baca. Lakukan koreksi dengan tangan. Bawalah teks itu ketempat-tempat terbuka. Anda bisa mengedit, atau menambah kalimat-kalimat lain sembari melihat pepohonan dibelakang rumah. Bahkan ketika ‘nongkrong’ (maaf) di toilet.
Untuk penulis pemula, jangan terburu-buru mengirim tulisan tersebut ke media. Belum tentu bisa langsung dimuat. karena media memerlukan tulisan-tulisan yang aktual, dengan titik koma yang sempurna dan beralur logis (lihat kriteria penulisan Kompas, dan Suara Pembaruan)
Kapan saat tepat untuk menulis?
Lain pribadi lain orang, lain cara menemukan mood dalam menulis. Kalau saya biasanya terlintas ide, ketika membaca koran (Koran yang merangsang saya untuk menulis –biasanya langsung saya “sobek” dan letakkan diantara kedua blok notes saya) ketika saya menemukan peristiwa actual yang akan saya tulis. Lalu saya browsing topik yang terkait atau membaca buku-buku referensi yang saya miliki di rumah. Saya biasanya memulai dengan mempelajari hal-hal mendasar dari peristiwa terkait.
Mood rutin saya adalah jam dua pagi hingga subuh: jam lima. Setelah subuh saya tidur kembali, dan bangun sekitar setengah tujuh. Sebagai muslim, tentu saya gunakan untuk shalat tahajjud minimal 2 rakaat. Untuk bangun tengah malam, biasanya saya langsung tidur lebih sore, jam 9 atau jam 10. Bisa pula saya menemukan mood jam 6 hingga jam 9 pagi.
Saya –rasanya-- tidak pernah menulis artikel siang bolong. Sebab waktu itu adalah waktu kerja di kantor dan ada pekerjaan rutin yang harus dilakukan. Karena menulis merupakan pekerjaan freelance yang menyenangkan (bagi saya) dan menambah pengetahuan pribadi.
Sewaktu-waktu, sesungguhnya, jangan juga memplotkan diri. Saya juga menulis tidak kenal waktu dan tempat. Ketika ada ide datang, saya harus menulis. Ya saya menulis. Saya bisa membuat draft di lapangan terbang, karena banyak waktu, dan juga kondisi lapangan terbang (bandara internasional) yang indah dengan taman-taman dan beraneka “warna kecantikan” (ehm...) termasuk berbagai ciptaan Tuhan yang cantik juga lalu lalang, sering menjadi trigger bagi saya untuk mencoret di bloknotes.
Tulisan saya termasuk yang tidak rapi. Terkadang langsung disalin di laptop dan idenya terus berkembang. Tulisan yang saya muat terakhir di Harian Koran Tempo Minggu, 21 Mei 2006: Catatan perjalanan, adalah hasil tulisan dari perpindahan 6 pesawat yang membosankan, dari Florida, singgah ke beberapa bandara termasuk di Narita (Jepang) dan Bandara Changi (Singapura). Saya menulis dua artikel dengan beberapa judul selama perjalanan itu.
Nah, mudah-mudahan kiat ini bisa menjadi pelajaran. Selain teman-teman bisa menjadi penulis dan bisa mengirimkan ke media, untuk mendapatkan ‘uang halal’ juga bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan melalui tulisan.
Bersambung:
Tulisan berikutnya: Bagaimana Mengirimkan Artikel ke Media?
Monday, May 29, 2006
Menik dan Lulu
Menik adalah nama boneka kesayangan Nazmi Lu’lu’ Alam (7 tahun), anak kami yang ketiga. Boneka inilah yang selalu dicarinya ketika bangun tidur sebelum menonton Spongbob dan Dora. Lulu harus mencari menik kalau mau tidur: memberinya selimut dan tidur disampingnya. Pernah suatu hari, tiba-tiba menik hilang dan dia tidak bisa tidur, harus mencari-cari boneka berambut pirang ini. Semua kakaknya mendapatkan marah, padahal dia sendiri yang menempatkan boneka itu dan terjatuh dibawah ranjangnya. Coba lihat foto ini, betapa Lulu dan Menik seperti sibling yang tidak bisa dipisahkan.
Lulu dan Menik (Foto: Fadila Maula Hafsah)
Lulu dan Menik (Foto: Fadila Maula Hafsah)
Tuesday, May 23, 2006
CERITA KAPAL NUSANTARA
Bayangkan bangsa ini berada di sebuah kapal. Kita berlayar menuju kepada sebuah cita-cita yang bernama ‘Pulau Adil dan Makmur’. Didalam kapal itu, ibarat kapal Nabi Nuh: Ada berbagai suku bangsa dan kulit berwarna warni, mempunyai ras yang berbeda dari rambut lurus hingga keriting.mata sipit hingga lebar, berkulit terang hingga gelap. Didalamnya ada pula binatang, spesies tumbuhan yang beraneka ragam, pohon-pohon yang menjulang tinggi dibawa serta, kekayaan yang dibawa oleh kapal ini luar biasa banyaknya: sehingga disebut kekayaan Megadiversity. Namun tanpa mengenal warna kulit dan potongan rambut, semua penumpang yang ada didalamnya saling ketergantungan, karena masing-masing sepakat untuk mencapai cita-cita dan kemakmuran. Didalam kapal terdapat sekat dan tingkatan serta dek-dek pembatas. Bagian paling tinggi adalah nakhoda, para muallim dan petinggi yang memutuskan kemana kapal akan dibawa.
Para penumpang kapal yang terdiri dari rakyat jelata, telah pula memilih wakil-wakil mereka yang dianggap ‘pintar pintar’ untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan peraturan dan aturan main di dalam kapal.
Menuju pantai harapan, penumpang harus mengeluarkan uang pembelian tiket, dari pembayaran itu mereka mendapatkan makanan fasilitas, dan kenyamanan yang pantas. Di dalam kapal terdapat berbagai usaha dari pedangan asongan hingga konglomerat. Didalam kapal, masing-masing mendapatkan keuntungan yang cukup, bahkan dalam beberapa sektor kapal tersebut mengekspor barang untuk kapal yang lain. Karena kapal itu masih mempunyai pohon-pohon yang bisa dijual, binatang binatang liar dapat diperdagangkan, sumber daya alam lain: minyak, batubara, dan hasil-hasil pertanian dari tanah yang subur dapat dijual dengan keuntungan yang memadai.
Dalam kapal ini, barang-barang semuanya murah karena kebijakan pemilik kapal yang baik hati, mensubsidi penumpangnya untuk memperoleh keperluan mereka.
Sayangnya, beberapa penduduk kapal tersebut ada yang bersikap tamak dan rakus. Hidup mewah, berlebih-lebihan karena mendapatkan fasilitas, bahkan mereka berbuat semena-mena menyelewengkan wewenang, mengekspor sendiri keperluan kapal: ada yang menyelundupkan minyak sehingga mencapai 8,8 triliyun pertahun. Ada pula yang ‘membawa kabur’ aset-aset kapal dengan jumlah triliyunan dan tidak mampu ditangkap. Para kelasi kapal semuanya loyo-loyo kalau menghadapi buron kelas kakap. Akhirnya pengusaha itu lalu memindahkan usahanya ke kapal tetangga dan kapal-kapal di atas angin lainnya. Sebelum kabur, tentu rampok ini menebar uang dulu untuk ‘sangu’ para punggawa penjaga pintu gerbang dan para kelasi kapal. Maling uang penumpang itu berupaya membujuk punggawa supaya menurunkan sekoci, agar dia bisa membawa kabur asset kapal pindah ke kapal lainnya.
Cara ‘rampok-merampok’ seperti ini adalah lumrah di dalam kapal, karena penjaga kapal tidak menerapkan sangsi yang tegas untuk para perampok kelas atas seperti itu. Di dalam kapal ini, belum ada sejarahnya perampok itu dihukum gantung, atau ditembak mati di depan umum karena mencuri uang penumpang! Ada yang lupa: sewaktu dilantik menjadi nakhoda, seharusnya penumpang penumpang kapal bersama-sama membuatkan peti mati, disamping pelantikan itu. Maksudnya, agar siapa saja yang korupsi berat, agar segera dikirim dengan peti mati tersebut, karena ini dianggap akan mencelakai penumpang kapal secara keseluruhan. Sebab selama ini tidak ada yang dihukum berat, paling tinggi hanya beberapa puluh tahun. Berlawanan dengan maling sandal yang diadili, atau maling sepeda motor yang dikeroyok babak belur hingga mati dan di kirim ke akhirat.
Karena agin ribut, banyak bencana dan persediaan terbatas, minyak di dalam kapal harus segera dinaikkan. Sebab menurut perhitungan para ahli ekonomi perkapalan, minyak yang digunakan oleh penumpang kapal selama ini paling murah di bandingkan dengan kapal lain. Walaupun kapal ini merupakan salah satu produsen minyak mentah, tetapi terpaksa membeli minyak dari kapal lain yang pintar mengolah minyak. Untuk memperoleh minyak guna mensuplai penumpannya, pengurus kapal harus mensubsidi dengan membeli minyak di kapal lain—yang bahan mentah dieksprornya. Penyelundupan ke lain kapal akan terjadi kalau kapal ini tidak menaikkan harga. Maka, harga minyak pun diputuskan naik. Bagian penerangan di kapal mengirim SMS: “Minyak terpaksa dinaikkan, agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Tolong bantuan awasi subsidi tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih.”
Di dalam kapal penumpang sudah mulai resah karena kebutuhan pokok melambung tinggi, rakyat kecil berebut antri uang dana langsung subsidi yang dialihkan langsung kepada mereka. Malangnya subsidi itu ternyata hanya sementara. Mualim kapal yang mengurus bagian subsidi mengatakan subsidi hanya mungkin berlaku hingga 2006.
Karena terdesak, gara-gara harga minyak mulai melambung tinggi, kebutuhan pokok yang melangit, penumpang terpaksa menjual apa saja yang ada didalam kapal, baik secara legal maupun illegal. Ada yang menjual diri, ada juga yang memperjual belikan anak-anak penumpang kepada kapal tetangga yang lebih kaya. Ada yang mencari upah di kapal lain, tetapi dengan bayaran sedikit, terkadang tidak dibayar. Karena stress banyak penumpang yang bunuh diri dan gila. Pendidikan di atas kapal carut marut. Banyak yang tidak terdidik dengan baik sehingga gampang dikelabui oleh tetangga kapal yang lainnya: asset kapal diangkut, penumpang kapal dibayar murah. Orang kapal seberang mempuyai istilah ‘keren dengan istilah konsultan’.
Karena kesulitan bahan bakar minyak, penumpang menggunakan kayu bakar untuk mamasak. Mereka kembali pada pola lama, karena energi alternatif yang diciptakan oleh para ahli dan ilmuwan kapal ternyata tidak bisa dimanfaatkan. Energi tambahan misalnya biogas, hydropower, tenaga matahari dan angin, merupakan teori-teori ‘memble’ yang tidak mendapatkan perhatian dari penguasa kapal karena tidak memdapatkan dana pengembangan yang memadai.
Sementara penumpang berebut dana subsidi hingga pingsan dan terinjak-injak, wakil-wakil penumpang yang mereka pilih selaku utusan malah mengusulkan kenaikan upah mereka. Katanya untuk penyesuaian karena bahan kebutuhan semakin naik dan ongkos bertemu penumpang—supaya dipilih kembali—memerlukan banyak dana. Padahal, rata-rata penumpang kapal sudah ‘ngos-ngosan’ mencari nafkah.
Sudah sering terjadi revolusi di dalam kapal. Penumpang ingin kehidupan yang lebih baik dan adil. Mereka mengharapkan pemimpin yang mengerti perasaan penumpang. Bisa menciptakan lapangan kerja, menciptakan keamanan dari rasa takut dan menyediakan makanan yang terjangkau harganya, menyiapkan fasilitas pendidikan yang baik, memberikan pengobatan, dan tempat berteduh yang layak.
Salam,
Penumpang kapal Nusantara.
Fachruddin Mangunjaya
http://nature-of-indonesia.blogspot.com
Para penumpang kapal yang terdiri dari rakyat jelata, telah pula memilih wakil-wakil mereka yang dianggap ‘pintar pintar’ untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan peraturan dan aturan main di dalam kapal.
Menuju pantai harapan, penumpang harus mengeluarkan uang pembelian tiket, dari pembayaran itu mereka mendapatkan makanan fasilitas, dan kenyamanan yang pantas. Di dalam kapal terdapat berbagai usaha dari pedangan asongan hingga konglomerat. Didalam kapal, masing-masing mendapatkan keuntungan yang cukup, bahkan dalam beberapa sektor kapal tersebut mengekspor barang untuk kapal yang lain. Karena kapal itu masih mempunyai pohon-pohon yang bisa dijual, binatang binatang liar dapat diperdagangkan, sumber daya alam lain: minyak, batubara, dan hasil-hasil pertanian dari tanah yang subur dapat dijual dengan keuntungan yang memadai.
Dalam kapal ini, barang-barang semuanya murah karena kebijakan pemilik kapal yang baik hati, mensubsidi penumpangnya untuk memperoleh keperluan mereka.
Sayangnya, beberapa penduduk kapal tersebut ada yang bersikap tamak dan rakus. Hidup mewah, berlebih-lebihan karena mendapatkan fasilitas, bahkan mereka berbuat semena-mena menyelewengkan wewenang, mengekspor sendiri keperluan kapal: ada yang menyelundupkan minyak sehingga mencapai 8,8 triliyun pertahun. Ada pula yang ‘membawa kabur’ aset-aset kapal dengan jumlah triliyunan dan tidak mampu ditangkap. Para kelasi kapal semuanya loyo-loyo kalau menghadapi buron kelas kakap. Akhirnya pengusaha itu lalu memindahkan usahanya ke kapal tetangga dan kapal-kapal di atas angin lainnya. Sebelum kabur, tentu rampok ini menebar uang dulu untuk ‘sangu’ para punggawa penjaga pintu gerbang dan para kelasi kapal. Maling uang penumpang itu berupaya membujuk punggawa supaya menurunkan sekoci, agar dia bisa membawa kabur asset kapal pindah ke kapal lainnya.
Cara ‘rampok-merampok’ seperti ini adalah lumrah di dalam kapal, karena penjaga kapal tidak menerapkan sangsi yang tegas untuk para perampok kelas atas seperti itu. Di dalam kapal ini, belum ada sejarahnya perampok itu dihukum gantung, atau ditembak mati di depan umum karena mencuri uang penumpang! Ada yang lupa: sewaktu dilantik menjadi nakhoda, seharusnya penumpang penumpang kapal bersama-sama membuatkan peti mati, disamping pelantikan itu. Maksudnya, agar siapa saja yang korupsi berat, agar segera dikirim dengan peti mati tersebut, karena ini dianggap akan mencelakai penumpang kapal secara keseluruhan. Sebab selama ini tidak ada yang dihukum berat, paling tinggi hanya beberapa puluh tahun. Berlawanan dengan maling sandal yang diadili, atau maling sepeda motor yang dikeroyok babak belur hingga mati dan di kirim ke akhirat.
Karena agin ribut, banyak bencana dan persediaan terbatas, minyak di dalam kapal harus segera dinaikkan. Sebab menurut perhitungan para ahli ekonomi perkapalan, minyak yang digunakan oleh penumpang kapal selama ini paling murah di bandingkan dengan kapal lain. Walaupun kapal ini merupakan salah satu produsen minyak mentah, tetapi terpaksa membeli minyak dari kapal lain yang pintar mengolah minyak. Untuk memperoleh minyak guna mensuplai penumpannya, pengurus kapal harus mensubsidi dengan membeli minyak di kapal lain—yang bahan mentah dieksprornya. Penyelundupan ke lain kapal akan terjadi kalau kapal ini tidak menaikkan harga. Maka, harga minyak pun diputuskan naik. Bagian penerangan di kapal mengirim SMS: “Minyak terpaksa dinaikkan, agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Tolong bantuan awasi subsidi tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih.”
Di dalam kapal penumpang sudah mulai resah karena kebutuhan pokok melambung tinggi, rakyat kecil berebut antri uang dana langsung subsidi yang dialihkan langsung kepada mereka. Malangnya subsidi itu ternyata hanya sementara. Mualim kapal yang mengurus bagian subsidi mengatakan subsidi hanya mungkin berlaku hingga 2006.
Karena terdesak, gara-gara harga minyak mulai melambung tinggi, kebutuhan pokok yang melangit, penumpang terpaksa menjual apa saja yang ada didalam kapal, baik secara legal maupun illegal. Ada yang menjual diri, ada juga yang memperjual belikan anak-anak penumpang kepada kapal tetangga yang lebih kaya. Ada yang mencari upah di kapal lain, tetapi dengan bayaran sedikit, terkadang tidak dibayar. Karena stress banyak penumpang yang bunuh diri dan gila. Pendidikan di atas kapal carut marut. Banyak yang tidak terdidik dengan baik sehingga gampang dikelabui oleh tetangga kapal yang lainnya: asset kapal diangkut, penumpang kapal dibayar murah. Orang kapal seberang mempuyai istilah ‘keren dengan istilah konsultan’.
Karena kesulitan bahan bakar minyak, penumpang menggunakan kayu bakar untuk mamasak. Mereka kembali pada pola lama, karena energi alternatif yang diciptakan oleh para ahli dan ilmuwan kapal ternyata tidak bisa dimanfaatkan. Energi tambahan misalnya biogas, hydropower, tenaga matahari dan angin, merupakan teori-teori ‘memble’ yang tidak mendapatkan perhatian dari penguasa kapal karena tidak memdapatkan dana pengembangan yang memadai.
Sementara penumpang berebut dana subsidi hingga pingsan dan terinjak-injak, wakil-wakil penumpang yang mereka pilih selaku utusan malah mengusulkan kenaikan upah mereka. Katanya untuk penyesuaian karena bahan kebutuhan semakin naik dan ongkos bertemu penumpang—supaya dipilih kembali—memerlukan banyak dana. Padahal, rata-rata penumpang kapal sudah ‘ngos-ngosan’ mencari nafkah.
Sudah sering terjadi revolusi di dalam kapal. Penumpang ingin kehidupan yang lebih baik dan adil. Mereka mengharapkan pemimpin yang mengerti perasaan penumpang. Bisa menciptakan lapangan kerja, menciptakan keamanan dari rasa takut dan menyediakan makanan yang terjangkau harganya, menyiapkan fasilitas pendidikan yang baik, memberikan pengobatan, dan tempat berteduh yang layak.
Salam,
Penumpang kapal Nusantara.
Fachruddin Mangunjaya
http://nature-of-indonesia.blogspot.com
Monday, May 22, 2006
Friday, May 19, 2006
Diskusi Buku H2DA:Perspektif Orang Bukan Kehutanan Tentang Hutan
Bandung, 17 Mei-- Amat menarik dikatakan ditengah diskusi, bahwa buku Hidup Harmonis Dengan Alam (H2DA) merupakan buku cara pandang orang bukan kehutanan dalam memandang hutan. “Kita harus belajar, karena pesfektip kehutanan dan kebijakannya hari ini diwarnai dengan pengambilan kebijakan oleh rimbawan,” kata salah seorang peserta.
Diskusi dan bedah buku H2DA ke II, diadakan di Kampus Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (Unwim). Letak kampus yang cukup luas ini ada di Jatinangor, 500 m dari kampus Universitas Panjajaran, Bandung. Ada sekitar 70 peserta yang hadir dengan antusias hingga akhir acara. Hadir pula Prof Sutrisno Hadi mantan Rektor Universitas Mulawarman, Samarinda, Bambang Sugianto, Dekan Fakultas Kehutanan Unwim, Ir. H.Wawan Ridwan, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (pembahas), KH. Tantowi Musaddad (pembahas), mahasiswa pasca sarjana dan beberapa kepala dinas kehutanan di Kabupaten Jawa Barat.
Diskusi ini berjalan dari jam 10 hingga pukul 13.30, sangat menarik dan intens mengenai perkembangan hutan di Indonesia, kasus-kasus lingkungan dan kearifan yang harus dilaksanakan dimasa yang akan datang. Saya mengatakan buku ini merupakan upaya pencerahan bagi masyarakat Indonesia yang kemudian bisa mempelajari secara mudah track record kekayaan alam dan peristiwa lingkungan yang pernah terjadi, kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki dan apa yang telah rakyat Bangsa Indonesia lakukan terhadap alam nusantara.
Terima kasih atas bantuan Dr. Hikmat Ramdan (Pudek I Unwim), serta Charles Chairudin Tambunan dan Iwan Aminuddin dari Masyarakat Sekitar Kehutanan (MSK) Foundation, dalam mensponsori diskusi buku ini. /fm
Diskusi dan Bedah Buku H2DA:Perspektif Orang Bukan Kehutanan Tentang Hutan
Bandung, 17 Mei-- Amat menarik dikatakan ditengah diskusi, bahwa buku Hidup Harmonis Dengan Alam (H2DA) merupakan buku cara pandang orang bukan kehutanan dalam memandang hutan. “Kita harus belajar, karena pesfektip kehutanan dan kebijakannya hari ini diwarnai dengan pengambilan kebijakan oleh rimbawan,” kata salah seorang peserta.
Diskusi dan bedah buku H2DA ke II, diadakan di Kampus Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (Unwim). Letak kampus yang cukup luas ini ada di Jatinangor, 500 m dari kampus Universitas Panjajaran, Bandung. Ada sekitar 70 peserta yang hadir dengan antusias hingga akhir acara. Hadir pula Prof Sutrisno Hadi mantan Rektor Universitas Mulawarman, Samarinda, Bambang Sugianto, Dekan Fakultas Kehutanan Unwim, Ir. H.Wawan Ridwan, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (pembahas), KH. Tantowi Musaddad (pembahas), mahasiswa pasca sarjana dan beberapa kepala dinas kehutanan di Kabupaten Jawa Barat.
Diskusi ini berjalan dari jam 10 hingga pukul 13.30, sangat menarik dan intens mengenai perkembangan hutan di Indonesia, kasus-kasus lingkungan dan kearifan yang harus dilaksanakan dimasa yang akan datang. Saya mengatakan buku ini merupakan upaya pencerahan bagi masyarakat Indonesia yang kemudian bisa mempelajari secara mudah track record kekayaan alam dan peristiwa lingkungan yang pernah terjadi, kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki dan apa yang telah rakyat Bangsa Indonesia lakukan terhadap alam nusantara.
Terima kasih atas bantuan Dr. Hikmat Ramdan (Pudek I Unwim), serta Charles Chairudin Tambunan dan Iwan Aminuddin dari Masyarakat Sekitar Kehutanan (MSK) Foundation, dalam mensponsori diskusi buku ini. /fm
Saturday, May 13, 2006
SEMUA TELAH BERUBAH
Tahun 1997/98, terjadi kebakaran hebat tercatat 6.5 juta ha hutan terbakar di Kalimantan, 1.75 juta ha di Sumatera. Kebakaran itu merupakan kebakaran yang paling hebat di sepanjang sejarah. “Bayangkan bayi baru lahir hingga beberap minggu tidak bisa terkena cahaya matahari,” kata Eka Budianta, waktu itu. bercerita kepada saya. Pak Eka, didukung oleh Agua dan sejumlah perusahaan lain mengirim air minum dan masker untuk warga di seputar daerah kebakaran, teristimewa di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Kebakaran hutan adalah sesuatu yang biasa di Kalimantan dan dirasakan hampir tiap tahun. Entah mengapa. Masa lahir, bermain dan tumbuh dewasa hingga sekolah menengah atas saya berada di Kalimantan. Fenomena kebakaran hutan dijumpai setiap tahun. Sewaktu saya duduk di bangku SD dan SMP, ketika pagi, pergi ke sekolah bersaput asap, adalah hal yang lumrah. Tetapi waktu itu, kami masih bisa bernafas, hanya saja bau alang-alang dan rumput yang terbakar terasa menyengat menusuk hidung.
Ketika musim kemarau, Ibu saya sering menangis khawatir, kalau-kalau hutan terbakar di belakang rumah kami menyulut dapur. Hampir setiap musim kemarau, ada saja ‘orang iseng’ yang membakar semak dan hutan. Terkadang bukan untuk tujuan berladang, tetapi karena semata-mata iseng dan ‘gatal tangan’ ingin menyulut ilalang yang kering. Sementara air sungai menjadi kering dan berbau, kami mencari tempat mandi di sebelah hulu dimana dijumpai air bersih yang menyegarkan.
25 tahun silam, saya sangat menikmati benar hidup dipinggiran hutan di Kalimantan. Di belakang rumah kami di Kumai, sebuah kota kecil di Pesisir Kalimantan Tengah, ada Sungai kecil yang airnya dingin tetapi –seperti warna khas air di tanah Kalimantan—berwarna merak seperti air teh. Setiap pagi, masih terdengat kicauan burung murai dengan nyaringnya. Sehabis hujan reda. Burung-burung itu turun ke tanah. Mencari makan, berupa belalang dan cacing.
Di sungai, masa kecil yang menyenangkan hidup bersama alam: memancing, menangguk ikan, bermain kapal-kapalan.
Dua puluh tahun kemudian, semuanya berubah. Hutan dibelakang rumah kami telah menjadi perkampungan. Jalan-jalan telah ditembus. Tempat masa kecil berburu buah-buahan hutan dan tempat mencari sarang burung serta memasang jerat, sudah tidak ada lagi. Sebuah danau kecil yang sering saya kunjungi sebagai tempat favorit memancing ikan gabus dan tempela, sama sekali tidak terlihat bekasnya. Ibu saya pun tidak perlu khawatir rumah dan sudut dapurnya ikut terbakar, karena hutan tidak ada lagi. Semua memang telah berubah!
***
Di Jakarta, saya berjumpa Pak Eka Budianta yang menjadi Direktur Eksekutif Dana Mitra Lingkungan, aktifis lingkungan yang, menerbitkan Majalah PANCAROBA, disitu banyak aktifis lingkungan menulis. Catatan Eka dihimpunnya menjadi sebuah buku:’Eksekutif Bijak Lingkungan’ Dengan harapan buku itu bisa dibaca ketika waktu senggang para eksekutif muda dan orang awam yang interest dengan soal lingkungan. Saya senang menulis pula di majalah itu, untuk memberikan pengetahuan dan opini tentang lingkungan hidup di Indonesia. Dari tulisan-tulisan Eka Budianta, saya juga belajar banyak tentang lingkungan. Berbagi pengalaman.
Saya tidak tahu, apakah ada pengaruh dari tulisan-tulisan para aktifis lingkungan di majalah-lingkungan dengan perubahan sikap bangsa Indonesia? Terbukti banyak sekali majalah-majalah itu kemudian “mati”, termasuk PANCAROBA. Sebelumnya boleh kita hitung pula dengan tenggelamnya Majalah Suara Alam dan Voice of Nature serta Tabliod Mutiara yang sering memuat aktifitas petualangan anak-anak muda di alam. Setelah Era Reformasi pernah muncul majalah lingkungan, Ozon dan Krakatau (yang tampil mirip dengan national geographic). Pada akhirnya terbukti majalah-majalah tersebut semuanya “tenggelam”. Tidak ada peminat. Hingga hari ini, hanya majalah komunitas dan LSM saja yang masih hidup. itu pun –tentu saja –sementara mereka mempunyai dana---yang umumnya merupakan dukungan dana luar negeri--untuk mengkampanyekan pentingnya lingkungan.
Sangat menarik, majalah entertainment dan ‘gossip’ selebriti sangat digemari. Puluhan majalah hiburan ‘impor’ telah dialih bahasakan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Pada akhirnya untuk mengisi kekosongan itu ada National Geographic Indonesia (NGI) yang terbit telah beberapa volume.
Terbukti. Investasi terhadap pengetahuan tentang alam dan lingkungan Indonesia, ternyata mempunyai peminat yang masih ‘lemah’ dan sedikit. Padahal alam Indonesia sangat cepat berubah. Dalam sepuluh tahun terakhir kita semakin banyak dirundung bencana-bencana lingkungan: kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan konflik penempatan sampah. Semakin kompleks perkara lingkungan tetapi pemahaman masyarakat---tampaknya, mungkin—belum bertambah.
Majalah lingkungan boleh mati. Tapi saya memperhatikan Eka masih tetap menulis. Saya lihat ada tulisannya mengenai lingkungan di Majalah Trubus. Ada pula di beberapa media popular bukan lingkungan yang bisa ditembusnya. Saya “cukup iri” dengan Eka, karena selain sebagai sastrawan yang pandai menulis puisi dan cerpen, dia pintar pula menulis soal lingkungan. Saya berharap dia lebih arif di usianya yang ke 50, dan tetap menulis. Menceritakan kepada kami tentang lingkungan hidup, menulis cerpen dan puisi. Setengah abad “Eka Budianta”, sahabat saya. Memang perlu disadari: menurut orang bijak “semuanya pasti akan berubah dan yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.”
Tabik !
*) Tulisan ini dipublikasikan dalam Eka Budianta. Mekar Di Bumi: Visiografi 50 Tahun Eka Budianta. Pustaka Alfa Bet: Jakarta xviii+406 halaman.
Kebakaran hutan adalah sesuatu yang biasa di Kalimantan dan dirasakan hampir tiap tahun. Entah mengapa. Masa lahir, bermain dan tumbuh dewasa hingga sekolah menengah atas saya berada di Kalimantan. Fenomena kebakaran hutan dijumpai setiap tahun. Sewaktu saya duduk di bangku SD dan SMP, ketika pagi, pergi ke sekolah bersaput asap, adalah hal yang lumrah. Tetapi waktu itu, kami masih bisa bernafas, hanya saja bau alang-alang dan rumput yang terbakar terasa menyengat menusuk hidung.
Ketika musim kemarau, Ibu saya sering menangis khawatir, kalau-kalau hutan terbakar di belakang rumah kami menyulut dapur. Hampir setiap musim kemarau, ada saja ‘orang iseng’ yang membakar semak dan hutan. Terkadang bukan untuk tujuan berladang, tetapi karena semata-mata iseng dan ‘gatal tangan’ ingin menyulut ilalang yang kering. Sementara air sungai menjadi kering dan berbau, kami mencari tempat mandi di sebelah hulu dimana dijumpai air bersih yang menyegarkan.
25 tahun silam, saya sangat menikmati benar hidup dipinggiran hutan di Kalimantan. Di belakang rumah kami di Kumai, sebuah kota kecil di Pesisir Kalimantan Tengah, ada Sungai kecil yang airnya dingin tetapi –seperti warna khas air di tanah Kalimantan—berwarna merak seperti air teh. Setiap pagi, masih terdengat kicauan burung murai dengan nyaringnya. Sehabis hujan reda. Burung-burung itu turun ke tanah. Mencari makan, berupa belalang dan cacing.
Di sungai, masa kecil yang menyenangkan hidup bersama alam: memancing, menangguk ikan, bermain kapal-kapalan.
Dua puluh tahun kemudian, semuanya berubah. Hutan dibelakang rumah kami telah menjadi perkampungan. Jalan-jalan telah ditembus. Tempat masa kecil berburu buah-buahan hutan dan tempat mencari sarang burung serta memasang jerat, sudah tidak ada lagi. Sebuah danau kecil yang sering saya kunjungi sebagai tempat favorit memancing ikan gabus dan tempela, sama sekali tidak terlihat bekasnya. Ibu saya pun tidak perlu khawatir rumah dan sudut dapurnya ikut terbakar, karena hutan tidak ada lagi. Semua memang telah berubah!
***
Di Jakarta, saya berjumpa Pak Eka Budianta yang menjadi Direktur Eksekutif Dana Mitra Lingkungan, aktifis lingkungan yang, menerbitkan Majalah PANCAROBA, disitu banyak aktifis lingkungan menulis. Catatan Eka dihimpunnya menjadi sebuah buku:’Eksekutif Bijak Lingkungan’ Dengan harapan buku itu bisa dibaca ketika waktu senggang para eksekutif muda dan orang awam yang interest dengan soal lingkungan. Saya senang menulis pula di majalah itu, untuk memberikan pengetahuan dan opini tentang lingkungan hidup di Indonesia. Dari tulisan-tulisan Eka Budianta, saya juga belajar banyak tentang lingkungan. Berbagi pengalaman.
Saya tidak tahu, apakah ada pengaruh dari tulisan-tulisan para aktifis lingkungan di majalah-lingkungan dengan perubahan sikap bangsa Indonesia? Terbukti banyak sekali majalah-majalah itu kemudian “mati”, termasuk PANCAROBA. Sebelumnya boleh kita hitung pula dengan tenggelamnya Majalah Suara Alam dan Voice of Nature serta Tabliod Mutiara yang sering memuat aktifitas petualangan anak-anak muda di alam. Setelah Era Reformasi pernah muncul majalah lingkungan, Ozon dan Krakatau (yang tampil mirip dengan national geographic). Pada akhirnya terbukti majalah-majalah tersebut semuanya “tenggelam”. Tidak ada peminat. Hingga hari ini, hanya majalah komunitas dan LSM saja yang masih hidup. itu pun –tentu saja –sementara mereka mempunyai dana---yang umumnya merupakan dukungan dana luar negeri--untuk mengkampanyekan pentingnya lingkungan.
Sangat menarik, majalah entertainment dan ‘gossip’ selebriti sangat digemari. Puluhan majalah hiburan ‘impor’ telah dialih bahasakan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Pada akhirnya untuk mengisi kekosongan itu ada National Geographic Indonesia (NGI) yang terbit telah beberapa volume.
Terbukti. Investasi terhadap pengetahuan tentang alam dan lingkungan Indonesia, ternyata mempunyai peminat yang masih ‘lemah’ dan sedikit. Padahal alam Indonesia sangat cepat berubah. Dalam sepuluh tahun terakhir kita semakin banyak dirundung bencana-bencana lingkungan: kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan konflik penempatan sampah. Semakin kompleks perkara lingkungan tetapi pemahaman masyarakat---tampaknya, mungkin—belum bertambah.
Majalah lingkungan boleh mati. Tapi saya memperhatikan Eka masih tetap menulis. Saya lihat ada tulisannya mengenai lingkungan di Majalah Trubus. Ada pula di beberapa media popular bukan lingkungan yang bisa ditembusnya. Saya “cukup iri” dengan Eka, karena selain sebagai sastrawan yang pandai menulis puisi dan cerpen, dia pintar pula menulis soal lingkungan. Saya berharap dia lebih arif di usianya yang ke 50, dan tetap menulis. Menceritakan kepada kami tentang lingkungan hidup, menulis cerpen dan puisi. Setengah abad “Eka Budianta”, sahabat saya. Memang perlu disadari: menurut orang bijak “semuanya pasti akan berubah dan yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.”
Tabik !
*) Tulisan ini dipublikasikan dalam Eka Budianta. Mekar Di Bumi: Visiografi 50 Tahun Eka Budianta. Pustaka Alfa Bet: Jakarta xviii+406 halaman.
Tuesday, May 09, 2006
University of Florida Conference on Religion and Nature
The Inaugural Conference University of Florida on April 6-9, 2006, was remarkable, about 145 scholars from all over the world attend the meeting, included some keys respected advocates of nature and spirituality attend as key note speakers in religion, nature and cultural science: Prof. Mary Evelyn Tucker of Harvard, Prof. Stephen Kellert of Yale and Caroline Merchant of UC Davis. Most of them are academia from recognize universities. I was quite astonish, that I am the only Indonesian attend the conference actually with specific presentation about Indonesia Moslem and Environmental Movement in Indonesia. My impression that every academic conference not likely only a field of intellectual and sharing experience and thinking but also a networking movement to further steps in the future. This was the second time for me to attend international meeting after the Research Seminar on Religion and Ecology at the Graduate, Centre for Religious & Cross-curtural Studies, Gajah Mada University, Yogyakarta, last August 2005.
Observatorium Boscha
Observatorium Bintang Boscha, Lembang Bandung merupakan salah satu tempat favorit yang bisa dikunjungi keluarga di akhir pekan. Hanya saja kompleks ini sangat terbatas bagi pengunjung dan Boscha memberikan waktu-waktu tertentu untuk ikut mengamati bintang dan planet lain bagi anak-anak sekolah. Usia Boscha mungkin sudah hampir 100 tahun, tapi gedungnya masih sama dan antic. Tempat ini seharusnya mendapatkan perhatian layak dunia ilmu pengetahuan karena bisa menjembatani keterangan mengenai ilmu astronomi dan astrofisika.
Keluarga kami mengunjungi Boscha July 2005 yang lalu.
KLINIK ORANGUTAN DI PASIR PANJANG
Bersalaman dengan orangutan semoga cepat sehat dan bisa masuk hutan. Foto: Dila Maula Hafsah
Setelah hampir lima tahun tidak mengunjungi Pasir Panjang, Pangkalan Bun Kalimantan Tengah. Ternyata kota ini benar-benar berubah. Pasir Panjang yang tadinya terletak ditengah-tengah antara Kumai dan Pangkalan Bun, kini sudah menjadi satu dan terasa sangat dekat. Kondisi kota Kumai (kota kelahiranku) biasa: masih berpasir dan kering kala musim panas. Tapi angin masih sepoi sepoi karena kota ini sangat dekat dengan teluk Kumai yang tidak terlalu jauh dari laut.
Pasir panjang adalah 10 km dari Kumai. Dulu ditempuh dengan kendaraan terasa jauh aku pernah bersepeda di kawasan ini, melewati Batu Balaman yang penuh rawa hampir dua kilometer. Juntrungannya, gantian: sepeda kita bopong, untuk menyebrangi jembatan kayu balok masih dikelilingi rawa dan masuk hutan. Di Pasir Panjang masih banyak buah duku, durian dan rambutan yang ditanam penduduk aslinya orang dayak.
18 tahun yang lalu Birute Galdikas pernah mengatakan keberatannya tentang pembukaan jalan dikampung ini kepada saya. Tetapi orang dayak di kampungnya itu menyatakan senang sekali dengan dibukanya jalan sebagai tanda ada kemajuan.
Sekitar bulan November 2004, saya mengunjungi Pasir Panjang yang kini berubah. Jangan Tanya tentang hutan yang lebat 20 tahun yang lalu. Kini sudah musnah. Kawasan yang masih utuh adalah kompleks tempat nursery orangutan rehabilitasi milik Yayasan Orangutan yang memelihara khusus merawat orangutan baik sitaan maupan yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.
Ada puluhan anak-anak orangutan disini yang perlu ketelatenan, diberikan susu, buah-buahan, dan pengobatan. Beberapa petugas secara bergantian memberikan pelatihan dan menunggu orangutan dibawah pohon, mengembalikannya kenal alam mereka. Memanjat dan memakan daun-daunan.
Betapa sulitnya mengembalikan orangutan ke alam. Mungkin jutaan dollar harus diinvestasikan untuk mengupayakan mereka kembali ke hutan. Saya dijelaskan ada orangutan yang kemudian stroke, dan lumpuh karena diperlakukan semena-mena oleh manusia, ketika ada pembukaan kebun sawit. Orangutan terdesak dan harus tergusur tidak tahu harus pulang kemana, karena hutan sudah tiada.
Saya sangat khawatir, kalau hutan masih terus dikapling dan dirambah, orangutan yang ada di klinik ini tidak akan bisa kembali ke hutan, karena hutan sebagai rumah dan tempat mereka hidup dan mencari makan, sudah hilang!
Setelah hampir lima tahun tidak mengunjungi Pasir Panjang, Pangkalan Bun Kalimantan Tengah. Ternyata kota ini benar-benar berubah. Pasir Panjang yang tadinya terletak ditengah-tengah antara Kumai dan Pangkalan Bun, kini sudah menjadi satu dan terasa sangat dekat. Kondisi kota Kumai (kota kelahiranku) biasa: masih berpasir dan kering kala musim panas. Tapi angin masih sepoi sepoi karena kota ini sangat dekat dengan teluk Kumai yang tidak terlalu jauh dari laut.
Pasir panjang adalah 10 km dari Kumai. Dulu ditempuh dengan kendaraan terasa jauh aku pernah bersepeda di kawasan ini, melewati Batu Balaman yang penuh rawa hampir dua kilometer. Juntrungannya, gantian: sepeda kita bopong, untuk menyebrangi jembatan kayu balok masih dikelilingi rawa dan masuk hutan. Di Pasir Panjang masih banyak buah duku, durian dan rambutan yang ditanam penduduk aslinya orang dayak.
18 tahun yang lalu Birute Galdikas pernah mengatakan keberatannya tentang pembukaan jalan dikampung ini kepada saya. Tetapi orang dayak di kampungnya itu menyatakan senang sekali dengan dibukanya jalan sebagai tanda ada kemajuan.
Sekitar bulan November 2004, saya mengunjungi Pasir Panjang yang kini berubah. Jangan Tanya tentang hutan yang lebat 20 tahun yang lalu. Kini sudah musnah. Kawasan yang masih utuh adalah kompleks tempat nursery orangutan rehabilitasi milik Yayasan Orangutan yang memelihara khusus merawat orangutan baik sitaan maupan yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.
Ada puluhan anak-anak orangutan disini yang perlu ketelatenan, diberikan susu, buah-buahan, dan pengobatan. Beberapa petugas secara bergantian memberikan pelatihan dan menunggu orangutan dibawah pohon, mengembalikannya kenal alam mereka. Memanjat dan memakan daun-daunan.
Betapa sulitnya mengembalikan orangutan ke alam. Mungkin jutaan dollar harus diinvestasikan untuk mengupayakan mereka kembali ke hutan. Saya dijelaskan ada orangutan yang kemudian stroke, dan lumpuh karena diperlakukan semena-mena oleh manusia, ketika ada pembukaan kebun sawit. Orangutan terdesak dan harus tergusur tidak tahu harus pulang kemana, karena hutan sudah tiada.
Saya sangat khawatir, kalau hutan masih terus dikapling dan dirambah, orangutan yang ada di klinik ini tidak akan bisa kembali ke hutan, karena hutan sebagai rumah dan tempat mereka hidup dan mencari makan, sudah hilang!
Saturday, May 06, 2006
Festival Bunga Sakura di Washington DC
Udara terasa menusuk kulit. Bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan iklim tropis, kondisi ini tentu saja agak mengagetkan karena diluar ruangan, masih terasa sejuk seperti ber AC. Suhu 10-15 derajad selsius di musim semi (spring) di Ibu kota Amerika, Washington DC ini memang dingin, tetapi masih bisa ditolerir oleh kulit coklat orang melayu seperti saya.
Pemandangan yang menjadi daya tarik yang indah tentunya di musim semi adalah bunga sakura bermekaran (cherry blossom). Bagi warga Washington saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengadakan even yang besar seperti festival bunga sakura atau cherry blossom festival. Banyak warga di luar Washington kemudian berlibur untuk melihat peristiwa ini. Oleh sebab itu, bulan April merupakan ‘peak season’ turis domestic AS datang ke DC yang kemudian memenuhi kamar hotel. Karena itulah saya tidak kebagian kamar hotel di sekitar Washington. Sebab di sekitar Washington, hotel telah di book oleh para tamu yang akan menyaksikan Cherry Blossom Festival dalam minggu-minggu awal hingga pertengahan bulan April.
Dalam sejarahnya bunga sakura yang kini jumlahnya 3,700 pohon mengelilingi Washington merupakan hadiah dari Kaisar Jepang Teno Heika tahun 1912. Sakura dikirimkan sebagai tanda persahabatan antara pemerintah Jepang dan AS, sehingga menjadi tradisi setelah berpuluh tahun kemugian kemudian bunga pohon sakura ini mekar pada saat musim semi dan menjadi daya tarik tersendiri bagi warga di Amerika.
Oleh karena itu, setiap tahun ketika mekarnya bunga sakura kota Washington menjadi ‘ajang pamer persahabatan dan festival antar bangsa. Dalam festival kali ini, Indonesia turut mengambil bagian dengan menampiklan parade kesenian tradisional, yakni Reog Ponorogo, Pencak Silat, dan Tabuik yang di bawa dari Padang, Sumatera Barat.
Dalam parade festival yang diikuti oleh Negara-negara di seluruh dunia ini, menurut Duta Besarnya yang baru Sudjadnan Parnohadiningrat, Indonesia ingin menyampaikan penghargaan kepada AS atas bantuan saat Indonesia mengalami masa-masa kesedihan, ketika terjadi Tsunami di Indonesia (Kompas 6/4).
Bila berkeliling Washington, musim semi. Anda akan melihat ‘Jepang’ di Washington karena bunga sakura bermekaran di berbagai sudut perkantoran, di bagian Timur Potomac Park , sekitar Monumen Washington. dan juga di sekitar Jefferson Memorial./Fachruddin Mangunjaya.
Tentang KH. Husein Muhammad
Ketika melihat wawancara Husein Muhammad hari ini di KOMPAS Minggu (7 Mei 2005), saya jadi ingat perjalanan bersama beliau ke Buton Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Kami mengadakan perjalanan yang kami sebut dengan Da’wah Konservasi. Perjalanan tersebut sungguh mengesankan dan singkat. kami mengumpulkan jamaah di dua masjid di Wanci, Kaledupa, sebuah Kabupaten Baru yang semula merupakan Taman Nasional Wakatobi.
Keprihatinan saya pada kawasan ini adalah seluruh kawasan konservasi –memang didalamnya merupakan kecamatan dan banya penduduk—yang menjadi enclave, menjadi sebuah kabupaten baru. Artinya, kawasan konservasi yang mempunyai potensi besar untuk kesejahteraan, bila salah urus, akan mengakibatkan kesakan karena tekanan ekploitasi yang lebih intensif guna mangejar pendapatan daerah.
Pemboman ikan dan penangkapan ikan dengan menggunakan potassium cukup marak di kawasan ini, juga penggalian batu karang yang kemudian dibuat jembatan dan rumah sehingga bisa membendung pulau menjadi perkampungan. Penduduk muslim disini sangat responsip dengan da’wah Islam. . Mereka spontan datang ke masjid ketika diadakan pengumuman. Ki Husein memberikan kuliah dia masjid dalam satu malam Setelah shalat Magrib dan Isya. Salah satunya di Kampung Bajao.
Kunjungan singkat kami memang tidak akan banyak membawa makna tanpa ada tindak lanjut. Tetapi silaturahmi kami telah membawa bekal, dari Worksop para ulama tentang Fikih Lingkungan (Fiqh-al Biah) dan sosialiasi pentingnya ummat memelihara dan ramah terhadap lingkungan. Dunia Islam terlalu tertinggal dengan ajaran dan praktik ini.
Ki Husein berdialog tentang keprihatinannya terhadap penafsiran yang tekstual terhadap al-Quran dan kitab klasik. Oleh karena itu beliau menyambut baik kitab yang saya tulis tentang Konservasi Alam dalam Islam. Walaupun beliau mengkritik otoritas saya –yang bukan orang pesantren—bisa bisanya menulis tentang Islam. Saya katakan, sebagai muslim saya ingin beribadah dan perlu landasan spiritual dalam saya bekerja sebagai konservasionis. Adalah yang saya kerjakan ini mempunyai kekuatan dalam Islam.
Saya berhujjah, ini adalah permulaan dan harus dimulai, daripada tidak ada. Kini buku tersebut—saya dengar-- mendapatkan sambutan di berbagai fakultas Islam di tanah air. Termasuk Prof. Richard Foltz, yang sekarang secara intensif mengkaji tentang ajaran lingkungan (Islamic environmentalism) di dunia Islam. Saya berharap kajian itu bisa memancing kajian lanjutan peran Islam dalam menyelematkan alam dan lingkungan.
Keprihatinan saya pada kawasan ini adalah seluruh kawasan konservasi –memang didalamnya merupakan kecamatan dan banya penduduk—yang menjadi enclave, menjadi sebuah kabupaten baru. Artinya, kawasan konservasi yang mempunyai potensi besar untuk kesejahteraan, bila salah urus, akan mengakibatkan kesakan karena tekanan ekploitasi yang lebih intensif guna mangejar pendapatan daerah.
Pemboman ikan dan penangkapan ikan dengan menggunakan potassium cukup marak di kawasan ini, juga penggalian batu karang yang kemudian dibuat jembatan dan rumah sehingga bisa membendung pulau menjadi perkampungan. Penduduk muslim disini sangat responsip dengan da’wah Islam. . Mereka spontan datang ke masjid ketika diadakan pengumuman. Ki Husein memberikan kuliah dia masjid dalam satu malam Setelah shalat Magrib dan Isya. Salah satunya di Kampung Bajao.
Kunjungan singkat kami memang tidak akan banyak membawa makna tanpa ada tindak lanjut. Tetapi silaturahmi kami telah membawa bekal, dari Worksop para ulama tentang Fikih Lingkungan (Fiqh-al Biah) dan sosialiasi pentingnya ummat memelihara dan ramah terhadap lingkungan. Dunia Islam terlalu tertinggal dengan ajaran dan praktik ini.
Ki Husein berdialog tentang keprihatinannya terhadap penafsiran yang tekstual terhadap al-Quran dan kitab klasik. Oleh karena itu beliau menyambut baik kitab yang saya tulis tentang Konservasi Alam dalam Islam. Walaupun beliau mengkritik otoritas saya –yang bukan orang pesantren—bisa bisanya menulis tentang Islam. Saya katakan, sebagai muslim saya ingin beribadah dan perlu landasan spiritual dalam saya bekerja sebagai konservasionis. Adalah yang saya kerjakan ini mempunyai kekuatan dalam Islam.
Saya berhujjah, ini adalah permulaan dan harus dimulai, daripada tidak ada. Kini buku tersebut—saya dengar-- mendapatkan sambutan di berbagai fakultas Islam di tanah air. Termasuk Prof. Richard Foltz, yang sekarang secara intensif mengkaji tentang ajaran lingkungan (Islamic environmentalism) di dunia Islam. Saya berharap kajian itu bisa memancing kajian lanjutan peran Islam dalam menyelematkan alam dan lingkungan.
Wednesday, May 03, 2006
Peluncuran Buku: Hidup Harmonis Dengan Alam (H2DA)
Foto: Aku bersama anak-anak dan istri bersama Kartini Nurdin CEO YOI, usai peluncuran buku H2DA
Hari ini buku Hidup Harmonis Dengan Alam (H2DA) diluncurkan ditempat yang bersahaja di Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Dihadiri oleh beberapa aktifis lingkungan dari ICEL, Environmental Movement Indonesia, Pak Djuni P. yang menjadi moderator milist lingkungan yang beranggotakan 1200 member, juga teman teman dari Conservation International Indonesia Iwan Wijayanto (Dir CSD CI Indonesia) dll. Hadir pula Prof Indrawati Ganjar, guru besar mikrobiologi UI dan Prof Ani Mardiastuti yang bertindak sebagai pembanding untuk bedah buku tersebut.
Sungguh tidak disangka, buku itu mendapatkan penghargaan yang layak dari kalangan pencinta lingkungan. Ibu Ani tertarik dengan artikel “Kembali Pada Lintah” yang saya tulis pada pertengahan tahun 1990an. Dia bilang sampai membacanya dua kali.
Diskursus lingkungan tentu saja bergulir disini. Diskusi soal keprihatinan terhadap rusaknya lingkungan dan tumbuhnya kesadaran baru terhadap pentingnya hutan.
Namun dilain pihak, dikatakan kepentingan lingkungan sering kalah dengan persoalan ekonomi. Sesuatu yang klasik!
Lalu. Buku ini saya argumentasikan sebagai upaya memberikan pencerahan dan dalam rangka mengingatkan kembali pentingnya memelihara alam dan trend bersikap terhadap lingkungan sehari-hari yang kita jumpai. Sederhana saja sebetulnya. Mari berbuat… daripada tidur! Berdiam diri ataupun bekerja toh umur kita jalan terus kan.
Tabik..
Hari ini buku Hidup Harmonis Dengan Alam (H2DA) diluncurkan ditempat yang bersahaja di Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Dihadiri oleh beberapa aktifis lingkungan dari ICEL, Environmental Movement Indonesia, Pak Djuni P. yang menjadi moderator milist lingkungan yang beranggotakan 1200 member, juga teman teman dari Conservation International Indonesia Iwan Wijayanto (Dir CSD CI Indonesia) dll. Hadir pula Prof Indrawati Ganjar, guru besar mikrobiologi UI dan Prof Ani Mardiastuti yang bertindak sebagai pembanding untuk bedah buku tersebut.
Sungguh tidak disangka, buku itu mendapatkan penghargaan yang layak dari kalangan pencinta lingkungan. Ibu Ani tertarik dengan artikel “Kembali Pada Lintah” yang saya tulis pada pertengahan tahun 1990an. Dia bilang sampai membacanya dua kali.
Diskursus lingkungan tentu saja bergulir disini. Diskusi soal keprihatinan terhadap rusaknya lingkungan dan tumbuhnya kesadaran baru terhadap pentingnya hutan.
Namun dilain pihak, dikatakan kepentingan lingkungan sering kalah dengan persoalan ekonomi. Sesuatu yang klasik!
Lalu. Buku ini saya argumentasikan sebagai upaya memberikan pencerahan dan dalam rangka mengingatkan kembali pentingnya memelihara alam dan trend bersikap terhadap lingkungan sehari-hari yang kita jumpai. Sederhana saja sebetulnya. Mari berbuat… daripada tidur! Berdiam diri ataupun bekerja toh umur kita jalan terus kan.
Tabik..
Subscribe to:
Posts (Atom)